22 Juni 2020
Hai, kamu sehat?
Tetap di rumah ya, biarkan Raga dan Ara menemani kalian yang bosen dirumah.
Yuk, keep positif thinking and stay healty at home!***
Malam ini hujan kembali turun setelah sekian lama tak kurasakan kehadirannya. Langit nampak sangat gelap, ditambah guntur yang menyambar kurang ajar. Masih di episode kepergian ayah yang masih dalam hitungan jam, aku disini mendongak menatap langit bersamanya. Ku lirik ia yang kini mulai asyik mengibas-ngibaskan tangannya pada air hujan yang jatuh, persis anak kecil yang dilarang ibunya mandi hujan dan memilih bermain air di pinggiran kanopi.
"Eishhh!" geramku padanya yang kini mulai menyipratkan air hujan padaku. Namun, itu tak cukup membuatnya takut atau merasa bersalah, geramku malah semakin membuatnya gencar mencipratkannya lagi dan lagi.
"STOP!" ujarku mulai emosi. Tapi memang dasarnya aku tak bisa marah, melihat dia yang seketika menghentikan aksinya lalu menatapku bingung, malah membuatku semakin ingin ngakak.
"Hadeuh, untung suami" ujarku sambil mesem-mesem. Beginilah nasib orang yang tak berpendirian kuat, mau marah ngga total, mau stay cool malah failed.
Akhirnya, sambil menahan malu aku berjalan nunduk sambil menepuk-nepuk halus bulir hujan yang kini mulai rembes di kerudung menuju ayunan kayu yang ada dibelakang kami berdiri.
"Maaf," ujarnya tulus kemudian, tangan panjangnya mengangsurkan sapu tangan coklat padaku.
Oh, maafkan. Bukan niatku untuk mengatai sapu tangannya yang nampak dekil. Tapikan, dari pemakaman ayah bahkan sebelumnya sampai sekarang orang satu itu sama sekali belum mandi -maksudku ngga sempat untuk mandi- ototmatis untuk menukar sapu tangan dengan yang bersih dia ngga sempat kan? Ngga kebayang dong sudah berapa banyak keringat yang bercampur dengan ingusku semalam yang mungkin mulai mengerak.
Tapi, yang namanya orang harus menghargai niat baik orang lain bukan? Dan demi kesopanan pada suami, akhirnya ku ambil sapu tangannya, dan ku elap bulir air yang menempel perlahan. Sedangkan dia? kini mulai asyik menggerak-gerakkan kaki panjangnya hingga ayunan yang kami duduki ini ikut bergerak seirama.
Dan lagi kami kembali tenggelam dalam pikiran kami masing-masing, sambil menikmati suara air yang jatuh disela-sela kanopi serta suara guntur yang sesekali membuat kami berjengit kaget. tak ada yang memulai pembicaraan bahkan hingga aku selesai mengelap kerudung yang ku kenakan. Oh, tentu bukan karna kami tak ada topik pembahasan yang bisa kami perdebatkan. Namun, harus ku akui aku canggung. Mungkin inilah yang membuatku hanya bisa melirik dan menunduk, mencuri pandang padanya yang juga begitu, persis anak ABG yang pertama kali ngedate.
"Maaf ya, pernikahan kita ngga sesuai harapan kamu. Atau bahkan aku juga bukan kriteria kamu," ujarnya yang membuatku seketika mengerutkan dahi.
Ku ubah dudukku menghadapnya, seolah meminta penjelasan lebih atas kalimatnya barusan.
"Bukankah wanita punya pernikahan impian dalam bucket list-nya?" Hmm, memang sih. Tapi aku rasa, aku tidak termasuk dalam barisan wanita seperti itu. Apalagi posisiku sebelumnya adalah wanita yang sudah dikejar diedline untuk menikah, ngga usah istimewa asal ada yang mau juga hayo.
"Begitu ya pemikiran cowo? Tapi, ngga semua wanita begitu kok, masih ada banyak wanita yang lebih mementingkan hal lain ketimbang harus mengikuti keinginan mereka untuk menikah mewah. Salah satunya aku?" Ujarku sambil tersenyum manis.
"Aku ngga masalah kok, sudah jalannya seperti ini kan? Yang ada tuh aku yang bilang begitu, pasti kamu ilfeel, karna semalam aku ngamuk dan bikin malu. Ya kan?" Tuduhku. Ia pun tersenyum sambil mengelus kepalaku lembut, membuat dadaku berdesir geli.
"Wajar kamu begitu, wong di tinggal orang tersayang mana ada yang bisa tenang tenang saja? Saya bahkan lebih parah, padahal cuma kucing yang meninggal. Mana yang lebih bikin ilfeel?" Aku pun tersenyum sambil terkekeh renyah. Satu sifat baru ku temui lagi, ternyata dia tipikal orang yang terbuka, buktinya dia sama sekali tak sungkan untuk menceritakan masa lalunya, padahal perkenalan kami baru hitungan jam.
"Hah.. Makasih ya? Kamu bantu kami banyak sekali, dari ayah jatuh sakit sampai menuruti permintaan ayah. Dan maaf, kalo.." ucapku terhenti, ku tatap dia yang kini menatapku dalam. "Maaf kalau aku bukanlah wanita yang kamu idam-idamkan. " ujarku sedikit sedih. Aku tak bisa menutupi kesedihanku. Sedih, saat pikiranku mengatakan kalau aku bukanlah sosok wanita idamannya, aku hanyalah orang asing yang tiba-tiba menjebaknya dalam pernikahan dadakan.
"Stttkkk, harus banget ya bilang kaya gitu? Oke, begini saja. Mulai hari ini, stop berpikir kalau kita terjebak, ngga cocok atau sebagainya. Mulai sekarang kita harus belajar menerima, kamu belajar menerima saya, saya juga belajar menerima kamu. Deal?" Ujarnya sambil mengangsurkan tangannya mengajak bersalaman.
"Deal!" Ujarku mantap sambil menyambar tangan besarnya yang kurasa dua kali lipat dari tanganku.
"Sekali lagi makasih M..ma.s Raga, Ara ngga tau kalau malam itu mas ngga ada." Ujarku tulus sambil menatap tangan kami yang masih tertaut.
"Sama-sama" jawabnya singkat.
Lama kami terdiam canggung, dengan aku yang menunggu dia memulai pembicaraan terlebih dahulu. Tapi, kurasa dia juga sama sepertiku, menungguku memulai pembicaraan sedangkan dibuat tak berkutik dengan tangannya yang terus menggenggam tanganku, sumpah! Aku canggung banget, udah mana tangan dingin kan?
"Gugup ya?" Tanyanya tanpa perlu di jawab. Dan aku sangat yakin, dia pun sudah tahu jawabannya dari keadaan tanganku yang persis orang kedinginan.
"Kalau gitu kita sama, Saya juga gugup sebenernya. Setelah sekian lama saya jomblo, baru kali ini saya pegang tangan cewe selain tangan Mama" tuturnya jujur. Dan itu cukup membuat mataku membulat sempurna.
Dibalik kesempurnaannya dari segi fisik, harta dan paras, Mas Raga adalah perjaka ting-ting yang sama sekali tak terjamah wanita kecuali Mama?
"Masa sih mas? Ngga ada satu pun yang nyantol?" Tanyaku tak percaya.
"Dulu iya, sekarang ngga" ujarnya sambil merilekskan punggungnya dengan bersandar pada sandaran ayunan.
"Hih, siapa dia?" Ujarku sewot. Baru saja berbangga, sekarang aku dijatuhkan lagi.
"Loh, bukannya kamu udah nyantol sama saya? Salah saya bilang begitu?" Haduh gusti, aku kira siapa. Maluuu, aku kelihatan bucin sekali ya? Masa baru gitu doang udah panas hatinya.
"Jadi, panggilan baru saya 'mas' ?" Tanyanya.
"Boleh kan?" Tanyaku, takut dia tak suka ku panggil begitu.
"Boleh, apa saja. Mas boleh, abang boleh, sayang juga boleh." Ujarnya membuatku seketika malu. Ahh! Kena lagi kan, kenapa sih aku jadi gampang diginiin?
"Hmmm, mas. Malam ini jadi pulang?" Tanyaku takut. Ku tatap dia yang kini menatapku penuh, seolah meminta penjelasan lebih.
"Mmm, boleh Ara stay disini dulu? Satu atau dua hari deh. Habis itu aku ikut mas kemana pun. Boleh ya mas?" Kurasakan tangannya semakin erat menggenggam tanganku tanpa memberi gelenyar sakit karna terkekang.
"Boleh, mas temani kok. Kita akan tetap disini sampai 40 hari nya Ayah. Mas janji ngga akan bawa kamu kemana-mana bahkan sampai kondisi ibu lebih baik juga ngga papa." Ujarnya sambil tersenyum hangat. Matanya nampak ketulusan, persis tatapan Ayah yang selalu membuatku jatuh jati.
"Makasih," ujarku malu-malu sedikit berbisik.
Duhai, Ayah...
Terima kasih kau percayakan aku padanya,
Laki-laki baik yang sama sepertimu,
Tulus dan In sya Allah seterusnya begitu,***
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA'S WEDDING STORY
SpiritualPertemuan tak terduga ku alami bersamanya, aku yang kala itu tengah terburu-buru menjatuhkan buku agendaku tepat didepan kakinya. Kau tak perlu berangan lebih dengan kejadianku kala itu, tidak ada adegan romantis dua anak manusia yang mengambil buk...