DUA PULUH LIMA

2K 294 19
                                    

Terdengar bunyi bel dari teras depan, membuat Rara bersemangat karena kurir yang ditunggu, sudah datang.
Diambilnya hijab yang tergantung di balik pintu kamar. Rara mengintip tirai di ruang tamu. Benar ternyata, kiriman untuk Ayah akhirnya sampai.

"Ayah... Ini pesanannya sudah datang."

Rara berteriak senang karena hari ini Ayah tidak jadi naik motor hanya untuk membeli peralatan berkebun.
Rara curhat dengan Adiva dan Alya, karena kondisi Ayah yang kadang penglihatannya suka buram, membuatnya khawatir terjadi sesuatu di jalan kalau Ayah tetap memaksa pergi. Adiva dan Kak Varo akhirnya membantu memesan semuanya lewat toko Online.

Bertiga dengan Bunda, Rara ikut mendorong satu karung pupuk, bibit buah mangga dan rambutan, membawa sekop dan peralatan berkebun, ke halaman belakang. Ayah tidak mengijinkan Rara ikut menanam. Dia hanya boleh duduk manis dan memperhatikan Ayah yang sedang menyiapkan beberapa polybag berisi tanah untuk menyemai biji buah mangga.

Bunda ikut berjongkok dan membantu Ayah. Sesekali Rara memotret pemandangan indah itu. Ayah beneran niat banget mau praktekkin ilmu tanam-menanamnya.

Rara tersenyum merekam video kekompakan Ayah dan Bunda. Padahal, masih harus menunggu 7 sampai 10 hari lagi untuk memindahkan tanaman dari polybag ke tanah. Ayah mulai mengukur jarak tanah yang nantinya akan ditanam pohon mangga.

Rara masih merekam sampai dia melihat sebuah nama muncul di layar ponsel. Dia sengaja memasang mode 'getar'.

Kak Reyga... Ya Tuhan, apakah dia harus mengangkat telepon, padahal sudah sepekan ini dia berusaha menghindar.

"Assalaamu'alaikum Kak..."

Rara menahan napas sejenak. Pagi hingga sore hari, dia sengaja mematikan ponsel dan hanya menyalakan tengah malam. Dia bertiga dengan Alya dan Adiva adalah gadis kelelawar, mereka sering insomnia bangun tengah malam dan bisa ngobrol sampai jam 3 pagi.

Jujur Rara sengaja membatasi untuk kontak dengan Reyga. Seharusnya dia bertanya langsung ke Reyga tentang sederet mantan kekasih lelaki itu yang datang hanya untuk mengaku sedang berbadan dua, dan semuanya itu diakui sebagai anak Kak Reyga.

Tapi di sisi lain, Rara belum siap
mendengar pengakuan lelaki itu.  Lebih baik begini, pergi menjauh sementara. Sampai kapan Rara menghindar, dia juga tidak tahu.

Mungkin sampai Reyga bosan dan memutuskan untuk melupakan Rara. Sampai lelaki itu menyerah dengan sendirinya. Beberapa kali Reyga datang ke rumah dan Rara berpura-pura tidur.

"Maaf ya Nak Reyga, kayaknya Rara kecapekan. Tiap malam dia sering susah tidur, jadi siang begini suka ketiduran. Bunda sudah ketuk pintu kamarnya, tapi nggak kedengeran suara."

"Iya Bun, nggak apa-apa. Salam aja dari Mami. Ini saya bawain titipan rolade daging buatan Mami. Siapa tahu Rara juga suka."

Rara mendengar suara Kak Reyga, karena kamarnya memang bersebelahan dengan ruang tamu. Begitu suara itu menjauh, dia mengintip dari balik tirai jendela kamar. Kak Reyga sudah menutup pagar dan pergi.

Rara ingin menangis, sama seperti saat ini. Saat Kak Reyga lagi-lagi menelepon dan dia tidak tega karena selalu mereject telepon.

Mendengar suara lelaki itu menjawab salam, tidak terdengar sedikit pun nada emosi milik Reyga. Padahal sudah jelas Rara tidak pernah membalas pesan dari lelaki itu.

"Akhirnya bisa dengar suara kamu lagi, Ra. Kamu sehat kan? Lagi sibuk banget ya, sampai nggak sempat balas pesan."

Terdengar nada penuh kerinduan di seberang, meski terselip kekesalan di dalamnya. Rara juga diam-diam menyimpan rindu yang sama. Belum pernah dia mendapat perhatian intens dari seorang laki-laki, selain Reyga.

AuroraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang