DUA PULUH

2.3K 322 17
                                    

Lelaki itu semalaman sulit tidur. Tidak hanya karena memikirkan istrinya, tapi juga putrinya yang sengaja ia "usir".

Haus...

Ia terbangun namun pandangannya sesaat gelap. Bayangan benda berupa tepi lemari di sebelah tempat tidur, sekejap menjadi ganda.

Blur... Lagi-lagi ia tidak dapat melihat dengan sempurna. Sakit kepala itu datang dan pergi sesuka hati.Semakin lama semakin tak terkendali. Sengaja ia menaruh teko berisi teh hangat dan cangkir di atas meja rias. Tertatih ia meraba jalan menuju meja. Ia benar-benar haus. Syukurlah beberapa menit kemudian penglihatannya kembali.

Ia hanya sendirian. Bukankah saat Allah menciptakan manusia juga sendiri di dalam rahim ibunya. Kelak menghadap Sang Khalik, ia juga berada dalam kesendirian. Kali ini ia bersyukur, tidak ada Tiara, istri yang dicintainya. Tidak ada Aurora, putri yang disayanginya. Tidak ada yang melihat kesakitannya seperti ini.

Masih pukul 1 dini hari. Ia menelepon seseorang. Masih terdengar nada sambung beberapa kali dan belum ada tanda akan diangkat.

"Halo, assalaamu'alaikum. Mir, ada yang bisa kubantu? Maaf aku baru selesai operasi. Ada pasien korban kecelakaan di jalan tol. Butuh operasi segera." terdengar suara seseorang menguap menahan kantuk.

Amir menjawab salam. Sebenarnya ia ragu hendak menghubungi Rizal, sahabatnya.

"Maaf Zal, aku terus saja mengganggumu. Bagaimana kondisi pasien yang baru saja dioperasi? Apa dia selamat?"

"Kami satu tim berusaha semaksimal mungkin. Pasien sekarang diobservasi di ruang ICU. Tidak hanya cedera kepala berat, dia juga mengalami patah tulang iga. Anak muda yang mabuk pulang dari klub. Orangtuanya datang menangis meraung-raung tapi mereka lupa menjaga pergaulan anaknya sendiri. Tapi sudahlah, aku tidak mau membuatmu ikut khawatir memikirkannya."

"Semoga ia tertolong dan Allah memberinya kesempatan untuk bertaubat. Itu sedikit melegakan aku, mengingat aku juga termasuk takut berurusan dengan kamar operasi. Kamu tahu kan, Ibuku meninggal beberapa minggu setelah operasi, dan juga almarhum Ayahku."

"Manusia hanya bisa berupaya Mir. Dari semua ikhtiar, kita serahkan semuanya pada Sang Pemilik Jiwa, Allah Swt."

Amir terdiam. Tiba-tiba ia menangis.

"Zal, akhir-akhir ini semua bertambah buruk. Aku mudah marah, penglihatanku kadang mendadak buram. Sakit kepalaku bertambah."

Suara lelaki itu seperti tengah berjuang mengatasi ekskalasi emosinya.

"Mir, kapan terakhir kamu pemeriksaan MRI kepala?"

"Aku tidak ingat Zal. Terakhir ukurannya masih kurang dari 10 mm. Sehingga aku pikir semuanya akan baik-baik saja."

Lelaki itu masih memijat kepalanya yang nyeri.

"Apa Tiara mengetahui sakitmu?Sampai kapan kamu mau menyembunyikan semuanya."

Rizal, kawan karib Amir sejak SMA, sudah menasihatinya berulang kali.

"Aku tidak mau Tiara sedih melihat keadaanku. Aku tidak mau kelak dia mencintaiku hanya karena kasihan dengan penyakitku.

Aku juga ingin menunggu Aurora wisuda menjadi seorang dokter. Sehingga aku bisa mengatakan kepada Almeera, kalau aku sudah membesarkannya menjadi seorang putri yang bermanfaat untuk sesama. Dari kebaikan putrinya itu, aku berharap mengalir juga pahala yang sama untuk almarhum Ibunya."

"Ya Tuhan... Amir, dengarkan aku. Tiara dan putrimu Aurora, akan semakin terluka kalau mereka menjadi orang terakhir yang tahu kebenarannya. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu. Besok aku tunggu di rumahsakit. Kita akan scedule MRI ulang, untuk mengetahui progress prolaktinoma yang kamu derita. Data MRI yang lama, masih kamu simpan, kan?"

AuroraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang