×11×

1.1K 161 6
                                    

Hanbin merasa bersalah pada gadis yang sekarang tertidur di kursi beroda miliknya.
Rekaman telah usai setengah jam yang lalu.

Namun sang empunya studio masih betah memandangi wajah polos Jennie yang tengah tertidur akibat kelelahan menungguinya selesai rekaman.

Ia sampai tak tega membangunkannya. Jadi pria Kim berniat menggendongnya sampai ke dalam mobilnya.

Untung saja studio pribadinya itu ada di lantai bawah, jadi ia tidak harus menggunakan lift. Hanya perlu keluar dari gedung menuju tempat mobilnya terparkir.

Sampai tubuhnya sudah dibaringkan ke jok tengah mobil Hanbin, gadis itu tak terusik juga. Ia benar-benar pulas.

Sebelum masuk ke mobilnya, Hanbin mengedarkan pandangan ke sekeliling area parkir. Tak ada mobil Jennie disana, yang berarti gadis ini menggunakan taksi tadi.

Saat mengemudi, sesekali ia melirik dari kaca spion memastikan Jennie terbangun atau tidak. Tapi ternyata gadis itu masih tertidur.

Ia menghela nafas, sekarang Hanbin hanya harus menggendong Jennie ke lantai 6. Apartement sedang sepi, sebab masih jam efektif kerja.

Jadi Hanbin tak perlu repot-repot menyapa para tetangganya sambil menggendong gadis kucing itu.

Pria Kim terdiam di depan unitnya, lalu melirik kearah unit milik gadis dalam gendongannya.

Masalahnya, ia tidak tau sama sekali password apartement gadis ini. Dan ia menyimpulkan Jennie sedang pingsan sekarang.

Sebab pergerakannya dari tadi tak membuat Jennie terbangun. Akhirnya dengan penuh perjuangan ia menekan password apartementnya.

Memutuskan untuk membiarkan Jennie tidur di ranjangnya sampai ia terbangun.
Hanbin membuka pintu balkon dan duduk di kursi yang tersedia disana.

Meraih note dan pulpennya, ia baru saja mendapat inspirasi. Maka ia langsung saja menuangkannya kedalam lirik lagu.

Angin sore dilangit mendung hari ini terasa sejuk. Beberapa hari ini memang sering gerimis. Tapi tak sampai hujan yang kelewat deras atau bahkan badai.

Namun awan pekat yang memayungi Seoul hari ini sepertinya akan menumpahkan hujan deras.

Untung saja Hanbin sudah membawa Jennie pulang walaupun bukan ke unitnya.

Benar, gerimis mulai turuh membasahi Seoul di senja hari ini. Hanbin menengok ke kamarnya, masih ada gadis itu tertidur dengan damai.

Ketika intensitas hujan mulai bertambah deras disertai angin, Hanbin beranjak masuk kedalam. Menutup pintu balkon agar Jennie tak kedinginan.

Kakinya melangkah ke dapur untuk membuat coklat panas. Namun jendela ruang tengahnya yang ternyata terbuka berbunyi keras akibat terbanting angin.




Jennie terkesiap. Ia bangun akibat suara petir yang terdengar mengerikan di rungunya.

Lalu gadis itu mengedarkan pandangannya, ini bukan kamarnya. Namun ia familiar dengan aroma citrus yang identik dengan pemiliknya.

Ia bangkit dari ranjang untuk mencari sang empunya kamar yang ia tempati. Kakinya baru berhasil menapak lantai, kala petir keras terdengar. Dan gelap. Hal yang paling ia benci.

Listriknya mati, "Oppa!" pekiknya ketakutan.

Tubuhnya segera merosot lemas dan bersandar pada pinggiran ranjang. Nafasnya mulai tak beraturan.

Menyembunyikan wajah diantara kakinya yang tertekuk. Matanya terpejam erat.

Bibirnya mulai mengeluarkan isakan putus-putus diikuti badannya yang gemetar hebat.

Ia mendengar langkah berderap mendekatinya. "Jane?! kau dimana?" itu suara Kim Hanbin.

Dengan cahaya senter seadanya yang berasal dari benda pipih miliknya, ia berusaha mencari keberadaan sang gadis.

Jennie tak bisa menjawab, bibirnya terasa kelu bahkan untuk mengucapkan satu kata saja. Berakhir malah isakannya yang semakin mengeras.

Hanbin menemukannya meringkuk bersandar pada pinggiran ranjang miliknya. Ia segera melempar asal ponselnya.

Ikut berlutut di hadapan Jennie, melingkupi tubuh mungil itu dengan lengan kekarnya.

"Sshhh sudah, oppa disini" kalimat menenangkan mulai keluar dari mulutnya.

Tangan kanannya mengelus lembut surai Jennie, sedangkan tangan satunya berada di punggung gadis itu melakukan hal yang sama.

"Kukira kau sudah bisa melawan phobia mu" seperti biasa untuk menenangkan Jennie, pria itu akan terus mengajaknya bicara.

Pria Kim merasakan badan Jennie yang lebih rileks dari sebelumnya. Ia mengecup puncak kepala gadis itu lama.

Isakannya sudah reda, Jennie berbicara di dalam pelukan pria itu. Namun suaranya teredam, hingga Hanbin hanya mendengar gumaman tak jelas.

"Hm?" deham Hanbin singkat dengan lembut.

"Kenapa oppa melakukan semua ini padaku?" kali ini pertanyaan gadis itu lebih jelas.

"Melakukan apa?"

Hening, gadis itu ragu dan malu untuk melanjutkan rasa penasarannya. Hanbin mencoba untuk melonggarkan pelukan mereka.

Jennie malah sebaliknya, memeluk tubuh beraroma citrus milik pria itu lebih erat.
"Jane? kau harus melawan phobia mu, hanya lihat mataku jangan lihat gelapnya"

Perlahan pria Kim mengurai jarak mereka, namun yang ia temukan malah mata Jennie yang masih terpejam sangat erat.

Ia mencium kelopak mata gadis itu, lalu mengusap sisa-sisa air mata di pipi gempal Jennie.

"Lihat mataku," ragu-ragu kelopak mata kucing itu mengerjap, bersitatap dengan netra pekat Kim Hanbin.

"Ini," alis Hanbin terangkat sebelah menunggu kelanjutan ucapan Jennie yang masih menggantung.

"Kenapa oppa melakukan ini?"

Senyumnya mengembang diiringi tangannya yang terangkat untuk mengusap surai Jennie.

Sebab tak mendapat jawaban, Jennie kembali melontarkan pertanyaan. "Kenapa oppa memeluk dan menciumku seperti ini??"

Lagi-lagi hanya senyuman yang Jennie dapat sebagai jawabannya.

"Aku tak tau peristiwa buruk apa dimasa lalu yang membuatmu begitu ketakutan pada gelap,"

Sebenarnya tak ada. Tak ada peristiwa buruk apapun dimasa lalu Jennie yang membuat dirinya nyctophobia sampai sekarang.

Ia hanya merasa, ketika retinanya tak dapat menangkap setitik pun cahaya, tarikan nafasnya akan memberat lalu diikuti badannya yang gemetar.

"Kau tau?," Jennie benar-benar hanya menatap fokus pada mata Hanbin, ia terlalu takut untuk melihat yang lainnya.

"Ada cara lain yang bisa membuat phobia seseorang sembuh, selain melawan ketakutannya sendiri," lanjut Hanbin, sedari tadi mereka memang berbicara dengan suara rendah.

Tapi Jennie sadar, suara Hanbin barusan lebih rendah dari yang sebelumnya.

"Caranya dengan membuat memori menyenangkan ketika kau berada di tengah phobia mu," tambahnya sembari mengikis jarak.

Jennie menelan salivanya gugup, kala Hanbin berbisik tepat di depan bibirnya yang sedikit tebuka, "Mau kutunjukkan?"

×××

Kritik dan saran sangat diterima untuk cerita yang jauh dari kata sempurna ini :))

Options [JenBin] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang