37. Drama Qiana

5.3K 513 26
                                    

"Bagus yah A'! Qia tinggal antri beli martabak aja udah langsung peluk-pelukkan sama cewek lain!" Amuk Qiana membanting martabak kacang yang masih hangat itu ke tanah.

Mata Qiana memanas saat melihat wajah perempuan yang Al peluk begitu cantik, apa lah daya dirinya yang jelas kalah jauh.

Al gelagapan langsung mencoba memegang tangan istrinya, namun Qiana langsung menghindar membuat hati Al bergetar takut.

"Qia terima walaupun A'a udah banyak bikin sakit hati dengan mantan-manta yang dulu, bahkan sekarang Qia lagi belajar buat jadi kalem. Tapi kayaknya di sini A'a emang ga ada niatan buat setia sama Qia!"

"Ga gitu sayang!" frustasi Al mengacak rambutnya saat istrinya semakin berjalan mundur jika ia mendekat.

"Bilang apa lagi yang harus diubah dari diri Qia biar A'a ga nyari kenyamanan lain," tudingnya sembari melepas alas kaki yang dipakai lalu melemparnya kesembarang arah.

"Ga ada Qi, dengerin saya dulu!"

Kepala Qiana menggelengkan cepat, manarik napas dalam mencoba tidak menangis kembali. Matanya memandang wajah Al, wajah yang akhir-akhir ini mulai membuat jiwanya tenang. "Apa A'a udah bosen sama Qia?"

"Ya ampun Qi, Engga sama sekali. Ini salah paham. Saya lagi mencoba memperbaiki semuanya. Tolong tetap di samping saya."


"Jadi bener, kali ini bukan sekedar mantan kaya biasa, tapi cewek itu selingkuhan?"

"Saya lagi buktiin Qi, kalo dia fitnah saya."

Qiana terduduk di pinggir jalan komplek yang cukup sepi, niatnya hanya ingin membeli martabak di depan gang sana, Al yang mengetahui itu memaksa ikut. Akhirnya ia pun mengiyakan dengan syarat jalan kaki.

Tapi apa yang ia dapat, pemandangan yang paling ia benci. Dan sialnya itu terjadi beberapa kali, bahkan sebelum ia menikah dengan Alaric.

Mata Qiana berkobar marah, menatap tajam pada wanita yang berdiri tenang tidak jauh dari keberadaan Al.

Kakinya berjalan mendekat kearah wanita itu, mengeluarkan karter yang memang selalu ia bawa jika keluar dengan Al. Hanya berjaga-jaga jika laki-laki itu mesum tidak pada tempatnya. "Ngomong yang sebenernya, atau Qia tusuk pake ini!" gertak Qiana menempelkan ujung karter yang tumpul di leher wanita itu.

Perempuan itu menengguk ludahnya kasar, sembari menatap horor gadis yang bahkan tinggi badannya tidak sampai sebahunya itu. "Saya lapor polisi kalo kamu sampe nekat!"

"Lapor aja, Qia masuk penjara situ juga mati. Jadi kita impas."

Aksi sadis sang istri membuat Al menelan bulat-bulat suaranya, matanya bergulir memastikan tidak ada orang yang melihat kejadian ini, ia tidak mau istrinya dikatai gila.

"CAPET NGOMONG!"
"Mbak ga tuli sama budek kan? Masih mending Qia dong jelek tapi bisa ngomong, telinga Qia juga waras." tandas Qiana tajam, semakin menekan karter itu.

"Saya ngaku, bahkan saya ga kenal laki-laki yang tadi saya peluk. Hanya saja keadaan membuat saya harus harus melakukan hal seperti tadi."

Qiana tersenyum sinis, memasukkan kembali karter itu ke dalam saku celana. "Mbak hamil?"

Perempuan itu memegang perutnya dengan wajah terkejut. "Bagaimana kamu bisa tau?"

"Nebak aja."

Dengan kaki yang masih gemetar Al mendekat ke arah istrinya. "Saya takut Qi, saya takut kamu masuk penjara kalo sampe bener-bener ngebunuh dia," al menangis bagai anak kecil yang baru saja melihat hal yang di takuti bagi anak seusia mereka.

Namun kali ini beda, Al yang sudah bangkotan menangis dengan mengusap-usap kedua matanya yang berair, membuat ia mencoba menahan tangan agar tidak mengeluarkan kembali karter. Dan beralih menetel tubuh suaminya itu.

Tangan Qiana menepuk-nepuk punggung tegap Al. "Uttu, Uttu... Jangan nangis kembaran badak bercula enam."

Al menjauh dari Qia, tangannya mengusap-usap punggungnya yang terasa sakit."Kamu niat nenangin saya apa balas dendam si Qi? Sakit tau ga."

"Dua-duanya sih, tapi lebih ke arah balas dendam," jawab Qiana ketus, memunggut kembali plastik martabak yang isinya masih utuh itu.


"Untuk Mbak yang belum Qia ketahui namanya, mohon jangan lakuin hal kaya gitu lagi. Mending kalo istrinya pengertian sama suami. Kalo mereka langsung salah paham kan berabe, alamat ketemu di meja hijau."

"Tapi bagaimana dengan anak saya?!" balas perempuan itu frustasi.

Qiana terkekeh sebal. "Yang hamilin Mbak siapa? Yang nanem saham sampe jadi siapa? Yah sana, minta tanggung jawabnya sama dia. Jangan sama orang yang bahkan ga tau apa-apa! Ngaco aja jadi orang."


"Kalo laki-laki yang hamilin Mbak ga mau tanggung jawab, racunin sama air soffell, biar namanya langsung nemplok di batu nisan." lanjut Qiana memberi saran.

Al melotot. "Qi!"

"Apa?! A'a ga terima Qia ngomong kaya tadi, apa ada niat buat jadi Bapak sambung buat anaknya Mbak ini."

"Ga ada Qi, maksud saya jangan ngomporin kaya gitu."

Qiana melengos mengambil sandal yang terlempar jauh, lalu berjalan menjauh. "A'a kalo dua menit ga berdiri di samping Qia, Qia pastiin A'a besok ketemu sama sosok moster seorang Qiana Zury."

Bagai kilat Al berlari mengejar langkah istrinya, menurut penglihatan Al istrinya itu bukan berjalan. Tapi berlari. Tapi dasar perempuan mana mau disalahkan, apa lagi didebat. Jadi untuk para lelaki kalian lebih baik mengalah, agar kaum hawa bahagia. Karena membuat mereka bahagia juga termasuk pahala.

"Kamu maafin saya kan Qi?" al dengan napas gos-gosan menatap wajah Qiana dari samping.

Qiana mengangguk. "Yang salah kan bukan A'a, jadi Qia ga marah."

Wajah Al berseri-seri, tangan panjangnya berniat merangkul bahu pendek istri.

"Mandi pake kembang 9 warna 7 wangi baru boleh rangkul sama deket-deket Qia."

Al memberhentikan langkah kakinya, mata tajamnya menatap punggung lebar istrinya yang semakin menjauh.

Tangan besar nya mengusap wajahnya frustasi. Kemudian terkekeh. "Dasar Qiana."

Suami Kampret! || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang