28 April 2020
Hai, kamu!
Iya kamu, sehat-sehat ya?
Nanti pas buka jangan lupa diawali dengan yang manis ya, mungkin kurma?
Oh! Bukan, jangan kamu pilih itu.
Walau janji nya terasa manis, sok atuh pilih kurma yang manisnya lebih menjanjikan***
Hahhh, walau terasa berat dan sakit melihat yang dicinta telah pergi, namun aku percaya Allah lagi sayang. Walau pada awalnya aku sempat marah bahkan cenderung murka pada-Nya, namun lagi-lagi dengan baik Allah sadarkan aku dengan caranya yang sederhana dan manis, mungkinkah melalui dia? Kurasa begitu.
Semalam ku akui aku bagaikan orang kesetanan dan tak memiliki iman, menangis meraung-raung tepat didepan jasad ayah yang tenang. Andai dia tak memelukku, mungkin aku sudah membuka dengan brutal kain penutup ayah lalu mengguncang jasadnya agar bangun lagi. Tapi aku bersyukur ia hadir, menenangkanku dengan caranya yang cuek namun hangat, hingga akhirnya aku kembali tenang dan mulai mencoba menerima walau belum sepenuhnya bisa.
Bagaimanapun tiada anak yang ingin mengubur jasad orang tuanya sendiri, apalagi disaat aku merasa belum bisa membuatnya bahagia atau membuatnya merasakan nikmat dari buah kringat yang dulu ia peras habis-habisan untukku. Makanya aku sangat kecewa dan marah semalam, sebab disaat aku trngah berjuang untuk membuat Ayah seneng, tiba-tiba Allah ambil begitu cepat.
Tapi aku sadar sekarang kenapa Allah panggil ayah lebih dulu, dan itu cukup membuatku legowo sekarang.
"Masih mau pegangan tangan?" Tanyanya sambil memperlihatkan tangan kami yang masih bertaut. Dan aku sama sekali tak sadar, kalau akulah yang menggenggamnya begitu erat cenderung lebay sedangkan ia hanya menggenggamku biasa saja.
Astaga aku malu!
Udah mana nunjukkinnya tepat didepan pintu dan lagi banyak tamu. Buru-buru ku lepas, lalu berjalan masuk kerumah sambil menunduk dalam.Namun kok rasanya aneh ya kalau aku memilih ngamar sedangkan masih banyak tamu berdatangan, apalagi saat ku lihat kondisi mental ibu yang belum stabil, bahkan masih sesekali menangis, tapi harus tetap menemui tamu-tamu ayah, membuatku mengurungkan niat lalu berjalan mendekati ibu yang sedang menceritakan kronologi meninggalnya ayah didepan teman kantor Ayah.
"Ini putri pertama saya, namanya Farasya" ujar ibu memperkenalkanku. Aku pun tersenyum tipis, lalu menyalami teman Ayah satu persatu.
Setelahnya ibu kembali bercerita soal bagaimana kronologi meninggalnya Ayah yang begitu mendadak, bahkan hampir di diagnosis terpapar Corona oleh dokter mengingat sedang marak-maraknya kejadian meninggal mendadak padahal sebelumnya masih nampak sehat. Itulah kenapa semalam untuk membawa jenazah Ayah dari rumah sakit membutuhkan waktu yang lama sebab ayah harus menjalani pemeriksaan terakhir sesuai SOP saat ini. Namun, Alhamdulillah Ayah dinyatakan murni mengalami serangan jantung akibat terjadi kebocoran di bagian nadi besarnya, dengan begitu Ayah dapat dimakamkan di pemakaman dekat rumah, tidak dengan protokoler pemakaman untuk pasien yang terpapar.
Ibu juga bercerita bahwa ayah sempat siuman dan menikahkan aku sebagai permintaan terakhirnya, disitu aku mulai merasakan emosiku memuncak, aku menangis dalam diam sama seperti ibu, namun bedanya ibu masih sanggup bercerita hingga kisahnya selesai. Dan itu berulang lagi ketika tamu-tamu baru datang.
Sungguh aku membenci itu, andai saja aku tak menghormati mereka sebagai teman Ayah mungkin sudah ku tarik ibu dari lingkaran, sebab aku tak mau ibu membuka lukanya lagi, hanya demi memberi hikmah pada orang-orang yang mungkin bertanya hanya sebatas penasaran akan kronologinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA'S WEDDING STORY
SpiritualPertemuan tak terduga ku alami bersamanya, aku yang kala itu tengah terburu-buru menjatuhkan buku agendaku tepat didepan kakinya. Kau tak perlu berangan lebih dengan kejadianku kala itu, tidak ada adegan romantis dua anak manusia yang mengambil buk...