5. Berbeda

11.6K 848 48
                                    

Terapi yang Qia jalani sudah berjalan hampir dua bulan, hasilnya cukup memuaskan karena gadis itu sudah dapat berdiri dengan waktu yang lumayan lama.

Walaupun belum sepenuhnya bisa berjalan, namun Qia sudah tidak merasakan mati rasa di telapak kakinya lagi.

"Makasih sarapan plus suapannya istri cantik saya," Al mengecup lembut pucuk kepala Qia.

Bukannya terlihat malu-malu atau sekedar pipinya bersemu, Qia malah mendengus kesal. "Ga usah sok romantis, ga pantes!"

Tak.

Al mengetok pelan jidat istrinya dengan sendok. "Dimana-mana perempuan kalo diromantis in pada seneng. Lah, kamu malah marah!"

"Enek Qia tuh!" jawab Qia dengan wajah seriusnya yang malah terkesan lucu.

Seketika mata Al berbinar terang. "Kamu enek?"

Qia mengangguk sebagai responsnya, bola matanya yang bulat tidak berkedip ke arah Al dengan raut wajah penasaran. "Emang kenapa Om?"

"Kita pergi ke Dokter sekarang."

"Lo, ko ke Dokter?"

"Kali aja kamu hamil Qi," celetuk Al tersenyum polos.

Mulut Qia menganga tidak percaya. "Hamil?! Jebol gawang aja belum!"

Al mengerjap beberapa kali, kemudian tersenyum setan. "Gimana kalo jebol gawangnya sekarang aja?"

Bug... Bug... Bug...

"Berangkat kerja sana!" ketus Qia memukul acak pada tubuh berotot Al.

Al tergelak senang, menangkap pergelangan tangan yang masih terus memukulnya itu. "Kalo minta ciuman pertama gimana?" Al masih saja menggoda Qia, istrinya.

"Boleh dong sini, Sini," ajaknya tersenyum manis.

Mata Al memicing tajam, kemudian raut wajahnya langsung berseri-seri. Menurut Al respons Qia tidak seperti gadis-gadis lain yang akan marah atau langsung menolak mentah-mentah keinginan itu, justru Qia malah langsung menarik dasinya lalu mengecup bibirnya cepat bagai kilat.

"Nah ciuman pertama Qia udah nempel di bibir Al," Qia tersenyum lebar dengan gembiranya.

Wajah Al langsung merona salah tingkah, padahal niatnya tadi hanya menggoda Qia aja, tapi respons yang Qia berikan sangat di luar dugaannya.

"Al ko pipinya merah? Sambel yang Qia buat kepedesen ya? Biar Qia ambilin minum," cerocos Qia beruntun.

"Eh! Jangan," cegah Al, ada rasa kesal karena Qia sama sekali tidak peka kalau warna merah di pipinya itu akibat ciuman tadi.

"Tapi muka Al tambah merah," bantah Qia tidak setuju.

Al berdecap kesal, tidak peka sekali gadis ini. "Kalo saya minta cium tiap hari boleh kan?" tanya Al mengalihkan pembicaraan, kalau terus diperpanjang bakal lama selesai.

"Tergantung mood."

"Ga, pokoknya saya bakalan minta kapan pun dan harus mau, ga ada penolakan!"

Qia memutar bola mata malas. "Kalo ujung-ujungnya maksa ngapain nanya?"

Al tertawa geli melihat Qia mengomel, bahkan ia dibuat gemas melihat kedua pipi Qia selalu bergerak jika berbicara. "Saya mau minta cium lagi sebelum berangkat ke kantor!" cetusnya tegas. Kali ini berlangsung agak lama, dalam hati Al berteriak kencang bahagia.

Pipi Qia memerah dengan napas memburu, memukul punggung tegap itu kencang. "Sampe susah napas tau."

Sebagai tanggapannya Al hanya tersenyum tipis. "Saya juga mau minta satu permintaan sama kamu."

Suami Kampret! || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang