XXXIII : Satu Hari Bersama

686 78 35
                                    

"Jadi Hanbin mengajakmu berkencan, dan kau bilang akan menjalaninya saja? Yaish, kau bodoh atau apa, sih?" Hayoung melempar bantal ke muka Jennie.

"Aku hanya ingin memertimbangkannya. Kau tahu, aku bukanlah orang yang gegabah mengambil keputusan."

"Begini, aku akan bertanya padamu." Hayoung menghadap Jennie. "Apa yang kau rasakan pada Hanbin? Rasa suka, atau minimal tertarik?"

"Aku tidak akan menyangkal bahwa aku sedikit mempunyai ketertarikan oleh Hanbin. Tapi untuk rasa suka, aku pikir belum sampai pada tahap itu."

"Nah itu! Kau juga mengakui bukan? Lalu untuk apa masih ragu? Lagipula, kalian memang cocok. Aku setuju-setuju saja."

Jennie mendesah pelan. "Ini bukan seperti kita akan memilih baju. Jika kita merasa cocok, kita akan mengambilnya. Dan jika kita merasa tidak cocok, maka kita akan mengembalikannya. Aku mempunyai banyak pertimbangan yang bukan hanya untuk kepentinganku saja, Hayoung."

"Ya sudah, aku tidak akan berkomentar lebih lanjut. Aku hanya akan mendukungmu saja, semoga Hanbin memang jodoh yang disiapkan untukmu." Ucap Hayoung.

"Sepertinya ini memang kado ulang tahun terbaikmu ya?" Tanya Hayoung usil.

Jennie mendengkus. "Aku tidak merasa begitu,"

Hayoung tertawa. Tapi tiba-tiba berhenti, "Oh ya, omong-omong berkencan. Aku sudah cerita belum, bahwa seseorang juga mengajakku berkencan?"

***

Beberapa hari sebelumnya.

"Aku ingin lebih dari sekedar teman, nona ceroboh."

Hayoung tersedak salivanya sendiri. Perempuan itu menatap Rowoon dengan tatapan tidak percaya. Lelaki ini bicara apa?!

Otaknya masih mencerna omongan Rowoon. "Kau ... kau," bahkan rasanya sulit untuk mengeluarkan suara. Mulutnya terasa kelu.

"Aku tahu ini terlalu cepat, tapi kau bisa menganggapnya sebagai simulasi." Ucap Rowoon yang makin tidak dimengerti Hayoung.

Situasi berubah menjadi canggung, karena Hayoung yang masih terlalu bingung untuk menanggapi. Lelaki ini sedang bercanda bukan? Ini pasti tidak benar.

Tapi sepanjang waktu itu, Rowoon malah membicarakan tentang kehidupannya yang mana jauh sekali dari konteks pembahasan kontrak kerjasama. Sesekali lelaki itu menanyakan kehidupannya dengan akrab, seolah mereka memang telah mengenal lama.

Dan yang membuat Hayoung makin bingung adalah saat lelaki itu memaksanya untuk diantar Rowoon. Hayoung makin merasa risih, ia tidak mengenal lelaki ini. Baginya, Rowoon hanyalah orang asing.

Karena langit sudah mulai malam ditambah tidak ada yang mau mengalah diantara mereka. Akhirnya Hayoung lah yang memutuskan untuk mengalah. Terlalu letih tenaganya untuk dipaksa berdebat dengan lelaki keras kepala sejenis Rowoon.

"Terimakasih atas tumpangannya." Ucap Hayoung datar. Tubuhnya ia putar, siap meninggalkan Rowoon dan masuk ke rumahnya. Namun panggilan Rowoon menghentikannya.

Hayoung berbalik lagi, tidak mendekat. Hanya diam di posisi sampai Rowoon mengutarakan, "Nanti kalau aku telepon diangkat ya?"

Tanpa membalas pertanyaan Rowoon. Ia berjalan masuk ke rumahnya. Rasanya ia butuh air dingin saat ini juga. Pikirannya sudah semrawut.

Omongan Rowoon memang bukan bualan semata. Saat jam menunjukan angka sembilan, sebuah panggilan masuk ke teleponnya.

Awalnya Hayoung hanya mendiamkannya. Namun saat panggilan itu terhenti pada lima panggilan tak terjawab dan sebuah pesan yang berisi.

Unscrew You | 96's LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang