Banu menyapu pandangan. Melihat seluruh isi ruangan tengah hening. Khanin yang semula ceria berubah muram dengan gelagat bingung yang kentara jelas di wajahnya.
Tangan gadis itu memainkan selang infus, ragu ingin bertanya, "Gue...gue bingung" Celetuk Khanin memanyunkan bibir, "Sebenarnya apa yang terjadi sama gue"
Jeje dan Juna saling pandang, menghembuskan nafasnya gusar, "Nggak perlu tau, Nin. Lo jaga kesehatan aja" Jelas Jeje tak mau memberi tahu.
Indah mengelus puncak kepala Khanin, "Nggak ada yang terjadi. Anggep aja tadi itu cuman seseorang dari masa lalu lo" Ujar Indah langsung mendapat decihan samar dari Bobby.
Banu melemaskan bahu, "Gue tadi ke ruang dokter. Katanya lo bisa pulang dua hari lagi, dengan alasan obat lo tetep dibawa" Katanya dengan suara pelan.
Bahu Khanin melemas. Ia senang bisa pulang, tetapi tetap saja pikirannya tidak tenang, memikirkan kejadian aneh yang barusan terjadi.
Si mata sipit alias Bobby mendenguskan hidung, "Jangan berusaha untuk nginget dia sementara ini" Ujarnya serius, "Lo tau kan efek sampingnya apa?" Khanin menatap satu persatu temannya, kemudian merunduk dan mengangguk mengerti.
"Lo ngga mau makan dulu?" Tanya Banu yang kini maju, mengelus rambut Khanin.
Khanin mengerjap, "Nggak, gue udah kenyang" Katanya menenangkan.
Jeje menatap kedua orang tersebut dengan mata menajam. Ada perasaan aneh seketika yang menghinggap di dadanya.
Otomatis pemuda mungil itu berdiri, tanpa kata membuka pintu dan menutupnya sedikit kasar. Bobby yang panik ikut keluar diikuti Juna yang tak mau ikut campur, ikut menyusul kedua orang tadi.
Elusan dari Indah mengejutkan Khanin, "Mereka nggak apa apa, palingan sekarang cuman mau makan" Ujarnya tersenyum maklum.
Banu menoleh kearah pintu, merasa ada yang tidak beres dengan ketiga lelaki tadi. Cowok itu tak ambil pusing, kini ia duduk sambil menyuapi Khanin dengan buah yang dibawa suster tadi.
Khanin mengunyah buah itu dengan suasana hati lebih tenang, "Makasih ya, lo udah mau ngerawat gue sampe sekarang" Banu mengernyit, ketika dengan tiba tiba Khanin memeluk cowok itu erat.
"Gue tebak, pasti lo selalu jenguk gue selama gue disini, iya kan? Gue tidur, tapi insting gue bilang ada orang yang selalu jaga gue" Ujarnya melepaskan pelukan Banu, membuat cowok itu menatap tepat Khanin.
Khanin terkekeh kecil, "Kenapa kaget gitu?" Tanyanya jadi membuat Banu salting.
"Aaa....ah iya hehehe gue selalu dateng kesini kok..." Ragu di dalam suara Banu dapat dirasakan Indah yang masih menetap diruangan ini.
Khanin menoleh kesamping ranjangnya, "Buktinya lo selalu bawa bunga. Gue suka bunga matahari, Btw. Jadi makasih banyak" Pekik Khanin senang. Kini menghirup bunga tersebut.
Banu hanya mengangguk tak menjawab lebih. Ia sadar dirinya hanya berbohong di depan Khanin.
Soal seringnya ia kemari dan juga pemberian bunga rutin itu hanya dilakukan seorang Archandra Keanza. Tetapi itu semua sia-sia. Khanin bahkan tak mengingat satu detailpun tentang lelaki itu.
Lelaki yang selama ini selalu datang kemari, tak satupun hari terlewat baginya.
Tetapi kenyataan pahit dengan teganya menghancurkan lelaki itu.
Pada akhirnya, Archandra kembali terlupakan.
••••••
Senin pada hari itu S.I High School mengadakan upacara bendera seperti biasa. Cuacanya cerah dengan matahari yang menyengat kulit para murid, hingga menimbulkan suara desisan kepanasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Call You Mine✔︎
FanfictionKhanindhya punya impian besar terhadap Archandra. Baginya Chandra itu adalah impiannya yang sudah terkabul, dengan menjadi sahabatnya. Namun Khanindhya rupanya sudah melanggar perasaannya sendiri di balik kedok persahabatan. Berharap Chandra membala...