48. Perpisahan

7.1K 529 28
                                    

Kembali lagi ke rutinitas sehari-hari kami yang selalu stay di dalam rumah. Berkumpul dan bercanda dengan keluarga sembari memakan biskuit dan juga air susu hangat sebagai pelengkapnya.

Bahkan hari ini si kembar yang biasanya keluar untuk bermain kelihatannya sedang betah di rumah dan bermain bersama Adik perempuan mereka, Arum.

Mata Qiana kembali menatap malas Al yang masih saja sibuk dengan tabletnya. Walaupun laki-laki itu ada di sampingnya sekarang tapi fokusnya tetap pada pekerjaan.

"Coba bikin atraksi biar ada hiburan A'."

"Saya bukan topeng monyet."

"Yang bilang A'a monyet siapa?" sungut Qiana jengkel. Memang jika seseorang terlalu fokus pada sesuatu akan sangat menjengkelkan jika kita mengajak bicara.

Bunyi panggilan masuk pada telfonnya membuat Qiana dengan malas menekan ikon berwarna hijau kemudian menempelkan benda pipih itu ke telinga.

"Permisi. Kami dari kepolisi-"

"Tunggu Pak. Qia ga pernah berbuat kejahatan. Mungkin Al yang udah kriminal," serobot Qiana cepat.

Al menghembuskan napas nya pelan. Tajam sekali mulut istrinya itu. "Sini biar saya yang ngomong."

Segera saja Qiana langsung memberikan ponselnya pada Al. Polisi jaman sekarang, tidak kenal main telfon-telfon saja. Lagian ia bingung dari mana Polisi itu mendapat nomernya?

Wajah Al kelihatan serius. Membuat Qiana yakin bahwa laki-laki itu telah korupsi dan sekarang sedang terjerat kasus. Otak Qiana sudah blank duluan.

"Ini ponsel kamu Qiana," Qiana segera menerima dan kembali mengantongi benda pipih itu.

"Sekarang kalian kamu ikut saya, bawa anak-anak juga." al berkata dingin. Raut wajahnya datar tanpa ekspresi. Laki-laki itu membawa putrinya ke dalam gendongan lalu melangkah pergi.

Qiana menggandeng kedua pergelangan tangan si kembar lalu ikut menyusul keluar rumah. Kami pun kini sudah ada di dalam mobil dengan Arum yang berada di pangkuannya.

Telapak tangan qiana saling meremas. Kali ini ia tak mau bercanda, karena sekarang raut wajah Al sama seperti waktu ia melupakan hari jadi pernikahan kami yang ke dua tahun. Benar-benar menakut kan.

Al memarkirkan mobilnya. Manik matanya menatap wajah Qiana yang kelihatan pucat. "Saya tidak marah dengan kamu. Jadi jangan takut," al mengelus pipi Qiana lembut. Menyuruh semuanya turun.

Perasaan Qiana tambah gelisah saat melihat di depanya adalah gedung rumah sakit. Bahkan sekarang tubuhnya lemas dan tidak kuat berjalan.

"Mama ga papah?"

"Iya Bang. Mama ga papah," Qiana kembali mengikuti langkah kaki Al dari belakang bersama si kembar yang kini sedang aku gandeng.

"Kita tunggu di sini," perintah Al membuat kedua putranya langsung duduk anteng di kursi tunggu. Sedangkan Qiana kembali kesetelan awal, tidak mau menurut dan kini malah menatapnya dengan mata bulat yang penuh dengan rasa penasaran.

"Duduk. Nanti kamu juga tau apa yang terjadi."

Menghela napas pelan Qiana akhirnya mulai menurut. Duduk tepat di samping Alain yang kini juga ikut diam seribu bahasa.

Suami Kampret! || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang