Mimpi Buruk

2K 320 159
                                    

Ara terbangun dengan napas yang memburu. Matanya sembab, wajahnya pucat pasi. Mimpi buruk ini benar-benar membuatnya takut.

Sudah hampir lima tahun Ara berusaha untuk melupakan kejadian itu. Tapi, entah mengapa dia bisa memimpikan hal itu lagi.

Mimpi itu terlihat begitu nyata. Alan yang berlumuran darah. Alan yang masuk rumah sakit hingga dia koma selama hampir tiga bulan. Ara yang selalu menangis di pojok kamarnya. Semua itu kembali Ara lihat didalam mimpinya.

Ara menoleh melihat jam yang menunjukan pukul empat pagi. Dia bergegas pergi menuju kamar Alan. Pikiran Ara benar-benar kacau. Dengan langkah gontai dan masih tetap menitikan Air mata, Ara berusaha pergi ke kamar Alan yang berada di samping kamarnya.

Ara membuka pintu secara perlahan. Dia bisa melihat Alan yang tengah melaksanakan shalat tahajud. Ara memilih diam di ambang pintu. Menunggu Alan selesai melaksanakan ibadahnya.

Ara mengatur pernapasannya, dia berusaha membuat suara tangisannya tidak terdengar. Sekarang, lulutnya terasa begitu lemah. Dia memutuskan untuk duduk menggelosor di depan pintu kamar Alan.

Alan selesai melaksanakan shalat dan berdoa. Dia beranjak untuk mengambil Al-Qur'an. Langkahnya terhenti saat merasakan keanehan. Dia lantas menoleh ke arah pintu dan menemukan Ara dengan tatapan kosong dan wajah yang dipenuhi air mata.

Alan mendekat. "Ra. Lo kenapa?" tanya Alan kebingungan.

Bukannya menjawab. Ara malah mengulurkan tangannya guna menelusuri wajah Alan. "Lo gak berdarah kan Lan?" gumam Ara lirih.

"Lo gak akan tidur lama lagi kan?"

"Lo baik-baik aja kan?"

Ara terus saja mengoceh seraya menangis. Alan menyadari satu hal, Ara pasti bermimpi tentang kejadian lima tahun yang lalu sama seperti dirinya.

Alan menghapus air mata Ara. Dia dengan cepat menggendong Ara dan memindahkannya ke ranjang. "Lo tenang ya. Gue gak papa kok."

Alan merengkuh Ara kedalam pelukannya. Ia mengusap puncak kepala Ara lembut. Berusaha menyalurkan ketenangan pada Ara.

Ara sudah lumayan tenang. Tapi dia belum mau bersuara lagi. Dia bahkan memegang tangan Alan erat. Seakan-akan takut kehilangan sahabat kecilnya itu.

"Ra, Biar lo tenang, mending lo ambil wudhu dulu ya. Bentar lagi adzan subuh. Kita shalat bareng." Alan berbicara lembut. Dia menunggu respon Ara. Ara mengangguk. Kemudian mulai melangkah ke kamar mandi.

Alan menatap punggung Ara sendu. Dia paling tidak suka melihat Ara menangis dan menyiksa diri atas kesalahan yang bahkan tidak Ara lakukan.

***

"Lan, Ara kenapa? Kok dia diem aja? Ara sakit?" Aletta bertanya sesaat setelah Miss Diana keluar kelas. Dia melihat Ara yang tengah terpejam seraya bersandar pada pundak Alan.

Pertanyaan Aletta mewakili rasa penasaran teman kelasannya yang lain. Pasalnya, dari awal masuk Ara hanya diam. Dia bahkan terlihat sangat murung. Belum lagi Ara sama sekali tidak melepaskan tautan tangannya dengan Alan.

Selain itu, hari ini semua hal yang berbau pelajaran Alan lah yang mengerjakan. Itu semua membuat seisi kelas dan dua guru yang mengajar sangat keheranan.

Alan menatap Aletta sebentar. "Ara gak papa kok. Mood nya emang lagi jelek. Gue saranin lo gak perlu terlalu peduli," ucap Alan pelan. Dia mencoba membuat Ara tidak terjaga dari tidurnya.

Aletta mengangguk. Dia memilih menuruti Alan untuk tidak terlalu kepo. "Ehm. Gue ngerti kok. Gue mau ke kantin. Lo mau nitip makanan buat Ara?" Aletta menawarkan diri untuk membelikan Ara makanan, tapi ditolak secara halus oleh Alan.

ALANARA [ SUDAH TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang