Selamat membaca ^__^
.
.
.
.
."Pak Azram?!"
"Ampun pak..gak sengaja emm itu anu ohh iya iya anu itu" Ucap Adiba seraya membalikkan tubuhnya dan berjalan cepat menuju tempat duduknya.
Pak Azram pun berjalan menuju meja guru dan duduk disana. Ia menatap semua murid dihadapannya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
"Baca buku fisika kalian, bapak beri waktu 15 menit, hari ini ujian" Ucap Azram dengan wajah yang sangat datar. Berbeda dengan para murid yang melongo mendengar ucapan Azram.
Mulut Adiba terbuka lebar dengan mata yang hampir keluar dari tempatnya. Sedangkan Nala mengorek ngorek telinganya, berharap apa yang di dengarnya barusan hanyalah kesalahan pendengarannya saja.
Haiva yang melihat itu tertawa pelan. Kemudian ia mengarahkan dagu Adiba agar mulutnya tertutup. Adiba yang diperlakukan seperti itu pun agak terkejut.
"Gak usah gitu juga kali Ba, entar dimasukkin lalat gimana?" Ucap Haiva.
"Nala, yang kamu denger barusan bener kok, berenti ngorek ngorek telinga, jorok tau" Ucap Haiva lagi.
"Iya bu ustadzah.." Ucap Adiba dan Nala bersamaan.
"10 menit lagi" Ucapan Azram menghentikan pembicaraan ketiganya. Buru buru mereka membuka tas masing masing, ingin mengambil buku fisika mereka.
"Astaga! Ketinggalan!" Ucap Adiba dengan raut wajah panik. Haiva dan Nala sudah siap untuk membaca buku. Mereka mengalihkan pandangan ke arah Adiba.
"Yang ketinggalan buku, keluar!" Ucap Azram seakan tau apa yang terjadi. Memang pendengaran Azram sangat tajam. Dan ia juga tak suka tempat yang terlalu bising.
Adiba hanya pasrah. Ia pun berdiri dari duduknya. Tak ada seorang pun yang berdiri selain Adiba. Itu berarti hanya ia yang ketinggalan buku fisika. Adiba pun berjalan pelan keluar dari ruang kelas.
Kini Adiba memakai jilbab sekolah yang sangat pendek serta diikat kebelakang. Tangan baju yang digulung hingga siku. Tak lupa rok yang terlihat ketat dan hampir satu kilan di atas mata kaki.
Sudah hampir 20 menit Adiba berdiri di luar kelas. Adiba sudah mulai bosan dan lapar. Ia pun memutuskan untuk pergi ke kantin dengan jalan mengendap endap. Ia berjalan pelan sambil melihat kanan dan kiri. Karena Jalan menuju kantin harus melewati beberapa ruang kelas.
Brukk!
Tubuh Adiba terhuyung ke belakang, namun tangan seseorang memegang tangan Adiba agar tidak terjatuh. Setelah Adiba dapat menyeimbangkan tubuhnya. Ia ingin melihat siapa yang ia tabrak. Aliran darah di tubuh Adiba seakan berhenti. Nathan sudah berdiri di depannya dengan senyum yang manawan. Namun tersirat kerinduan di iris matanya.
Adiba tersadar tangannya masih dipegang oleh Nathan. Buru buru ia menghempaskannya agar pegangan itu terlepas. Nathan dibuat bingung lagi dan lagi. Dimana sosok Pio nya yang dulu?
"Kamu kenapa sih Pio?" Tanya Nathan namun tak dihiraukan oleh Adiba. Ia memerhatikan penampilan Nathan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sekarang Nathan masih memakai tas sekolah. Padahal pelajaran pertama sudah dimulai sejak 35 menit yang lalu.
Pasti baru dateng. Pasti baru manjat tembok belakang sekolah. Jujur, gue rindu saat kita berdua manjat tembok bareng bareng. Dan gue rindu saat kita lari larian karena ketahuan manjat tembok sama pak Haris. Atan gue rindu semuanya batin Adiba.
Nathan yang merasa tak direspon pun melambai lambaikan tangannya di depan wajah Adiba. Adiba pun tersadar dan mengalihkan pandangannya ke sembarang tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADIBA
Teen FictionAda kalanya kamu menangis dalam keheningan seolah mencurahkan isi hati pada gelapnya malam, dan ketika terbangun bantalmu masih basah. Ada kalanya ketika kamu ingin menyerah, frustasi akan segala sesuatu yang memberatkan langkahmu. Ada kalanya kam...