CHAPTER 32

319 26 11
                                    

Semalaman mata Angkasa tak mampu terpejam. Pernikahan Elena dan Ferdi terus membayangi pikiran Angkasa. Bola mata Angkasa melirik ke sebuah jam dinding yang tertempel di salah satu dinding kamarnya. Jarum jam telah menunjukkan pukul 3 dini hari. Angkasa menghembuskan nafasnya. Membangunkan tubuhnya lalu berjalan menuju jendela kaca yang masih terbuka.  Saat itu juga, ia melihat Yoga yang tengah menikmati suasana malam, dengan sedikit rintikan.

Sampai saat ini, Angkasa masih saja tidak menyangka bahwa ia mempunyai saudara kembar. Jika dipikir-pikir, kenyataan hidup Yoga tak jauh beda dengan Angkasa. Angkasa memutuskan untuk menghampiri Yoga, dan sedikit menyapanya.

"Lo nggak tidur?" Tanya Angkasa dengan menaikkan salah satu alisnya.

Yoga menghembuskan asap rokok yang baru ia hirup. Menggelengkan kepalanya lalu menatap heran Angkasa. "Lo sendiri?"

"Sama kayak Lo"

Anggukan kepala muncul pada kepala Yoga. Sekilas, Yoga berpikir bahwa Angkasa tak bisa tidur karena terlalu memikirkan pernikahan Elena dan Ferdi. Tapi, bukankah Angkasa sudah bisa menerima kenyataan itu? Pertanyaan pertanyaan tiba tiba saja muncul di kepala Yoga.

"Kalo boleh tau, kenapa Lo bisa bunuh bokapnya Athala?" Tanya Angkasa yang mampu merusak lamunan Yoga.

Yoga menoleh menatap Angkasa. Ia berdecak, lalu menarik nafas untuk memulai percakapan. "Kalo gue yang bunuh, gak mungkin sekarang gue lepas dari penjara"

Anggukan tanda mengerti Angkasa tampakkan setelah Yoga menjawab pertanyaannya. Tapi tetap saja, Angkasa penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Yoga. "Terus kenapa Lo bisa kesangkut sama pembunuhan itu?"

Yoga kaget dengan pertanyaan Angkasa. Ia mengernyit kan dahi lalu menatap Angkasa dengan bingung. "Lo kenapa tiba tiba mau tau aja urusan gue?"

"Athala pacar gue, apa gue gak boleh tau semua tentang dia?" Jawab Angkasa dengan bahasa bucinnya. "Toh lu kan masa lalu Athala"

Yoga mematikan ujung batang rokok yang terbakar dengan membanting rokok itu dikakinya, lalu menginjak nya dengan sadis.  Mungkin saja jika Yoga tidak menyukai pertanyaan Angkasa barusan. Bagaimana tidak, pertanyaan Angkasa justru menguak luka yang sudah tak diharapkan untuk diingat lagi. Nafas panjang, mampu Yoga tarik. Lalu menghempaskan ya dan matanya pun mulai berputar melihat sekitaran. "Lu tau kabar bokap Athala di pecat jadi manager? Waktu dia depresi, gue yang selalu ngasih solusi buat dia"

Alis angkasa terangkat seketika. Didalam pikirnya, jika mereka akrab kenapa tega yoga membunuh bokap Athala? Sempat saja mulut Angkasa ingin mempertanyakan hal itu kepada Yoga. Tapi ia tak mau memotong sedikitpun cerita Yoga.

"2 kali bokap Athala mencoba bunuh diri. Gue yang tahan. Tapi untuk yang ke-tiga, gue datang terlambat. Kondisinya sudah berlumur darah, dan bodohnya gue pegang bongkahan kaca yang digunakan nya untuk memotong tangannya sendiri" lanjut Yoga.

Angkasa merasa bersalah karena sudah mengira yoga itu adalah seorang brandal yang tega membunuh ayah kekasihnya sendiri. Mendengar cerita Yoga barusan, Angkasa merasakan ngilu pada tangannya. Terlebih angin berhembus dengan begitu kencang. Sehingga saja, suasana menjadi dingin di pagi ini. "Sebelumnya sorry ya, gue udah ngira Lo yang bunuh bokap nya Athala"

Senyum mengembang di wajah Yoga. "Its okey. Lagi pula, kalo gue jadi kalian semua, gue juga bakal ngerasain apa yang kalian rasain. Tentu saja, karena mereka telah larut dalam emosi mereka"

"Lo kenal Tere?" Lanjut Yoga dengan sebuah pertanyaan.

Angkasa mencoba mengingat nama Tere. Dan tentu saja dia teringat dengan seorang cewek cantik yang waktu itu dikenalkan Jovan sebagai kekasihnya. "Iya, kenapa?"

Hembusan nafas, mampu dikeluarkan Yoga dengan baik. Dengan nada pelan, ia berujar "Tadi gue nemuin dia dijalan, nangis nangis minta tolong. Karena hujan, makannya gue bawa pulang. Sekarang, dia ada dikamar gue"

Angkasa menaikkan salah satu alisnya. Tatapan mencurigakan terpancar di mata Yoga. Apa mungkin Yoga telah melakukan sesuatu kepada Tere? Namun, kali ini Angkasa mencoba percaya kepada Yoga. "Gue telfon Jovan ya, suruh jemput Tere"

"Jangan, sepertinya mereka sedang ada masalah. Biarkan Tere menenangkan dirinya dulu" cegah Yoga yang lalu memalingkan wajahnya, menatap sebuah jendela kamarnya yang terlihat dari halaman.

***

Sayup-sayup, mata Tere terbuka. Ia merasakan bahwa tubuhnya terasa sakit dan kepala yang begitu berat untuk diangkatnya. Saat ia telah mengingat apa yang terjadi, air mata dengan deras membasahi pipinya. Ia merasa semua telah hancur. Ia menekuk kakinya, lalu menyembunyikan wajahnya dan menutup nya dengan tangannya yang melingkar di sekeliling permukaan dengkulnya. Isakan, bertambah keras ketika ingatan itu menyerbu kepala Tere.

Knop pintu berputar. Seorang cowok berjalan mendekati Tere. Cowok itu menaruh segelas teh hangat diatas meja. Jujur saja, Yoga tak tega melihat nya terus menangis seperti itu. Dengan lembut tangannya membelai rambut Tere. Namun, sentuhan itu malah membuat Tere kaget akan kehadirannya. Dengan ceoat, Yoga menarik kembali tangannya. "sorry"

"Minum dulu" lanjut Yoga sambil menawarkan teh hangat kepada Tere.

Tere pun menerima segelas teh hangat yang Yoga bawakan untuknya. Ia menyeruput teh hingga tersisa setengah. "Makasih ya..."

"Yoga, nama gue. Sebenarnya, apa yang terjadi? Kok Lo bisa nangis nangis kayak gitu?" Tanya Yoga.

Isakan tangis semakin menjadi saat Tere mendengar pertanyaan dari Yoga. Ia menghela nafasnya agar dirinya dapat menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Yoga. "Jadi, gue punya pacar, baik banget. Pas kemarin malam, gue nanya sama dia lagi dimana, dia jawab lagi dirumah istirahat. Pas gue tanya sama temennya dia malah bilang lagi di club. Pas gue nyamperin, dia udah mabok sama cewe lain"

"Nggak mau minta penjelasan dulu sama pacar lo?" Tanya Yoga sambil menaikkan satu alisnya.

Tere menggelengkan kepalanya dengan wajah polos. Perlahan, tangannya mulai menggapai tissue pada kotakan yang tak jauh dai ranjang tidur Yoga.

Saat melihat tissue pada kotakan hampir habis, 'gila! Cewe gini banget kalo galau'. Ia menggelengkan kepala sambil menahan tawa. "Lo mau pulang?"

"Boleh nggak, gue nginep dirumah ini selama beberapa hari. Jadi gue itu dari Sukabumi, uang gue udah habis buat bayar kos an pacar gue" ujar Tere terus terang. Ya, mau gimana lagi. Tere memang tak ada pilihan selain mengatakan yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Jika cewek selalu menjaga image nya didepan siapapun, terlebih cowok yang baru ia kenal, hal itu tidak berlaku untuk Tere.

Jika Yoga memperbolehkan Tere untuk menginap, pasti omongan tak enak akan keluar dari mulut Ferdi dan tetangga. "Gini aja, gue cariin apartemen buat lo deket sini. Takut ada salah paham"

"Eh... Nggak usah. Apartemen kan mahal. Jatuhnya malah ngerepotin lo. Gue pulang ke Sukabumi aja" pilih Tere.

"Ada uang?" Tanya Yoga.

Gelengan kepala dari Tere mampu menjawab pertanyaan Yoga. Yoga menarik tangan Tere yang lalu membuat Tere berdiridari duduknya. Yoga memberikan jaketnya yang baru saja diraihnya dari belakang pijtu kepada Tere. "Lo pake aja"

Tere pun menuruti kata Yoga. Lalu mengikuti Yoga yang tengah melangkah didepannya. Detak jantung Tere berdebar tak semestinya. Tere mempercayakan semuanya pada Yoga. Berharap saja semua akan baik baik saja.

•••

Sorry banget jarang update '(
Pokoknya jangan lupa vote ya!

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang