ARA'S WEDDING STORY

638 39 0
                                    

Malam ini ku putuskan untuk pulang, sebab ada rasa tak tenang menggebu walau aku sudah berusaha untuk tak begitu. Ku bereskan semua barang tak peduli tatapan mereka yang kini menatapku bingung. Demi tuhan! Ini bukan karna aku tak ikhlas dinikahkan, bukan juga tak ikhlas karna dinikahi namun berjauhàn. Ini soal alasan, alasan yang mendasari aku dinikahkan begitu cepat sungguh tak masuk diakal jika tak ada apa-apa.

"Mas, maaf banget. Gue pulang duluan, ada yang ngga beres di Jakarta, masa gue dinikahin tapi alasannya ngga papa." Ujarku mencoba untuk tenang sambil melempar guyon. Tapi yang namanya guyon dengan keadaan begini, ya mana ada yang ketawa? ada juga ngeringis iba.

"Kak.."panggil Mala dengan tatapan sedih. Aku tersenyum sambil mengelus bahunya sayang. Bagaimana pun aku tak ingin dikasihani, walau keadaanku begini. Prinsipku, mereka tak perlu tahu.

"I'm good, and i'm really good. Sorry banget nih mas, bukannya gue mangkir. Tapi gue bener-bener ada alasan" ujarku pada mas Bima yang kini menatapku tak terbaca.

Lepas itu aku menjatuhkan koperku ke lantai dibantu mas Wayan, lalu ku peluk hangat Mala sambil mengatakan maaf karna tak bisa menyelesaikan tugas hingga tuntas. Kini ku beralih pada dua pria yang kini berubah ekspresi menjadi wajah iba, sekali lagi aku tersenyum sambil menepuk bahu mereka bergantian.

"Gue duluan ya, jagain Mala. Dia lagi hamil dan agak rewel," pesanku pada dua pria itu.

Setelah dirasa cukup pamitannya, aku berjalan keluar sambil menggeret tas koper mungilku yang kemudian di ambil alih tiba-tiba oleh mas Wayan. Aku yang dibantu hanya bisa nyengir jayus, dan merasa senang-senang saja, wong mumpung ada yang bantuin kan?

"Udeh ngapa si, ngga usah begini ngapa mukanya. Gue ngga papa, malah seneng mau dinikahin. Cuma alasannya aja yang rada kocak, makanya gue ke Jakarta buat mastiin. " ujarku saat kami berada tepat didepan lobby menunggu taxi onlineku tiba.

"Bukan karna hal lain kan Ra?" Tanya mas Bima akhirnya.

Aku pun tersenyum tipis, akhirnya ya Allah, manusia galak itu bereaksi! "Yai, udah ye. Jangan begini apa. Gue bakal kabarin kalian kalau ada apa-apa, kalau pun ngga ada juga bakal kabarin deh biar kalian tenang, ye ngga?" Ujarku mencoba ceria. Tapi lagi-lagi menampakkan keceriaan palsu akan selalu nampak maksain, alhasil suara yang keluar dari mulutku terdengar sumbang dan mancing tangisan Mala.

Hadeuh,
Berasa mau pamit selamanya aku tuh,
Belom lagi diliatin pengunjung hotel, yang melihat aneh gerak-gerik kami.

"Eh, lah dalah. Gue mau ke Jakarta oy! Bukan ke surga, ngapa jadi mewek si?" Protesku sambil mengelap air mata Mala, si bumil cengeng.

"Nah tuh dia burok gue." Ujarku sambil menunjuk mobil avanza hitam yang baru memasuki pelataran lobby.

"Gue pamit. Assalamu'alaikum" ujarku kemudian memasukkan tas koper ke jok penumpang dibantu mas Wayan. Hah.. memang gantle tuh orang, tapi sayang udah ada yang punya.

"Thank you, dahh!" Ujarku dari dalam mobil sambil melambaikan tangan. See? Berasa mau pergi jauh aku tuh, wong biasanya cuma "dah ye, duluan" atau cuma "bhay!" Tapi ini kenapa kaya mau perpisahaan antar beda alam ya?

Tapi bagaimana pun, bisa ku katakan mereka adalah keluarga baruku, sebab walau baru kenal empat tahun belakangan, tapi hampir 5 × 8 jam aku bersama mereka di kantor, sharing apa pun dari makanan, minuman, sampai pulsa internet, belum lagi kalau keluar kota membuat waktu interaksi kami bertambah, lebih dari 8 jam per harinya. Dan bagiku, itu cukup membuat kami merasa dekat dan ikut merasa khawatir kalau ada keadaan semacam ini.

Hahhh, ya Allah
Kok rasanya beginin amat ya?

***

Tepat pukul delapan malam waktu Indonesia Tengah aku berada disini, check in bagasi lalu boarding pass bersama mba-mba cantik juga ber-make up tebal. Kurang lebih masih ada waktu 30 menit lagi untuk bisa masuk ke kabin, gate pun katanya belum dibuka. Akhirnya ku pilih melipir sejenak ke kursi tunggu, duduk tenang mengarah ke kaca besar yang menampakkan pesawat-pesawat besar berjejeran disana.

Dan untuk kesekian kali aku menghembuskan nafas beratku, sedang tanganku terus memutar hanphone menimbang-nimbang, ingin sekali aku menghubungi Tia di Jakarta menanyakan segala hal padanya, tapi aku terlanjur janji pada ayah untuk tetap stay disini hingga besok, saat kerjaanku selesai.

Demi apa pun aku yakin ada yang ngga beres disana, apalagi saat ku tanya pada Ayah apa alasan aku dinikahkan sekarang sungguh tak masuk di akal jawabannya, dan yang paling ku takutkan Ibu jatuh sakit, sebab dari kemarin aku sama sekali tak mendengar suaranya.

Tak lama, layar handphoneku menampakkan pop up WA dari ibu, buru-buru ku buka sambil bernafas lega. Bukankah itu artinya ibu sehat di Jakarta?
Ada tiga pesan disana, satu berupa pesan teks dan dua diantaranya berupa pesan gambar.

Ibu bilang, "don't be affraid sayang. Ibu, ayah dan Tia baik-baik disini. Hari ini ayah dan ibu meminta izin menikahkan kamu dengan Raga, pria yang In sya Allah kami percayakan untuk membimbingmu. Tepat pukul tujuh, ba'da Maghrib Ayah menikahkan langsung kamu pada Raga. Walau pun sederhana ngga papa ya sayang? In sya Allah kalau keadaan sudah membaik kita adakan sesuai yang kamu inginkan. ".

Gusti..
Tanganku makin gemeteran, belum lagi mataku yang mulai berkaca-kaca. Rasa tak percaya masih mengglayut dalam benak, bahkan aku tak berani membuka langsung foto yang ku yakini adalah foto prosesi akad ku dengan dia.

Akhirnya ku putuskan untuk tak melihatnya, dan memilih beranjak sebab gate pesawat telah dibuka. Dalam hatiku, ku berdoa "ya Allah, please aku ingin pulang, dan ingin melihat semuanya baik-baik saja"

***

Pukul tujuh lewat lima belas menit waktu indonesia bagian barat prosesi akad yang mengharukan terlaksana, dihadiri oleh ketua RT serta ustadz yang kebetulan menjenguk, prosesi akad sederhana berjalan lancar, dengan Alfi yang duduk bersandar di kasurnya sedangkan Raga duduk tenang berisisian dengan pak penghulu yang ia pinta tiba-tiba.

Tak ada satu pun yang tak terharu disana, semua nampak suka cita sekaligus sedih. Dalam keadaannya yang belum terlalu stabil,  siang tadi Alfi tiba-tiba meminta langsung pada Raga untuk menikahkan putri kesayangannya segera.

Raga yang kala itu baru saja kembali dari luar seketika kaget, kala Mama nya menyampaikan bahwa Alfi mencarinya. Buru-buru Raga mengganti pakaiannya dengan pakaian steril, lalu masuk ke dalam ruang ICU dimana Alfi dan Mimi berada. Dari kaca besar penghubung, Rumi melihat Alfi tengah berbicara serius dengan Raga, tentu saja ia tahu kemana arah pembicaraannya.

Hingga sampailah di waktu yang di tunggu-tunggu, sempat sekali Raga melirik ke arahnya seolah meminta pendapat. Rumi pun menganggu, namun ia sama sekali tak memaksa, dengan isyarat ia mengatakan "tergantung Raga, mama izinkan", sembari berharap Raga menerimanya sebab ia pikir akan terjadi penolakan dari Raga sendiri.
Namun nyatanya tidak, selepas meliriknya Raga tersenyum lalu mengangguk mantap sambil menatap Alfi. Seketika senyum Raga menular membuat Rumi, Tia dan Pria yang ada di luar ikut tersenyum. Akhirnya siang itu juga Pria menelphone sahabatnya untuk membantu pernikahan kilat ini, tak lupa Rumi yang ikut ribut menghubungi para saksi.

Beruntung semesta mendukung, tepat pukul tujuh malam dengan terbata-bata Alfi menikahkan putri tercintanya pada sosok pria pilihannya. Ada rasa syukur terbesit disana, ada rasa sedih pula kala sadar ia menikahi putrinya di suasana yang tak semestinya.

"Terima kasih Raga, ayah titip Ara ya?" Ujar Alfi sambil menyentuh punggung tangan Raga. Sesaat suasana haru terhenti, saat dengan reflek Raga memencet bel sambil berteriak.

Saat itu pula Alfi tak sadarkan diri, dengan denyut jantung yang terus menurun.

***


ARA'S WEDDING STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang