Roy sedang menenangkan Sarah. Dia dan Sarah dengan segera menghampiri seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Dokter, bagaimana keadaan anak saya?" Roy bertanya, dia menatap sang dokter dengan tatapan penuh kecemasan.
"Benturan dikepalanya cukup parah. Itu mengakibatkan pasien akan mengalami koma. Saya tidak bisa memastikan kapan pasien akan mulai siuman. Tapi bapak dan ibu tidak perlu kehilangan harapan. InsyaAllah pasien bisa siuman kembali." Penjelasan dokter itu membuat Sarah langsung menatap Roy lagi. Dia dengan cepat memeluk Roy dan kembali menangis pilu.
"Terimakasih dokter. Jadi, apa saya dan istri saya boleh masuk?"
"Tentu, bapak dan ibu boleh menjenguk pasien. Tapi setelah pasien dipindahkan ke ruang rawat. Saya permisi dulu pak." Roy mengangguk, kemudian dokter itu mulai pergi meninggalkan Sarah dan Roy.
"Yah, kenapa lagi-lagi Arsal harus koma?" pertanyaan Sarah tentu saja tidak bisa Roy jawab. Roy hanya bisa diam seraya mengelus kepala Sarah lembut. Kalau saja bisa, Roy tentu akan sangat bersedia menggantikan Alan tertidur didalam sana.
"Ya Allah, kenapa lagi-lagi anak hamba harus masuk rumah sakit dan kembali koma? Tidak bisa kah kau berikan segala sakitnya pada hamba saja?" ucapan pilu itu hanya bisa Roy suarakan di dalam benak nya. Karena ia juga harus tetap tegar untuk menjadi tameng atas kesedihan yang tengah dialami oleh Sarah.
***
Ara sedari tadi hanya diam. Dia bahkan tidak meringis sedikit pun saat luka nya dijahit. Ya, luka di telapak tangan Ara cukup dalam sehingga mengharuskan dirinya mendapati tangan nya dijahit. Tidak banyak, hanya 3 jahitan saja. Tapi, bukan kah itu cukup untuk membuat ngilu?
Dokter lelaki ini sedaritadi melirik Ara. Dia heran, mengapa bisa ada seorang gadis imut yang tidak meringis sedikit pun saat tangan nya dijahit? Ara mengalihkan pandangan nya pada sang dokter. Dokter itu pun sedikit gelagapan. Kemudian dengan cepat dia menyelesaikan pekerjaan nya.
"Sudah selesai dok?" Ara melihat dokter itu mengangguk.
"Saya boleh pergi kan?" dokter itu kembali mengangguk.
Ara dengan cepat turun dari ranjang tempat nya duduk. Dia mulai akan melangkah.
"Jangan lupa ganti perban nya." dokter itu mengingatkan, Ara hanya mengangguk kecil. Dia dengan cepat keluar. Ara sudah tidak sabar untuk bertemu Alan.
"Sayang, mau kemana?" tanya Ranti, dia dan Reyhan baru saja sampai setelah tadi membeli makanan untuk Ara.
Ara menjawab, "Ke tempat Arsal ma. Arsal pasti udah nungguin Zuhra."
"Nanti dulu ya, kamu makan dulu. Mama sama papa udah beliin makanan lho."
"Zuhra gak laper ma, mama sama papa makan aja. Zuhra pergi dulu, Assalammualaikum."
Ara segera berlari meninggalkan Ranti dan Reyhan. Mereka berdua tidak punya pilihan lain selain menyusul Ara. Lagi pula, keduanya juga sangat mengkhawatirkan keadaan Alan.
***
Ara memelankan langkah kaki nya. dia bisa melihat Sarah yang menangis pilu. Roy yang melihat keberadaan Ara langsung memberitahu Sarah untuk menghentikan tangisan nya.
"Bunda, kenapa nangis? Arsal baik-baik aja kan?" Ara menatap Roy dan Sarah intens.
"Sini, sayang."
Roy memanggil Ara, dengan segera Ara mendekat dan duduk di samping Roy.
"Kenapa yah?"
"Zuhra sekarang udah umur tujuh belas kan?" Ara mengangguk, "Iya, kenapa memang nya?" tanya Ara dia masih kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANARA [ SUDAH TERBIT ]
Teen FictionAlan dan Ara dua orang yang memiliki kesempatan, kekayaan dan kekuasaan memilih meredupkan cahaya gemilang yang sebenarnya bisa mereka manfaatkan. Alan yang notabennya anak dari pemilik sekolah bersama sahabatnya Ara, memilih berpenampilan cupu, me...