Ara dan Alan saling tatap. Mereka berdua saling melemparkan tanggung jawab untuk menjelaskan hal yang orang tua mereka inginkan. Tepat, setelah acara makan malam kedua keluarga itu selesai.
Ya, malam ini bukan hanya keluarga kecil Ara yang sedang makan malam bersama. Tetapi, keluarga kecil Alan pun ikut dalam jamuan makan malam yang di buat oleh Ranti dan Reyhan, orang tua Ara.
"Kenapa saling liat - liatan? Ini, mama sama yang lain nungguin penjelasan dari kalian, loh." Ranti membuka suara. Manik hitam miliknya menatap Ara dan Alan secara bergantian.
Ara menghela napas sebentar. "Iya, Ma, kita emang mukulin anak itu. Tapi bukan tanpa alasan kok." Ara terdiam sejenak, ia ingin melihat reaksi dari para orang tua yang ternyata terlihat tenang-tenang saja.
Melihat tidak adanya perdebatan, Ara melanjutkan lagi penjelasannya. "Jadi, si David yang kita pukul itu malakin anak yang dapet beasiswa dari Ayah. Kita kasian sama dia Ma, Bun. Dia aja bisa sekolah karena beasiswa. Nah, ini, uang jajannya yang gak seberapa itu malah diambil sama si David. Yaudah dong, Azzuhra sama Arsal ambil balik aja uangnya dari David. Toh, itu 'kan bukan haknya David."
Ara kembali melihat reaksi Ranti dan Sarah. Sepertinya mereka berdua seolah sepakat ingin menyanggah bahwa perbuatan Ara dan Alan itu salah.
"Sebentar Ma, Azzuhra kan belum selesai jelasin. Nanti aja ya nasihatin kitanya," sela Ara kemudian. Ara bukan bermaksud untuk kurang ajar, tetapi penjelasannya memang belum selesai.
Ranti tentu hanya bisa pasrah. Sikap Ara ini terbentuk karena kasih sayangnya juga. "oke, Mama dengerin lagi penjelasan Zuhra."
"Azzuhra sama Arsal udah berusaha minta uangnya secara baik - baik. Tapi, David dan temen - temennya malah mukul Arsal sampe biru-biru. Terus, Zuhra di dorong, untung aja gak kena batu. Bener 'kan Sal?" Ara menatap Alan meminta persetujuan.
"Bener banget. Ini buktinya, Arsal babak belur 'kan." Alan menunjukkan beberapa luka lebam di wajahnya.
"Kita selalu inget kok apa yang udah Mama, Papa, Bunda dan Ayah ajarin. Kita gak akan mukul duluan, kalo kita gak dipukul. Berbuat baik itu penting, walaupun mungkin perbuatan baik kita gak dihargai." Ara mengakhiri penjelasannya, dia menatap para orang tua secara bergantian.
Roy tersenyum haru seraya berkata, "Ayah gak tau sejak kapan kalian bisa sebesar ini, intinya, Ayah bangga sama kalian."
"Iya, Bunda sama Mama juga bangga banget. Karena, kalian selalu ingat apa yang udah kita ajarin. Tetap kaya gini, ya, sayang. Jangan dengerin omongan orang yang jelek tentang kalian." Sarah dan Ranti tersenyum hangat, kemarahan mereka berdua seolah hilang dalam sekejap.
"Bener banget, Papa juga bangga banget sama kalian. Tapi inget, jangan jadikan berantem sebagai jalan keluar. Kalian paham?!" sambung Reyhan seraya memberikan nasihat.
"Siap Papa bos," jawab Alan dan Ara serempak.
***
Setelah permasalahan tadi selesai, Alan dan Ara berpamitan untuk menuju ke kamar rahasia mereka. Jadi, baik di rumah Ara maupun Alan selalu ada satu kamar rahasia yang hanya boleh dimasuki oleh mereka berdua.
Bahkan, orang tua mereka tidak mereka izinkan untuk masuk. Karena isi di dalam kamar itu adalah planing yang sudah Ara buat dari umur delapan tahun dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Alan dan Ara.
Kamar rahasia ini bisa dikatakan sebagai kamar kedua bagi mereka. Jika Alan akan menginap di rumah Ara. Maka, Alan akan menempati kamar itu, begitupun sebaliknya.
"Lan, menurut lo kita perlu ganti warna cat gak?" tanya Ara, dia kini tengah sibuk melihat isi ruangan. Sepertinya dia ingin berganti suasana. Ruang kamar ini terlihat sangat monoton. Jika diberi sedikit sentuhan artistik dari tangannya, Ara yakin kamar ini akan terlihat lebih classy.
Alan menjawab, "Menurut gue gak usah deh, biru aja, netral. Jadi, lo sama gue gak perlu berebut warna."
"Bilang aja kalo lo males 'kan." Ara melirik Alan jengah.
"Nah, itu lo tau, kenapa pake tanya." Alan nyengir polos. Sejurus kemudian, dia berjalan menuju papan Planing milik Ara.
"Udah gue duga." Alan bergumam.
"Apaan?"
"Ini tentang lo yang mau jadi juara umum UN se Jakarta. Lo gak akan mungkin ngomong seyakin itu tanpa planing."
"Hahaha ... ternyata lo udah tau, ya. Syukur deh. Jadi, gue gak perlu ngejelasin lagi. Kita tinggal eksekusi aja, deh," kata Ara santai dia dengan segera menghampiri Alan.
Alan tergugu sesaat, "Bentar bentar, Kita? Maksud lo, gue sama lo?"
Ara mengangguk disertai dengan senyuman manisnya.
"Lho, kok gue juga ikutan?! Pokoknya gue gak mau ikutan, titik!" Alan menolak permintaan Ara. Bagaimana bisa Ara berpikir untuk membuat Alan menjadi siswa rajin? Padahalkan Alan sudah cinta mati dengan kemagerannya. Toh, yang membuat Alan mager seperti sekarang adalah Ara sendiri.
"Alaann! Dengerin nih, ya, Dodi itu udah ngatain kita berdua sebelas duabelas. Yang artinya kalo sebelas gak gerak. Dua belas gak akan bisa gerak." Ara mencoba membuat Alan mau untuk mengikuti apa yang dia inginkan.
"Gue gak peduli. Lagian, ngapain, sih, lo pake acara mau ngikutin tantangannya si Dodi. Bikin ribet aja tau. Lo tau kan, Ra, kalau taruhan itu Dosa!" Alan kini beralih menatap Ara, tatapannya yang sedikit tajam membuat Ara mengembuskan napas.
"Gue tau. Tapi, bukan itu alasan gue mau jadi juara umum saat UN nanti." Ara sedikit menunduk, mimik wajahnya berubah sedih.
Alan tiba-tiba saja melunak, dia paling tidak bisa melihat Ara sedih seperti sekarang.
"Maksud lo, lo ada alasan lain?" Ara mengangguk.
"Yaudah, tunggu apa lagi."
Ara tersenyum dia mengerti maksud dari Alan, "lo tau, gue rasa hidup kita itu terlalu mudah. Kita anak tunggal. Otomatis kasih sayang kita gak pernah kebagi. Kita punya orang tua yang lengkap dan berkecukupan. Kita punya orang tua yang gak pernah nuntut apa pun. Mereka selalu ngedukung apa yang kita mau. Padahal, kalau dipikir - pikir kita itu anak yang absurd banget. Beneran, deh. Tapi tetep aja, baik Mama, Bunda, Papa sama Ayah gak pernah nolak apa pun yang kita minta."
Alan mendengarkan dengan baik. Dia rasa apa yang Ara katakan itu benar adanya. Bahkan, dia sangat salut pada orang tuanya. Karena mereka masih mau menerima dirinya saat dia memiliki tingkat kemalasan yang luar biasa.
"Lo bener Ra, orang tua kita itu bener bener figur yang baik. Mereka bahkan mau kita suruh jangan ke sekolah buat ambil raport. Karena, kita gak mau dipandang dari harta kekayaan orang tua kita. Kita lebih suka hidup biasa aja. Sekolah pake sepeda. Padahal, udah berulang kali mereka mau beliin kita mobil. Tapi ujung-ujungnya, mereka lebih milih nurutin apa yang kita mau dan mereka gak maksain kehendak mereka," ucap Alan kemudian.
"Iya, bener banget." Ara membenarkan.
"Lo tau, alasan gue pengin juara itu karena keanehan di hari ulang tahun kita yang ke tujuh belas," jelas Ara, Alan langsung saja kebingungan.
"Keanehan apaan?"
"Udah gue duga. Lo pasti gak tau." Ara mendengkus sedangkan Alan hanya tersenyum polos seraya menggaruk tengkuk.
"Biasanya, setiap ulang tahun. Mama sama Bunda bakalan bikin harapan yang nyindir kita buat dapet peringkat 1 atau enggak 2. Nah, di ulang tahun ke tujuh belas kemarin. Mereka cuma berharap apa yang jadi harapan kita terkabul. Jujur, sikap Mama sama Bunda malah bikin gue merasa bersalah. Karena kita gak pernah mau bikin mereka bangga." Ara beralih menatap Alan, dia ingin melihat apakah Alan merasa bersalah juga.
Alan membalas tatapan Ara. "Jadi, lo mau kita banggain mereka di kelulusan SMA ini?"
Ara mengangguk, raut wajahnya yang penuh harap membuat Alan harus siap melepaskan sikap malas belajarnya.
"Yaudah, apa rencana lo?" tanya Alan pasrah. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Dia juga harus belajar demi Ara dan para orang tua.
Ara langsung saja tersenyum manis.
"Semua rencana udah tersusun rapi, tinggal kita mulai aja besok," ucap Ara bersemangat.
"Are you ready?"
"Yes Captain"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANARA [ SUDAH TERBIT ]
Teen FictionAlan dan Ara dua orang yang memiliki kesempatan, kekayaan dan kekuasaan memilih meredupkan cahaya gemilang yang sebenarnya bisa mereka manfaatkan. Alan yang notabennya anak dari pemilik sekolah bersama sahabatnya Ara, memilih berpenampilan cupu, me...