Kernyitan di dahinya tercetak jelas. Matanya memejam erat, disertai nafas yang memburu. Beberapa anak rambut menempel di wajahnya akibat peluh.
Ia meremas bantal yang dijadikan sandaran bagi kepalanya. Tiba-tiba matanya terbuka, gadis itu baru saja bermimpi.
Tubuhnya bangkit dan bersandar pada dashboard ranjang. Masih berusaha mengatur laju nafasnya agar kembali normal.
Netranya berkeliling, gelap. Jennie memang sudah seberani ini pada gelap. Sudah tak takut mematikan lampu kamarnya ketika tidur.
Tentu saja lampu tidurnya harus tetap hidup, agar masih ada cahaya yang masuk ke retinanya. Jika tidak, jangan tanyakan apakah nyctophobianya akan kambuh lagi atau tidak.
Kalau ada Hanbin disampingnya tentu akan baik-baik saja, jika sendirian ia juga tak tau bagaimana nantinya.
Gadis kucing itu mengusap keringat yang meluncur di dahinya. Kemudian melirik jam di atas nakas, masih tengah malam hampir dini hari.
Otaknya berusaha mengingat mimpi yang membuatnya seperti sekarang ini. Namun seberapa keras pun ia mengingat-ingat, Jennie tak mampu menemukan jawabannya.
Satu yang pasti, tadi itu mimpi buruk. Helaan nafas keluar dari sela bibirnya, sebelum beranjak dari ranjang.
Keluar dari kamar dan juga unitnya berjalan tanpa alas kaki di lorong sepi apartement mewah itu. Langkahnya terhenti di depan unit 131.
Menekan dengan lancar password untuk akses masuk ke dalam sana. "Oppa!" suara khas bangun tidur Jennie memanggil sang empunya unit tersebut.
Tak ada sahutan. Ia memasuki kamar Hanbin, AC nya mati. Yang berarti pria Kim itu belum pulang sama sekali dari kemarin.
Jennie merebahkan tubuhnya keatas ranjang dengan sprei abu-abu itu. Ia menghidupkan AC kemudian bergelung dengan selimut milik Hanbin.
Kamar ini selalu bersih dan beraroma citrus. Paling hanya baju pria itu yang kadang ada dia atas ranjang atau dashboard.
Itu akibat kebiasaan sang pria yang shirtless saat tidur dan meletakkan bajunya sembarangan setelah melepasnya.
Namun Jennie suka itu, sebab aroma khas yang menguar dari kaos Hanbin menggelitik indra penciumannya. Memberikan gelenyar aneh dan sensasi luar biasa pada gadis itu.
Hah.., Jennie jadi merindukannya. Pria itu belakangan sangat sibuk mengejar deadline lagu-lagunya. Tahun ini banyak idol yang akan debut membeli lagu yang ia produseri.
Kelopak matanya memberat setelah beberapa menit memandangi dinding kamar Hanbin. Hingga gadis itu terlelap kembali dengan damai.
Bunyi alat masak dan bau masakan mengusik tidur Jennie. Gadis berpipi gempal itu mengusap mata dan mengumpulkan nyawanya.
Jennie berjalan gontai kearah ruang tengah apartement milik Hanbin. Baru ia akan membuka jendela, namun ternyata sudah dibuka hingga sinar matahari bisa masuk dengan leluasa kesana.
"Sudah bangun, Jane?" pertanyaan itu menyadarkan Jennie sepenuhnya.
Menatap lurus wanita yang sedang berkutat di belakang kompor. Senyuman cantik terbit di bibirnya yang dihiasi lipstick warna bold maroon.
Kedua ujung bibir Jennie ikut tertarik membentuk gummy smile. Ia mendudukkan bokongnya di kursi pantry.
"Mom masak apa?"
"Kesukaan oppa mu, nasi goreng kimchi" Jennie melirik ke dalam wajan yang penuh dengan makanan lezat itu.
"Sepertinya enak, dulu nenek sering membuatkannya juga untukku saat sarapan di New Zealand"
KAMU SEDANG MEMBACA
Options [JenBin] ✔
FanfictionSebenarnya siapa yang antagonis sekarang? Keegoisan salah satu dari mereka, menjadi penentu bagaimana ini akan berakhir. "Aku tau kau yang membesarkanku, tapi aku mencintainya"-KJN "Mau lari bersamaku?"-KHB (!) read this story with dark mode, just s...