SEMBILAN BELAS

2K 329 4
                                    

Bunda merapikan beberapa helai baju ke dalam koper bermotif batik.

"Jadi ini keputusan akhir Bunda?"

Ayah berdiri di depan pintu kamar dan menyilangkan kedua tangan di dada. Lelaki enampuluhtahun itu memandang tidak mengerti apa yang ada di pikiran istrinya. Mengapa tiba-tiba meminta ijin untuk pulang kampung, bersamaan dengan perginya Rara.

"Bunda hanya butuh waktu sebentar untuk pulang kampung. Semoga setelah ini, Bunda bisa mengerti jalan pikiran Ayah. Bunda tidak ingin kita bertengkar lagi..."

Pandangan Ayah sesaat kosong. Egosentris sebagai kepala keluarga memunculkan letupan kekecewaan pada dirinya.

"Kita perlu bicara Bun. Tidak seharusnya Bunda memutuskan seperti ini."

Bunda menutup koper dan menaruhnya di atas tempat tidur.

"Semalam kita sudah bicara, Yah. Selama ini Bunda selalu mengalah dan bertahan ketika melihat Ayah memarahi Rara. Dari Rara, Bunda banyak belajar mencintai dengan tulus dan meredakan kebencian.

Ayah selalu terkungkung dengan pikiran bahwa Almeera dan Renald berzina. Seseorang menunjukkan kepada Bunda, fakta yang berbeda. Salinan surat nikah mereka ada. Itu sebabnya Bunda minta Ayah hentikan membenci Rara. Rara bukan anak hasil hubungan zina, Yah."

"Surat itu bisa saja direkayasa Bun. Ayah juga tahu alasan sebenarnya kenapa Bunda menyayangi Rara. Kita berdua tahu. Karena di dalam diri Rara, mengalir darah seorang Renaldi."

Bunda beristighfar. Sungguh tega suaminya melukai hatinya hingga seperti ini. Tidak salah sepertinya keputusan yang dia ambil agar mereka bisa saling introspeksi diri.

"Hentikan semuanya sekarang, Yah. Sebelum semuanya bertambah buruk dan yang keluar dari kita hanyalah kata-kata yang saling menyakiti."

"Terserah Bunda. Silahkan Bunda pergi. Toh walaupun Ayah tidak mengijinkan, Bunda juga akan pergi. Sama seperti dulu saat kita di Surabaya. Jangan pikir Ayah akan mengabulkan permintaan Bunda untuk berpisah, hanya karena Bunda ingin kembali ke lelaki itu."

Bahu perempuan limapuluhtahun itu bergetar. Perempuan itu sudah lelah bertengkar dan tidak ingin meneruskan lagi. Semakin dia menimpali, semakin hebat mereka akan berselisih pendapat.

Terdengar suara dering ponsel di meja rias. Ayah diam dan mengikuti istrinya yang berjalan ke ruang tamu. Sebuah taksi biru muda sudah menunggu di depan pagar.

Ucapan salam terdengar lirih sebelum Bunda pergi. Ayah terduduk sendiri. Tidak ada suara Rara, tidak ada Bunda. Suara deru taksi diluar, menyadarkan lelaki itu. Ia baru saja merelakan perempuan yang disayanginya pergi, Bunda dan Aurora.

Seperti baru kemarin rasanya, mereka berkenalan dan Amir langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Menatap perempuan cantik yang berusia sepuluhtahun lebih muda darinya, pilihan almarhum Papa. Namun terkadang jalan menuju pernikahan tidaklah mudah.

Terlebih lagi saat itu Tiara sudah memiliki kekasih yang lebih segalanya dari Amir. Lebih tampan, lebih mapan dan juga berpendidikan tinggi. Amir tidak pernah bertanya, kenapa pada akhirnya Tiara memilih dirinya. Mungkin juga ia tidak akan pernah mau mendengar alasannya. Karena ia sudah tahu, Tiara adalah anak yang penurut dan ia menikah karena menuruti permintaan kedua orangtuanya.

Pernikahan mereka berlangsung baik-baik saja, meski di lima tahun awal mereka menanti momongan, namun tidak kunjung tiba. Di sepuluh tahun usia pernikahan pun sama, sekalipun beberapa kali mereka telah menghabiskan tabungan untuk program bayi tabung. Itu semakin membuat Amir yakin, bahwa sekalipun di awal mereka menikah karena dijodohkan orangtua, toh mereka tidak pernah berpikir untuk berpisah. Ia mencintai Tiara.

AuroraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang