"Tumben kamu ngajak ketemu dadakan gini" Ucap Fandi yang baru saja datang di cafe dan sekarang berada di depan meja Haikal dan Salma. Mereka bersalaman. Kemudian Haikal menyuruh mereka semua untuk duduk.
"Ada yang ingin aku bicarakan mengenai perjodohan Azram dan Adiba" Fandi dan Hana terdiam kala kalimat itu keluar dari mulut Haikal. Mereka berdua menatap serius Haikal.
"Kenapa Haikal?" Tanya Fandi yang sudah sangat penasaran dengan apa yang akan diucapkan sahabatnya lagi, begitupun Hana. Entah kenapa hati mereka agak sedikit tak nyaman.
"Kemarin ada yang melamar Adiba" Penuturan Haikal membuat Fandi dan Hana saling menatap bingung kemudian kembali menatap Haikal seolah meminta penjelasan.
"Dan aku gak bisa menolak lamaran itu" Ucapan Akbar kali ini sontak membuat Fandi membuka mulutnya. Ia tak ingin merasa di main mainkan disini.
"Jadi kamu terima lamaran itu?!" Fandi sedikit terpancing emosi. Hana yang melihat suaminya seperti itu, mengelus punggung Fandi pelan berharap bisa menenangkannya.
"Aku tidak menolak dan tidak menerima juga. Terlebih lagi yang melamar itu kakaknya sahabat Adiba. Aku juga tidak mau anak ku terpaksa menerima perjodohan yang kita buat, jadi aku beri Adiba waktu tiga bulan untuk memilih antara Azram atau 'laki laki kemarin'" Haikal menjelaskan semuanya. Apa yang ia ucapkan semuanya murni dari keputusannya sendiri.
Fandi menghembuskan nafasnya berat. Kemudian menyeruput kopi yang baru saja ia pesan. Ia juga sadar, bahwa dirinya sedikit kejam karena menjodohkan anaknya. Ia merasa seperti memperalatkan anaknya sendiri demi perusahaannya.
"Iya aku ngerti. Aku masih ada pekerjaan, jadi kami pamit duluan" Ucapan Fandi membuat Hana bingung. Mereka baru beberapa menit duduk disini.
"Assalamua'laikum" Ucap Fandi yang diikuti Hana. Tak menunggu balasan Haikal dan Salma, keduanya sudah pergi ke luar dari cafe.
Haikal dapat merasakan rasa kekesalan di wajah Fandi. Ia yakin sahabat lamanya itu pasti kecewa padanya. Tapi Haikal segera menepis itu. Keputusannya sudah bulat. Sekarang tinggal menunggu tiga bulan dan tentunya mendengar keputusan Adiba.
&&&
Gini ya rasanya dibelain orang yang spesial Batin Akbar. Tanpa sadar Akbar melamun. Dan Nala sudah selesai mengobati kaki Adiba yang keseleo tadi. Kaki Adiba sudah merasa lebih nyaman setelah di kompres Nala.
Nala melihat abangnya sedang melamun. Tiba tiba sebuah ide muncul di kepalanya.
"Adiba! Lo kenapa?! Sakit ya?!" Teriak Nala yang sangat memekakkan telinga membuat Akbar tersadar dari lamunannya. Sedangkan Adiba sontak menutup telinganya dengan kedua tangannya.
"Ehh iya kenapa Adiba kenapa?!" Akbar menjawab dengan tergagap gagap membuat Nala tertawa terpingkal pingkal. Ada ada saja dua kakak beradik ini, pikir Adiba.
"Eh btw Ba, kita tadi kesini mau ngajak lo jalan mumpung weekend bukan gue sih yang mau tapi bang Akbar yang mau dan gue di paksa ikut" Ucapan Nala mendapatkan tatapan tajam bagai elang dari Akbar.
"Gak jadi, kaki kamu pasti masih sakit kan?" Tanya Akbar."Gak kok, kalo mau jalan ayo aja" Adiba langsung berdiri. Menggerak gerakkan kakinya seolah merasa tak apa apa.
"Gue juga ayo aja sih" Nala ikut menambahinya. Sedangkan Akbar hanya mengangguk.
"Tunggu sepuluh menit lagi gue siap ok?" Ucap Adiba kemudian berjalan ke kamarnya. Setelah sampai dikamarnya Adiba membuka lemari baju. Ia cukup bingung untuk memakai baju yang mana kali ini. Mata Adiba jatuh pada sebuah gamis berwarna coklat. Namun ia berpikir sejenak.
