DUA PULUH ENAM

2.1K 307 5
                                    

Semalam Rara menangis sampai sarung bantal kesayangannya, basah. Bangun tidur, kepalanya sedikit pusing dan mendadak sepanjang pagi ini dia berulangkali bersin. Sudah hampir setengah kotak tissue memenuhi tempat sampah bermotif Keroppi di kamar dengan cat berwarna biru muda.

Baru kali ini Rara menangisi seseorang yang tidak memiliki hubungan keluarga dengannya. Dia sama sekali tidak bermaksud melukai hati Kak Reyga. Tapi memikirkan proses khitbah, pernikahan, dalam kondisi Ayah sakit berat seperti sekarang, jauh di luar benaknya.

Rara tidak ingin berandai-andai. Seandainya Kak Reyga mau memahami keadaannya. Seandainya mereka tidak saling bertemu bila akan saling melukai. Seandainya mereka bisa saling memberikan ruang untuk kata maaf.

Tapi waktu tidak dapat diputar kembali. Yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah mendo'akan yang terbaik untuk lelaki itu. Semoga saat dipertemukan kembali, hati mereka sudah saling menyembuhkan.

"Rara... Itu ada mobil yang sudah jemput di depan."

Bunda mengetuk pintu Rara. Gadis manis pemilik kamar, masih duduk di depan cermin -mengompres kelopak matanya yang bengkak- dengan es batu.

"Sebentar Bun, Rara masih pakai kerudung."

Gadis itu mencoba tersenyum menatap bayangannya dalam balutan blus coklat bata dan kerudung senada.

"Maafin aku Kak Rey, Rara hanya perempuan lemah yang menolak lamaran laki-laki baik seperti Kakak. Semoga Kakak bisa bertemu perempuan lain yang lebih baik dari Rara." Rara memejamkan mata dan mengaminkan dalam hati.

"Cantik banget anaknya Bunda. Mau pergi kemana sih, sama Ayah?" Bunda mencium kening Rara.

"Hmm... Ayah mau temani Rara survey harga stetoskop dan tensimeter Bun, di pasar Pramuka. Terus cari buku kedokteran di jalan Tawakal daerah Grogol."

Rara berusaha tidak banyak berbohong, karena memang ada beberapa temannya yang titip uang untuk membeli alat kesehatan dan Atlas Anatomi, karena tahu dia liburan ke Jakarta.

"Rara masih sedih? Kejadian semalam sama Kak Reyga?"

Bunda membetulkan letak kerudung Rara yang sedikit miring.

"Lumayan Bun. Mata Rara masih kelihatan bengkak ya, Bun? Malu nih..."

Bunda menarik tangan Rara ke dalam kamar. Keduanya duduk di atas tempat tidur.

"Rara Sayang, Bunda pernah mengalami di posisi Rara seperti sekarang."

Kedua mata indah gadis itu, mengerjap berulang seolah tidak percaya mendengarnya.

"Serius Bun? Rasanya patah hati ternyata kayak begini ya, Bun. Sakit banget. Nggak cuma Rara yang sakit, tapi Rara juga sudah membuat Kak Reyga kecewa. Ia sekarang pasti benci sama Rara."

Bunda memeluk Rara yang mencoba bertahan untuk tidak kembali menangis.

"Sebelum menikah dengan Ayah, Bunda pernah sayang sama seseorang. Tapi ternyata kami nggak berjodoh. Waktu awal kami berpisah, dia nggak bisa menerima dan selalu datang ke rumah. Bunda malah lebih parah dari Rara. Bunda nangis  di kamar, sampai 3 hari 3 malam. Eyang Kakung dan Eyang Putri jodohin Bunda sama Ayah karena berteman baik dengan orangtua Ayah. Hanya tiga bulan kenalan, kami akhirnya menikah."

"Berarti Bunda kenal Ayah juga cuma sebentar?"

"Iya Ra. Jodoh memang tidak ada yang tahu, Nak. Dulu waktu awal nikah, Bunda suka marah-marah sama Ayah, Bunda ngambek nggak mau masak, nggak mau cuci baju dan beres-beres rumah. Tapi Ayah berhasil melunakkan hati Bunda.
Hampir setiap hari Ayah bantu Bunda cuci dan beresin rumah, padahal Ayah waktu itu sudah kerja jadi guru. Gaji pertama Ayah untuk beli kompor gas yang baru dan Bunda akhirnya mulai belajar masak."

AuroraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang