DUA BELAS

2.1K 344 27
                                    

Aurora masih memeluk guling ketika Bunda membangunkannya.

"Rara... Ayo kita ke rumahsakit. Haikal dan calon istrinya kecelakaan di jalan tol. Tadi barusan orangtua Haikal telepon Ayah sambil menangis. Haura, calon istri Haikal, kondisinya juga kritis."

Aurora mengumpulkan kesadarannya. Dia masih mengusap mata dan menatap jam di sebelah tempat tidur. Jam 7 malam. Ya ampun, dia tidur seharian. Mungkin karena tahu Rara sedang haid, Bunda sejak pukul 10 pagi membiarkannya tidur nyenyak.

Rara masih terkejut mendengar kabar itu. Di dalam taksi, Bunda masih bercerita bahwa kedua calon pengantin itu pulang berziarah ke makam Kakek dan Nenek Haikal di Bandung.

Mereka naik mobil terpisah namun beriringan. Hujan turun deras di ruas tol menuju Jakarta dan tiba-tiba kendaraan di belakang mereka menyalip kencang namun kemudian menabrak pembatas jalan.

Empat kendaraan lainnya tidak siap menekan rem dan terjadi kecelakaan beruntun. Rara membuka medsos dan menyaksikan video kecelakaan yang sedang menjadi headline news. Ya Allah... Bang Haikal... Padahal bulan depan keduanya akan menikah...

Rara ikut menitikkan air mata. Dia menghormati Haikal seperti kakaknya sendiri. Sejak Rara masuk SMA, sosok karismatik itu sering diundang Ayah ke rumah. Meski hanya main sebentar atau makan siang bersama, bang Haikal selalu menyapanya dengan sopan.

Jalan menuju rumah sakit, mengingatkan Rara dengan rumah sakit yang sama, tempat Tante Rianti dirawat. Dia tidak berani menghubungi Reyga lagi untuk menanyakan kabar Mami. Semoga saja Maminya Kak Reyga sudah pulang.

Semula mereka hendak turun di UGD. Tapi akhirnya Bunda menelepon orangtua Kak Haikal, karena melihat beberapa satpam berdiri untuk menghalau media yang berdatangan untuk meliput.

"Ayah, kita turun di basement saja. Ibunya Haikal barusan kabari, Haikal dan Haura sedang masuk kamar operasi. Haura akan operasi karena ada perdarahan di kepala. Haikal hendak operasi tulang belakang karena terjepit di badan mobil."

Bunda menjelaskan sambil masih menangis, tidak tega menyampaikan berita menyedihkan ini. Ayah juga terlihat berduka. Bang Haikal sudah seperti putra kesayangannya sendiri.

Rara tidak sanggup membayangkannya. Dia terus berdo'a semoga Allah selalu melindungi Bang Haikal dan calon istrinya. Mereka turun dan naik lift menuju kamar operasi. Ya Allah Yang Maha Baik, selamatkanlah Bang Haikal dan Kak Haura.

Sampai di depan kamar operasi, Bunda berpelukan dengan seorang perempuan berwajah mirip Bang Haikal. Demikian juga dengan Ayah, menjabat erat tangan lelaki yang sepertinya Ayah Bang Haikal.

Pintu kamar operasi terbuka.

"Keluarga Bapak Haikal Hamdani. Adakah keluarga yang bisa mendonorkan darah ke Bank Darah? Kami masih membutuhkan darah golongan A."

Rara mendekat dan menawarkan diri. 

"Mbak tidak sedang haid?"

Perawat perempuan berhijab bernama Mery menanyakan.

Ah iya, Rara masih haid dan ini masih hari kedua menstruasinya. Wajah gadis itu berubah sedih.

"Bun, Rara turun ke lobi bawah dulu ya. Disini sinyalnya sulit. Rara coba hubungi teman-teman SMA, untuk cari donor."

Bunda mengangguk. Rara menuruni tangga darurat supaya lebih cepat sampai lobi. Dengan cekatan dia mengirim pesan di grup alumni SMA dan juga di grup sahabatnya, Alya dan Adiva.

Alhamdulillah, hampir semua temannya fast response. Ada tiga orang yang bersedia menyusul ke rumah sakit.

Nama seseorang terlihat di layar.

AuroraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang