DUA PULUH EMPAT

2K 301 16
                                    

*Aurora home*

Langit malam ini bertabur bintang. Ada Ayah, Bunda dan Rara tidur di gazebo tepat di teras belakang rumah. Dulu Ayah yang membangun sendiri dari kayu bekas waktu renovasi rumah. Kadang mereka memakai gazebo ini untuk sholat maghrib berjama'ah, kalau Ayah sedang tidak sholat di Masjid.

"Ayah... Bagaimana kalau besok kita kontrol ke rumah sakit? Untuk periksakan sakit kepala dan mata Ayah yang buram. Nanti Rara temani."

Ayah menggeleng.

"Nggak usah Ra. Ayah mau istirahat di rumah aja."

Rara memejamkan mata. Sampai kapan Ayah menutupi penyakitnya. Bahkan Bunda juga belum tahu kalau Ayah sakit berat. Dari Ayah, Rara belajar mengenai arti keshabaran dan ketegaran. Apa mungkin Allah mengingatkan dia untuk selalu membuat Ayah bahagia.

"Ayah... Liburan Rara tinggal dua minggu lagi. Apa Rara boleh ambil cuti akademik, biar bisa lama di rumah."

"Lho buat apa Ra. Nanti masa kuliah kamu makin panjang."

Bunda protes sambil mengusap kepala Rara, pelan.

"Rara ingin temani Ayah dan Bunda pergi. Siapa tahu Ayah mau pergi kemana gitu. Kan selama ini Ayah sibuk kerja. Pas pensiun, Ayah juga banyak di rumah. Apa Ayah nggak bosan."

Ayah tersenyum.

"Mau pergi bertiga juga nggak ada kendaraannya, Nak. Kan nggak mungkin naik motor bertiga, pasti kena tilang."

"Yah Ayah, kayak nggak sadar anaknya gendut kayak gini. Pasti ban motor Ayah kempes sebelum mulai jalan. Kalau kita pinjam mobilnya Kak Reyga aja gimana, Yah?"

Entah kenapa tiba-tiba terlintas di pikiran Rara mengenai pria itu.

"Ciee Rara... Kok jadi ngomongin Kak Reyga. Bunda jadi ingat, waktu jemput di Semarang, Reyga minta ijin sama Bunda untuk serius sama Rara. Rara sendiri gimana."

Wajah Rara tersipu malu.

"Iya, dua hari lalu juga Reyga ke rumah. Ia datang sama teman lama Ayah waktu masih kuliah, Syarif Sholahudin. Bun kenal kayaknya sama istrinya. Kalau Rara, memangnya kenal Nak Reyga sudah lama?"

Rara tidak berani menjawab. Perkenalannya dengan Kak Reyga cukup singkat.

"Baru aja kenal, Yah. Dikenalin sama kakaknya Adiva. Awalnya Kak Reyga cari calon istri karena didesak orangtuanya menikah, supaya nggak keduluan adiknya."

Rara memang nggak bisa berbohong. Dia bicara apa adanya. Ayah dan Bunda terkejut mendengar cerita Rara.

"Rara bingung. Kayaknya belum saatnya Rara nikah. Teman-teman Rara di kampus, juga belum ada yang nikah. Tapi Kak Reyga udah ngelamar Rara dua kali. Rara jadi kasihan. Tapi masak, orang kayak Kak Reyga nggak bisa dapat calon istri yang lain. Kenapa harus Rara."

Ayah menghela napas panjang.

"Sekarang baiknya, Rara istikhoroh dulu. Minta petunjuk sama Allah. Jodoh kita, tidak ada yang tahu Ra. Meskipun Reyga bukan tipe menantu ideal menurut Ayah, tapi anaknya santun dan bertanggungjawab. Sewaktu kemarin ke rumah, Ayah sengaja minta dia jadi imam sholat Maghrib. Bacaan sholatnya cukup baik."

Ya ampun... Jadi Ayah bener-bener ngetes Kak Reyga. Ini Rara yang jadi malu ngebayanginnya.

"Kayaknya Ayah sudah setuju tuh Ra. Tinggal Rara mantapnya gimana. Kalau memang diberi kemantapan hati, tidak ada yang salah menikah sambil kuliah. Reyga juga sudah mapan. Tapi kalau ternyata Rara nggak ada kemantapan, lebih baik tidak melanjutkan. Bilang sejujurnya dengan cara yang baik. Nak Reyga juga biar bisa segera mencari calon istri yang lain."

AuroraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang