DUA PULUH SEMBILAN

2.6K 369 19
                                    

Ayah masih berada di masjid ketika Bunda berteriak senang memanggil Rara.

"Ra... Kesini Nak."

Rara yang sedang mengaduk sayur sop perdana buatannya, mencicipi sedikit kuah kaldu yang dibuatnya dari improvisasi tulang iga sapi yang direbus. Dia sengaja tidak memakai MSG karena harus mulai menjaga hidup sehat.

Dimatikannya kompor dan Rara menyusul Bunda ke kebun belakang.

"Ini tanaman mangganya sudah mulai tumbuh. Nanti kita kasihtahu Ayah biar dipindah dari polybag ke tanah."

Rara tersenyum melihat Bunda terlihat antusias melihat tanaman mangga yang sudah tumbuh. Bahagia itu sederhana. Cukup dengan melihat orang-orang yang kita sayangi, bisa tersenyum dan merasakan kebahagian mereka.

Akhirnya Rara akan punya pohon mangga juga. Lumayan, kalau nggak ada duit, bisa jualan buah mangga, pas musim panen. Nggak ding, Rara cuma lagi halu aja. Nggak mungkin mangganya dijual.

Sudah bisa dipastikan, di tangan kreatif Bunda, mangga itu bisa berubah jadi manisan, keripik, atau puding. Bunda terlalu baik hati untuk menjual hasil kebun sendiri.  Kemungkinan terbesar Bunda akan mengirim hasil olahan masakannya ke tetangga di sekitar rumah atau ke  teman-teman pengajian.

"Kamu kenapa sih Ra, malah melamun."

Bunda mengajak Rara duduk di gazebo setelah lelah berjongkok di depan polybag yang berderet.

"Nggak kok Bun. Rara cuma lagi bayangin kalau buah mangganya udah matang, Bunda pasti sudah bikin jadi macam-macam makanan. Sayangnya Rara masih kuliah diluar kota. Jadi nanti mesti nunggu kiriman paket mangga dulu baru bisa makan."

"Kamu tuh Ra, di pikirannya makanan melulu." Bunda mencubit kedua pipi Rara.

"Jangan dicubit Bun, ntar tambah tembem pipi Rara." Rara pura-pura ngambek.

"Dulu, waktu Rara masih kecil, kita pernah punya pohon mangga.
Rara hobi manjat disitu, sampai kadang bikin Bunda jantungan karena takut kamu jatuh."

"Masa sih Bun. Kok Rara nggak ingat."

"Waktu itu pohonnya kena hama, jadi terpaksa ditebang. Sekarang pas Ayah pensiun, jadi ingin nanam lagi. Mungkin Ayah inget masa kecil Rara. Siapa tahu nanti cucu-cucu Ayah sama Bunda yang gantian manjat pohon terus ambilin buahnya kalau sudah matang."

"Kasihan amat Bun, anak Rara nanti jadi pekerja di bawah umur dong, metikin mangga."

Mereka berdua tertawa.

"Bun, ada yang ingin Rara tanya. Tapi Bunda janji jangan marah ya. Janji dulu..."

Rara mengeluarkan jari kelingkingnya untuk ditautkan ke kelingking Bunda.

"Iya janji. Rara mau tanya apa..."

"Pernah nggak sih Bunda merahasiakan sesuatu, tapi untuk  kebaikan orang lain."

Rara sedang mencari kata-kata yang tepat.

"Rahasia terbesar dalam hidup Bunda adalah rahasia kelahiran kamu, Nak. Bunda masih ingat tiap Rara pulang sekolah sering menangis karena ada teman yang mengejek, wajah Rara tidak mirip Ayah sama Bunda. Ada juga yang bilang, Rara anak pungut karena kami sudah terlalu tua untuk memiliki anak seusia Rara."

Rara mendengarkan Bunda. Ya, dia masih ingat bagian itu. Ingatan buruk yang selalu ingin dihapusnya.

"Itu sebabnya Bunda nggak pernah cerita ke Rara, yang sebenarnya? Sekarang Rara mengerti. Maafin Rara, waktu itu pergi dari rumah karena nggak tahu kalau semua itu Bunda lakukan untuk kebaikan Rara."

AuroraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang