Aurora menghapus air mata yang mulai membasahi kedua pipinya. Dia berjanji untuk tidak menangis, tapi ternyata dia tidak bisa. Kakinya terasa berat berjalan menuju halte, di depan Apartemen milik Reyga.
Saat ini dia butuh seseorang untuk menenangkan. Bunda... Rara teringat Bunda... Dia bahkan sama sekali tidak menelepon Bunda beberapa hari ini. Dia juga tidak menghubungi Ayah. Apa mungkin ini hukuman yang diberikan Allah, karena dia melalaikan kedua orangtua. Rara beristighfar dalam hati.
Beberapa angkutan umum lewat di depan gadis itu dan menawarkan tumpangan. Rara hanya menggeleng lemah. Jemarinya meraba layar ponsel. Ragu dia menekan nomer telepon seseorang yang disayanginya.
"Halo, Assalaamu'alaikum..."
Rara menahan tangis, setelah mendengar suara di seberang. Dia bahkan tidak bisa menjawab salam.
Apa Ayah tidak mengenali nomor teleponnya."Rara... Ini benar kamu Nak? Kamu sekarang, dimana? Maaf mata Ayah sedikit buram. Ayah tidak bisa mengenali nama Rara di layar. Mungkin Ayah sudah harus pakai kacamata."
Ayah... Rara tahu Ayah berbohong supaya Rara dan Bunda tidak khawatir. Sudah sedemikian parahkah tumor yang Ayah derita, sehingga penglihatan Ayah semakin menurun.
"Ayah tunggu di rumah ya. Rara sebentar lagi pulang." Dia berusaha meredakan rasa khawatir di hati Ayah.
"Iya Nak, Maaf Ayah belum bisa menjemput. Barusan Tante Alika, adik Bunda memberi kabar, kalau Bunda malam ini sampai di Jakarta."
"Bunda pergi ke Semarang, Yah? Sendirian? Ayah nggak lagi berantem sama Bunda kan?"
Ayah hanya terdiam.
"Bunda lagi ingin sendiri. Katanya kangen dan mungkin ziarah ke makam Eyang Kakung dan Eyang Putri. Apa Rara bisa jemput Bunda di bandara? Kasihan kalau Bunda pulang sendiri naik bus atau taksi.
Nanti Ayah kirim nama pesawat dan jadwal keberangkatan dari Semarang. Ayah minta maaf belum bisa jalan kemana-mana. Ayah lagi nggak enak badan. Nanti kalau Rara ketemu Bunda, bujuk Bunda buat maafin Ayah ya..."
Ya Allah... Jadi selama beberapa hari ini Ayah hanya sendiri di rumah. Rara menghapus pipinya yang basah, dengan ujung kain kerudung.
Rara mengabaikan ponsel yang berulang kali bergetar. Dia sengaja tidak mengangkat. Nama lelaki itu yang membuatnya enggan menjawab.
Sepuluh kali miscall. Kak Reyga...
Lima pesan masuk. Dari pengirim yang sama.
"Rara... Kok Kakak telepon, nggak diangkat?
"Rara baik-baik aja kan, disana."
"Kamu dimana, Ra?"
"Ra... Hp kamu disilent?"
"Aurora Annisaputri, Please don't make me worried..."
Maafin aku Kak Reyga... Rara menekan tombol merah di layar, untuk mematikan ponsel.
Sebuah taksi melintas dan berhenti di depan Rara.
"Sore Pak, ke bandara Soetta ya. Jangan ngebut-ngebut ya Pak. "
"Siap Mbak. Silahkan masuk."
Supir taksi turun dan membukakan pintu untuknya. Selama perjalanan, Rara tertidur. Dia berusaha melupakan kesedihannya. Termasuk pertemuan dengan perempuan bernama Vannya. Jalan raya menuju bandara, terlihat padat merayap. Mungkin karena bersamaan dengan jam pulang karyawan kantor. Langit di luar lama kelamaan berubah gelap.
"Mbak, kita sudah sampai. Tolong dicek dulu, jangan sampai ada barang yang tertinggal."
Rara terbangun dan melihat bayangannya di kaca jendela. Kelopak matanya masih terlihat sembab. Ya Allah... Sudah jam berapa ini. Apa dia terlambat... Dia melihat argo dan juga jam di atas dashboard.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aurora
DragosteAurora itu nama tokoh Sleeping beauty yang cantik dan mudah tertipu nenek sihir jahat hingga jarinya tertusuk jarum. Aurora yang ini beda, dia nggak sesempurna Sleeping Beauty, beda banget malahan. Meski sama-sama polos, Aurora belum pernah jatuh ci...