Pagi ini Ara sangat kesal. Gara - gara kejadian kemarin, Alan marah padanya. Lalu, gara - gara Alan marah, semua hal menyebalkan terjadi.
Hal menyebalkan pertama adalah Ara bangun kesiangan. Setelah itu sepedanya tiba - tiba rusak. Lalu, Reyhan, papanya sudah berangkat kerja.
Seolah masalah belum selesai. Ara jadi semakin terlambat karena harus mengejar angkot terlebih dahulu. Ditambah dia juga harus bermacet - macet ria. Yang lebih menyebalkannya lagi, dia sampai melupakan sarapannya. Padahal, sarapan adalah asupan terpenting untuk Ara lebih dari apapun.
Penderitaan Ara belum selesai sampai di situ. Kini, dirinya tengah menjalani hukuman hormat pada bendera. Ara sebenarnya memiliki fisik yang kuat. Namun, perutnya yang belum terisi membuat raut wajahnya seperti mayat hidup.
Sepertinya Allah yang maha baik, masih memberikan kebahagiaan pada Ara. Karena wajah pucatnya, Ara dengan cepat dibebaskan dari hukuman. Setelah mengucapkan kata maaf dan terimakasih, Ara berjalan gontai menyusuri koridor guns mencapai kelas XII MIPA 1.
***
Alan sedari tadi melihat ke arah pintu. Dia merasa sangat khawatir. Tadi, Ranti mengabarinya bahwa Ara terlambat dan dia lupa membawa ponsel juga lupa sarapan.
Alan tentu tau, bahwa Ara paling tidak bisa jika tidak sarapan. Gadis itu bisa saja pingsan di jalan atau mungkin menabrak sesuatu. Seperti kejadian beberapa waktu yang lalu. Waktu itu Ara dan Alan berniat pergi ke taman bermain. Denga sombongnya Ara bolos sarapan. Dia mengaku tubuhnya akan tetap kuat, walau dia tidak sarapan lebih dulu. Karena kesombongan itu sepeda yang Ara naiki oleng, lalu menabrak pagar rumput milik orang.
"Semoga aja, Ara gak pingsan atau nabrak lagi deh." Alan bergumam.
"Assalam'ualaikum, maaf pak, saya terlambat." Alan mengembuskan napas lega. Dia tersenyum saat melihat Ara berada di depan pintu.
"Wa'alaikumussalam. Iya, silahkan masuk."
Setelah mendapatkan izin, Ara langsung menuju tempat duduknya.
"Ada yang habis dihukum, nih," cibir Marcel. Seisi kelas langsung bersiap untuk mendengarkan adu bacot. Bahkan, pak Rahmat sudah pasang earphone.
Ekspektasi memang tidak akan pernah sejalan dengan realita. Itu lah yang terjadi saat ini. tidak seperti yang sudah-sudah. Respon Ara kali ini terlihat sangat aneh. Gadis itu tetap diam. Dia bahkan terlihat seperti orang linglung. Rambut yang biasa dikepang pun terlihat kusut seperti tidak di sisir. Pak Rahmat sampai keheranan. Begitu juga dengan semua orang. Terkecuali Alan tentunya.
Hanya Alan yang tau kondisi Ara sekarang. Jika Ara sudah berjalan seperti orang yang tak punya tujuan hidup. Mau dicaci maki seperti apapun gak akan ngefek sama sekali.
***
Lima belas menit berlalu. Pak Rahmat masih menjelaskan tentang fisika. Sedari tadi guru fisika itu melihat ke arah Ara. Diamnya Ara di pelajarannya adalah kebahagiaan sekaligus musibah. Memang Pak Rahmat sering kali dibuat kesal oleh pertanyaan Ara yang tak masuk akal. Tapi hari ini, melihat Ara yang diam saja, tetap membuat pak Rahmat kesal sendiri.
Entah ada apa dengan pak Rahmat.
Disisi lain, Ara duduk dengan gelisah. Berulang kali, ia melihat kearah jam tangannya. Baru lima belas menit akan tetapi rasanya dia sudah begitu lama duduk di kelas. Ara pikir pelajaran fisika akan cepat selesai. Nyatanya perkiraan Ara salah. Hari ini rasanya waktu berjalan terlalu lambat. Padahal kondisi tubuhnya sedang tidak baik-baik saja.
Ara mencoba menyimak penjelasan pak Rahmat lagi. Rumus yang harusnya dia lihat malah berubah menjadi bayangan yang tidak jelas.
Gue udah gak tahan lagi. Dari pada pingsan di sini. Terus gue jadi bahan ejekan. Lebih baik gue ke UKS aja, deh. Batin Ara.
"Pak." Ara mengangkat tangannya. Pak Rahmat tersenyum samar. Sepertinya kali ini dia sudah siap menjawab pertanyaan sesulit apapun dari Ara.
"Iya, Ara, mau tanya apa," jawab pak Rahmat. Manik matanya fokus melihat Ara. Batinnya bersorak gembira.
"Saya bukan mau tanya, Pak. Saya mau izin ke UKS," sahut Ara dengan suara yang terdengar semakin lemah.
"Kamu sakit? Yasudah, ke UKS saja. Dewi, kamu piket hari ini, 'kan? Tolong___"
"Gak perlu, pak. Saya bisa sendiri." Ara memotong ucapan pak Rahmat. Tubuh mungil itu berdiri. Langkah pertama diambil dengan mulus. Namun, lama kelamaan Ara berjalan sempoyongan hingga akan menabrak pintu. Seisi kelas menatap miris pada Ara. Mereka seolah kasian dengan keadaan Ara yang tak biasa.
"Pak." Alan mengangkat tangan.
"Iya, sudah sana kamu temani, Ara. Saya takut dia pingsan. Jalan saja sudah sempoyongan, begitu."
"Baik pak, saya permisi."
Setelah keluar dari kelas. Alan sengaja berjalan pelan di belakang Ara. Sebenarnya, dia tidak tega melihat Ara seperti ini. Tapi ini semua Alan lakukan agar Ara tau bahwa Ara tidak boleh berbicara seperti itu lagi. Apa lagi jika di depan cowok selain Alan.
Alan refleks berlari saat Ara terlihat memegang kepalanya. Kondisi Ara benar - benar seperti orang yang akan pingsan.
Bruk ... Ara terjatuh tepat dipelukan Alan.
"Alan." Ara bergumam, seraya tersenyum tipis. Kelopak mata itu mengerjap perlahan. Sampai akhirnya dia kehilangan kesadaran.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ALANARA [ SUDAH TERBIT ]
Teen FictionAlan dan Ara dua orang yang memiliki kesempatan, kekayaan dan kekuasaan memilih meredupkan cahaya gemilang yang sebenarnya bisa mereka manfaatkan. Alan yang notabennya anak dari pemilik sekolah bersama sahabatnya Ara, memilih berpenampilan cupu, me...