Kegiatanku tugas keluar kota selama lima hari kemarin sengaja aku tidak lanjutkan kisahnya dan terhenti pada kejadian wajah mas Bima yang seketika pias setelah ku doakaan, sebab selama lima hari kemarin aku disibukan dengan menganalisa data, meng-cross check ini dan itu bahkan memegang Hp pun untuk mengabari ibu saja aku tak bisa.
Bukan berarti aku ingin menyombongkan diriku dengan kesibukanku yang ngga ada mati nya, sumpah! Ngga ada yang perlu disombohkan bahkan harusnya dikeluhkan, karna aku bekerja layaknya kerja rodi, bahkan ketika tidur pun otakku terasa terus berjalan berusaha menyusun pazel firtual kasus yang kala itu kuhadapi. Di kasusku kali itu, banyak sekali kejadian dimana data ngga lengkap lah, data dimanipulasi lah, bahkan ketika kami mengajukan untuk wawancara kami terus dihalangi, sehingga dengan terpaksa tim kami memberi opini disclimer of opinion dan memberi wewenang sepenuhnya kepada pihak tertentu akan diselesaikan seperti apa kasus ini.
Kurasa seminggu berlalu dan seminggu pula aku kurang tidur sudah cukup membuatku KO hari ini, padahal besok aku harus berangkat lagi ke Kalimantan untuk tugas yang sama.
Bekerja tidak pada passionmu memang cukup berat terasa diawal, namun lama kelamaan aku mulai menikmati itu, walau harus merelakan masa seneng-seneng bareng temen, mengurangi waktu istirahat yang ideal dan masih banyak lagi.
Jika ditanya cape atau ngga, dengan mantap pasti aku menjawab sangat! Tapi kalau diingat berapa pendapatan yang kudapat tiap kasus, semua hilang hempas entah kemana, haha. Mungkin itu yang menjadi salah satu faktor aku mulai menikmati pekerjaanku yang satu ini?
Dan untuk hari ini, ku putuskan untuk beristirahat sejenak menikmati WFH yang sesungguhnya, tanpa perlu berdesakan di kereta atau pun berjubel di bis kota. Cukup dusuk manis, buka laptop, sambungkan WiFi habis itu Video Call hingga berjam-jam pun tak masalah, bahkan kamu ngga mandi pun hanya kamu dan tuhan yang tahu.
See? WFH itu sebenarnya memberi kesempatan kita untuk kerja sambil nyantai, paling tidak melemaskan otot bahu yang sering kali kram karna duduk tegang di kantor, saking takutnya diliatin atasan. Apalagi bagi mereka yang jarang ketemu keluarga, mereka diberi kesempatan bercengkrama dengan anak istri dibarengi dengan menyelesaikan tugas kantor yang ngga sedikit.
Sepanjang ini aku cukup menikmati work from home, bahkan dengan adanya WFH aku bisa makan ini dan itu sambil kerja dan video call-an. Tanpa takut dilirik mas Bima yang rasanya ingin kucolok balik matanya.
"Kak, mau dengerin Ibu ngomong ngga?" Tanya ibu tiba-tiba tanpa ketok pintu kamarku terlebih dahulu.
Buru-buru ku tutup wapcamp saat kusadari ibu datang tanpa hijab. "Ibu pake kerudung kaka dulu, abis itu kita ngerumpi" ujarku sambil menunjuk selembar khimar di atas kasur debgan sebelah tangan.
"Kenapa sih kak?" Tanya ibu, namun tetap mengindahkan permintaanku. Setelah dapat ku pastikan ibu memakai hijabnya dengan benar, ku buka kembali wapcamp hingga wajah kami nampak pada layar.
"Tuh, ada anak-anak ibu," Ujarku sambil menunjukkan wajah mas Bima, mas Wayan dan Mala yang terpampang dilayar laptopku.
"Hai Ibu!" Ujar mereka bersamaan.
Sungguh anak ibu, bahkan aku suka dibuat bingung dengan mereka, yang manjanya mereka ke ibu ngelebihin anak kandungnya ibu sendiri. Bahkan ibu pun begitu, sampai bekalku pun kadang dilebihkan hanya untuk dibagi-bagi ke mereka.
"Oh, lagi WFH ya? Ibu nanti aja deh ganggunya, lanjutin lagi ya." Ujar Ibu kemudian berlalu pergi meninggalkanku.
Aku menaruh curiga ketika ibu memilih tak melanjutkan pembicaraannya dan memilih pergi, padahal biasanya ibu suka sekali nimbrung bareng aku dan timku.
Kurasa yang akan ibu bicarakan kali ini bukan hal yang sepele atau hanya ngerumpi-rumpi biasa, karna sungguh tak biasa ibu seperti itu."Oke, berarti ini udah fix ya? Yang akan jadi focus kita nanti adalah ini. Oke?"ujar mas Bima yang kemudian mengakhiri pertemuan kami tepat saat adzan dzuhur berkumandang.
Segera ku tutup laptopku lalu kurapihkan berkas-berkas dan kuletakkan dengan rapih pada map. Setelah itu? Harusnya aku solat dzuhur tapi karna udzur jadinya langsung ke dapur ya kan? Dan baru ku ingat, hari ini ibu masak makanan favoriteku dan Tia.
Saat baru keluar kamar, ku lihat ibu tengah duduk seorang diri di ruang keluarga dengan telphone nangkring di telinga. Ibu nampak enjoy ngobrol dengan seseorang disebrang sana, sesekali ibu tertawa lepas, tak peduli diriku yang menatapnya bingung.
"Ibu ngapa ka?"
"Au, ngobrol sama temen lama kali" ujarku acuh dan lebih memilih melanjutkan jalan menuju dapur.
Kubuka tudung saji besar diatas meja, nampak cumi asin dan capcay tariyaki masih mengepul disana. Kalau sudah seperti ini apa yang bisa kulakukan kecuali makan?
"AYAH!" Teriakku pada Ayah yang masih sibuk ngobok-ngobok tanah tanamannya.
"Bentar kak!" Sahutnya. Kemudian menyimpan sendok semennya sembarang, lalu mencuci tangan pada seember air yang tak lagi jernih. Jangan dikira aku tak melihatnya dengan jelas, bahkan usai melihat itu aku hanya bisa nahan nafas tak bergerak sembari berharap Ayah sadar untuk cuci tangan lagi, namun nyatanya?
"Ayo kita makan!" Ujarnya kemudian
"EHH! Cuci tangan yang bener! Pake sabun!" Ujarku galak sambil mengacungkan sendok sayur ke atas. Persis ibu-ibu komplek yang siap tawuran.
"Astaghfirullah! Corona ayah Corona!" Sambar adikku yang ikut nahan nafas ketika ayah dengan heboh bilang "ayo kita makan" sambil mengambil piring di raknya tanpa cuci tangan lagi.
"Udah nih, udah bersih pake sabun." Pamer Ayah sambil menyodorkan kedua tangannya yang basah tepat didepan wajahku.
Andai saja bersikap songong pada orang tua itu boleh, mungkin sudah ku lakukan sejak tadi.
***
Usai makan besar dilanjut dengan makan puding dua cup kini aku dengan Tia tepar didepan TV. Semriwing angin dari pintu belakang ditambah semilir angin dari kipas membuat tubuhku yang sudah kekenyangan ini lunglai, bahkan kurasakan mataku perlahan mulai terkatup. Padahal, niat awal usai makan aku akan melanjutkan packing baju lalu memperlajari kasus, namun kurasa itu bisa kulakukan usai bobo siang, iya ngga sih?
"Kak, bangun dong kak. Masa habis makan bobo? Nanti endutnya jadi banyak" ujar ibu sambil mengguncang tubuhku tak beraturan. Mataku yang semula sudah terkatup ini seketika melek lalu menatap kesal pada ibu yang terus mengguncang tubuhku semakin berutal.
"Kita lanjutin obrolan kita tadi kak, ini penting untuk masa depan kaka"
Masa depan?
Kadang ibu tuh sebenernya suka ngelindur memang kalau habis kenyang seperti sekarang. Loh, mana ada dan sejak kapan ngobrol ngalur ngidul dapat mempengaruhi masa depan? Bahkan kalau kata Rasul, diam itu adalah emas, dari pada ngobrol yang lebih banyak mudorotnya iya kan?"Kak, ayolah nak. Ini penting banget loh"
Tak ingin makin pusing karna ibu guncang terus ni badan, akhirnya ku pilih mendengarkan dengan seksama cerita ibu yang tentunya tak bertema dengan posisi tubuh setengah tertidur. Paling tidak unsur kesopanan yang selalu ibu tanamkan itu masih ada.
"Kak, kemarin kan Ibu ngaji. Nah temen ibu nih bilang kalau putranya lagi cari jodoh, nah kan ibu inget anak ibu belum nikah juga, gimana kalau kaka ta'aruf?" Aku yang awalnya setengah mengantuk seketika seger setelah mendengar kata terakhir yang ibu ucapkan.
Ta'aruf?
Ya Allah, denger kata itu kok aku malu sendiri ya? Masalahnya aku tuh bukanlah tipikal wanita solihah yang sering muncul dalam novel romantis islami, bahkan mengenal kata ta'aruf saja baru-baru ini, itu juga kalau ngga diracunin Mala.Haduh, kebayang ngga sih wanita begajulan macam aku ini mengenal pria lewat proses ta'aruf yang amat sangat sakral?
****
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA'S WEDDING STORY
SpiritualPertemuan tak terduga ku alami bersamanya, aku yang kala itu tengah terburu-buru menjatuhkan buku agendaku tepat didepan kakinya. Kau tak perlu berangan lebih dengan kejadianku kala itu, tidak ada adegan romantis dua anak manusia yang mengambil buk...