Ini mau jalan jalan kemana sih? Kalo gue pake gamis yang agak panjangan trus ternyata jalan jalan ke gunung gimana? Batin Adiba bertanya tanya.
Akhirnya setelah hampir sepuluh menit, kini Adiba sudah siap dengan pakaian yang terlihat kekinian. Adiba memakai celana kulot berwarna mocca dan kaos putih polos ditambah blazer motif Tartan. Serta pahsmina hitam. Plus sepatu flat shoes dan tak lupa tas selempang kecil bermerek YSL yang sudah lama tak ia pakai.
Adiba turun tangga dengan perlahan, kakinya agak sedikit sakit tapi tidak akan menghalanginya untuk pergi jalan jalan. Akbar yang semula asik dengan hpnya, dipanggil Nala untuk melihat Adiba. Dan benar saja pandangan Akbar seolah terkunci pada gadis cantik nan manis yang sedang menuruni tangga. Sedangkan Nala cekikikan tak jelas melihat sikap Akbar seperti ABG yang baru saja mengenal cinta. Tapi Adiba memang cinta pertama Akbar dan Akbar harap Adiba juga lah cinta terakhirnya.
"Zina mata bang, bukan mahram..." Nala memukul mukul pipi Akbar hingga abangnya itu tersadar kemudian kembali salah tingkah.
"Ayo jalan!" Ajak Adiba yang sudah berada di depan Akbar dan Nala. Keduanya mengangguk. Mereka bertiga pun berjalan menuju mobil Akbar. Nala dan Adiba lebih memilih di bangku belakang. Dan Akbar tentu saja duduk di kursi kemudi. Akhirnya mobil yang mereka tumpangi melaju dari pekarangan kediaman rumah keluarga Haikal.
"Jadi kita mau kemana nih?!" Teriak Nala memecahkan keheningan yang terjadi. Adiba sedikit kaget dengan teriakan Nala, begitupun Akbar. Ia hampir saja mengerem mendadak karena itu.
"Lah, gue kira lo udah tau mau kemana. Emm..gue sih ngikut aja" Ujar Adiba. Akbar terus berusaha memfokuskan dirinya untuk menyetir. Namun sesekali matanya gatal untuk melihat pantulan wajah Adiba dari kaca yang menggantung di depan kirinya.
"Gue sih mau ke danau yang lagi rame diomongin itu, tapi gue laper nihh"
"Bang makan dulu kuy!" Ucap Nala lagi. Akbar hanya berdehem tanda setuju. Adiba juga tak merasa keberatan, lagian perutnya juga agak sedikit lapar.
Setelah berkeliling kesana kemari, akhirnya mereka semua turun di warung makan khas padang. Makanan yang terpampang di etalase kaca membuat perut ketiganya meronta ronta.
Rumah makan ini cukup luas dan ramai pembeli. Mereka duduk saling bersampingan. Lebih tepatnya Nala yang berada di tengah tengah antara Akbar dan Adiba.
Akbar mengangkat tangannya pada seorang pelayan. Kemudian pelayan itu datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah buku dan pulpen.
"Saya sate kambing sama es teh manis, kalian pesen apa?" Ucap Akbar setelah itu menatap Nala dan Adiba bergantian.
"Saya rendang aja deh sama es jeruk"
"Emm..saya gulai kambing, minumnya es jeruk juga deh" Pelayan itu pun mencatat pesanan ketiganya, kemudian berlalu pergi.
Meja yang mereka tempati ini kurang lebih muat delapan orang yang saling berhadapan. Namun barisan di depan mereka sudah penuh, jadilah mereka duduk saling bersampingan seperti sekarang. Setelah pesanan mereka datang, tepat saat itu juga orang orang yang ada di depan mereka meninggalkan meja.
Dan ada satu pemandangan yang membuat Adiba menelan ludahnya. Nala dan Akbar sudah memakan makanan mereka dengan lahap. Tetapi Adiba terus mengusap matanya, berusaha memastikan bahwa pemandangan di depannya ini memang benar adanya.
"Itu dia kan? Cewek itu siapa?"
(:
KAMU SEDANG MEMBACA
ADIBA
Teen FictionAda kalanya kamu menangis dalam keheningan seolah mencurahkan isi hati pada gelapnya malam, dan ketika terbangun bantalmu masih basah. Ada kalanya ketika kamu ingin menyerah, frustasi akan segala sesuatu yang memberatkan langkahmu. Ada kalanya kam...