Alan dan Ara kini tengah berada di dalam ruangan yang berukuran sedang. Letaknya ada di ujung koridor dekat dengan ruang guru.
Ruangan ini adalah ruangan rahasia yang memang sengaja disediakan oleh Roy untuk mereka berdua. Roy sangat paham jika Alan, putranya sangat malas untuk pergi ke kantin bahkan saat dia lapar sekalipun. Alan beralasan, bahwa dia ogah untuk berdesak-desakan hanya untuk menunggu makanan. Itu hanya membuang - buang waktu.
Alan membuka kulkas berukuran sedang. Dia menoleh, berusaha melihat Ara yang tengah tiduran sambil menatap langit-langit.
"Ra, lo mau minuman dingin, gak?" Alan menawarkan. Tangan kanannya terlihat mengambil minuman dingin .
"Ia, ambilin gue satu. Minuman yang ada jeruk jeruknya," jawab Ara seraya bangkit dari posisi tidurannya. Bukannya membantu, Ara hanya memperhatikan Alan yang sedang kesusahan menutup kulkas.
"Etdah, bantuin gue napa. Malah diem-diem bae lo." Alan menegur.
"Lan, strategi gue entar ancur kalo gue gerak." Ara mengelak. Entah strategi seperti apa yang Ara maksud. Karena pada kenyataannya dia tetap bergerak guna memundurkan tubuh mungilnya agar bisa bersandar pada dinding.
"Gitu ya? Gue mau tanya, perpindahan yang terjadi sama lo dari posisi tiduran, duduk terus nyender, apaan namanya kalo bukan gerak?" cibir Alan. Dia sangat gemas dengan tingkah Ara yang kadang kelewat absurd.
"Pindah."
"Apaan?"
"Itu, pindahin minuman jeruknya ke gue," jawab Ara. Seolah lupa dengan rasa kesalnya Alan lantas memberikan minuman rasa jeruk itu pada Ara.
"Lan, menurut lo gue pantes 'kan jadi penulis novel Romance terkenal?" Ara bertanya setelah meminum minumannya.
Alan sedikit menggerak kan kepalnya. Tadi setelah memberikan minuman pada Ara, Alan memilih duduk di samping Ara. Setelah bisa menemukan wajah dipenuhi bekas jerawat palsu Alan lantas memperhatikan Ara dari atas hingga bawah.
"Lo kenapa, sih?" Ara risih, dia mendorong pelan kepala Alan agar tak memperhatikannya lagi.
Alan menghela napas sesaat. "Menurut gue, lo bukannya gak pantes buat terkenal. Tapi, terkenal itu ribet. Sini, gue buktiin."
Alan dengan segera menarik Ara keluar ruangan. Ara sedikit memberontak karena mereka berdua jadi bahan tontonan oleh siswa siswi yang tengah beristirahat dan mengobrol di sepanjang koridor.
Baru saja Ara akan menimpuk Alan untuk melepaskan tangannya, Alan tiba-tiba saja berhenti melangkah.
"Ngapain berhenti mendadak, sih?! Gue belum juga mukul kepala lo." Ara menggerutu. Dia terlihat begitu kesal dengan tingkah aneh Alan.
Alan hanya melirik Ara sekilas. "Liat tuh. Lo mau kaya gitu? Gue sih, ogah."
Ara melihat ke arah kerumunan yang Alan tunjukkan. Dia bisa melihat Alex dan Aletta yang di kerumuni oleh banyak siswa. Persis seperti gula yang di kerumuni semut.
Alan memulai aksinya. "Nih ya, gue kasih tau. Terkenal itu ribet, Ra. Kita gak punya privasi. Jalan dikit dimintain tanda tangan. Napas dikit diajak foto. Lengah dikit ditusuk. Persis kaya berita yang gue liat semalem, ada artis yang kena tusuk."
Alan berhenti sejenak. Dia menatap Ara yang sudah terlihat ketakutan. "Parahnya lagi, kalau terkenal biasanya bakalan ada Secret Admirer yang sifatnya kaya Psikopat."
Selesai dengan ucapannya. Alan sedikit menjauhkan diri dari Ara, seolah meyakinkan Ara bahwa dia pun sedang ketakutan.
"ALAAAN! GUE! GAK MAU TERKENAL!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANARA [ SUDAH TERBIT ]
Teen FictionAlan dan Ara dua orang yang memiliki kesempatan, kekayaan dan kekuasaan memilih meredupkan cahaya gemilang yang sebenarnya bisa mereka manfaatkan. Alan yang notabennya anak dari pemilik sekolah bersama sahabatnya Ara, memilih berpenampilan cupu, me...