4. Kemoterapi

14.7K 926 30
                                    

Kabar baik yang di bawa Al tempo hari membuat Qia senang bukan kepalang, ternyata tuhan masih berbaik hati menyembuhkan kakinya agar bisa kembali berjalan.

Setelah melewati berbagai pertimbangan dan juga konsultasi untuk mulai pengobatannya, akhirnya hari ini adalah proses di hari pertama di mana penyembuhannya akan dilakukan.

"Entar Qia bisa jalan lagi yah Om?" tanya Qia dengan nada antusias.

Al tersenyum tipis, mengusap-usap pucuk kepala Qia dengan gemas sembari terus mendorong kursi roda itu masuk ke dalam rumah sakit. "Kalo yang di atas menghendaki Qi, kita usaha aja."

Jawaban itu membuat Qia mengangguk semangat, tidak sabar bertemu dengan dokter yang akan menjadi perantara pertolongan tuhan untun kesembuhan kaki lumpuhnya.

Meskipun katanya proses penyembuhan akan memakan waktu panjang tapi tidak mengapa, kalau hasilnya berhasil penantian itu tidak akan sia-sia.

Tuhan memang adil. Saat kesedihan menerjang, pasti akan ada kebahagiaan yang menanti kita di ujung sana. Entah itu datangnya lambat atau cepat, semuanya akan berakhir dengan kehidupan yang lebih baik.

"Abang sama Ade ga bakalan nangis kan Om, kalo dititipi sama Mom sama Daddy?"

"Ga lah, saya tadi liat mereka jingkrak-jingkrak pas tau mau ditinggal di Mansion, karena di sana ada Nana," jelas Al, sedetail mungkin.

Qia tampak menganggukkan kepalanya pelan, senyumnya tidak berhenti merekah di bibirnya. "om, entar dokternya laki-laki atau perempuan?"

"Kamu maunya apa?" balas Al, balik bertanya.

"Laki-laki, apa lagi cogan. Haduhh, bisa langsung jalan kalo bener."

Al menoyor bagian belakang kepala Qia. "Untung tadi saya sengaja, cari Dokter perempuan."

"Yahhh... Ga seru."

Seringai Al muncul. "Saya pilihin Dokter yang galak. 11,12 sama kamu."

Bola mata Qia melotot tidak terima. "Wahh jahat Om mah, kalo kaki Qia malah dipatahin gimana?!"

"Itu Dokter apa pembunuh Qi?" celetuk Al kemudian terkekeh ringan.  Pemikiran Qia ini, selalu saja konyol dan tak masuk akal.

"Selamat siang dokter Zahra," sapa Al kalem setelah memasuki ruangan.

Dokter Zahra tersenyum lembut dari balik meja kebesarannya pada Al dan Qia. "Siang. Kamu yang namanya Qia?" tanyanya pada Qia.

Qia langsung meringis. Kenapa ia mau saja percaya dengan Al kalau dokternya itu galak, tapi nyatanya Dokter yang menanganinya ini malah terlihat sangat lembut.

Astagfirullah. Rasanya Qia hampir saja kehilangan napas. Katanya galak? Ini mah bukan galak macam setan tapi lembut, kaya malaikat. Suara Dokternya aja merdu kaya peluit pemenang bedah rumah.

"Iya aku Qia. Dokter Zahratun Nisa," celetuk Qia dengan kepala mengangguk-angguk paham saat melihat tanda pengenal Dokter itu pada mejanya.

Zahra terkekeh. "Cukup panggil Dokter Zahra seperti yang lain."

"Oh, oke Dok oke!"

Al mengulum senyum saat menangkap gelagat takut yang ditunjukkan sang istri. "Saya boleh menemani kan Dok?" tanya Al menyeletuk.

"Tentu sangat boleh."

Senyum tipis Al terukir lega. "Tenang, kaki kamu ga bakal dipatahin kalo kamu ga banyak tingkah,” bisiknya tepat pada telinga kanan Qia.

Qia langsung menolehkan kepalanya dengan wajah geram, tangannya terangkat memukul lengan Al dengan kekuatan ekstra.

Sontak saja Al langsung meringis ngilu saat kepalan tangan itu hinggap di lengannya. "Dosa loh nabok suami," sindirnya tajam.

Suami Kampret! || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang