28 April 2020
***
Raga's side
Kau tahu, baru saja ku izinkan seseorang masuk ke dalam hidupku yang semula lempeng-lempeng saja, melalui permintaan sederhana namun cukup mampu menjungkir balikkan semuanya.
Saat itu aku diantara rasa mampu dan tak mampu menolak permintaannya, bahkan jika dipikir-pikir lagi aku bisa saja memilih mampu kala kurasa belum saatnya, namun pada akhirnya aku memilih tak mampu, bukan karna rasa iba bukan juga karna rasa kasihan akan kondisinya. Tapi, mari kita bicara soal hati. Walau pada awalnya aku tak mengenal apa pun tentang keluarga ini, bahkan mengetahui tentangnya saja aku hanya bersumber dari ayahnya yang begitu ceriwis membeberkan kejelekan dan kebaikannya, sangat naif dan klise rasanya ketika ku bilang aku jatuh hati padanya hanya dari cerita-ceritanya saja, sebab bisa saja ceritanya dibuat-buat menarik hingga aku dibuat tertarik. Namun, hingga kini tak ku temui itu dari sorot mata ayahnya yang terlalu jujur kala membeberkan kisah putrinya. Walau pada awalnya aku datang tanpa niat, aku hadir hanya sebatas penggugur janjiku pada Mama, namun kurasa Tuhan tengah merancang takdirku.
Hingga kejadian malam itu terjadi, aku yang kala itu ingin segera pergi dibuat tak berkutik, teriakan histeris ibu juga Tia membuatku freze di tempat. Masih terasa jelas dalam ingatan bagaimana hectic-nya keadaan saat itu. Dengan dibantu Tia aku memapah tubuh Ayah hingga masuk ke dalam mobil, bahkan aku juga tak sadar berapa kecepatan yang ku gunakan untuk sampai rumah sakit, yang jelas saat itu aku hanya ingin membawa Ayah lebih cepat yang ku bisa, menyelamatkan nyawanya yang hampir saja terenggut.
Semalam penuh aku disana, menemani Tia yang terus menangis dalam pelukan mama yang tiba-tiba datang setelah Ayah aman dalam pantauan. Ku kesampingkan rasa kantuk untuk menjaga mereka yang perlahan tertidur dipertengahan malam, bersama Papa yang terus mengajakku berbicara soal dia.
Demi apa pun andai aku tak menghormatinya, kungkin sudah ku elak mentah-mentah pembicaraan yang ku anggap tak semestinya. Namun, obrolan sederhana bersama papa semalam itulah yang membuatku mantap memilih tak mampu menolak.
Akhirnya tepat pukul tujuh ba'da maghrib menuju isya dibantu dengan teman papa yang seorang penghulu dan dihadiri dua saksi, pernikahan kilatku pun terjadi. Ku jabat tangan ayah yang mulai terasa anyep ditangan dan kutatap pula matanya yang nampak sayu. Dengan terbata-bata ayah mengucap kalimat ijab yang kemudian ku sambut dengan kalimat Qabul yang seketika menggetarkan dada. Dan saat itulah kuyakin beban yang ia emban atas putrinya telah berpindah padaku. Semua nampak suka cita termasuk Mama, Ibu, Tia serta para saksi yang hadir.
Tak lama, genggaman tangan ayah mengendur lalu terlepas bersamaan dengan matanya yang mulai tertutup perlahan. Seketika kami yang semula tersenyum lega kembali dirundung duka. Semua panik, bahkan Tia yang semula tersenyum lepas kini kembali menangis dalam pelukan Ibu dan Mama. Hingga satu jam bergulir dua dokter ahli serta beberapa suster belum sekali pun keluar dan memberi kabar.
Akhirnya tepat pukul sembilan malam, dalam keadaan aku tengah menjemput Ara di bandara, Dewa mengabarkan bahwa ayah telah berpulang. Suatu pukulan keras serta amanah berat bagiku di hari yang sama dan waktu yang sama harus ku sampaikan dua hal yang bertolak belakang padanya. Satu, harus ku beri tahu dia bahwa aku suaminya dan yang kedua, harus ku sampaikan berita duka.
Saat itu pikiranku berkecamuk, satu sisi ingin ku katakan bahwa "aku suamimu" agar dia berhenti memanggilku om dan berhenti beranggapan bahwa aku driver onlinenya. Namun tak etis rasanya jika aku mengatakan hal itu lalu ku katakan pula bahwa Ayah sudah ngga ada diwaktu yang sama. Akhirnya ku pilih untuk diam, hingga sampai dimana ia memaksaku untuk mengatakan yang sebenarnya, dan aku pun tak bisa mengelak. Dan disitulah ku lihat titik lemahnya.
Ia menangis,
Tatapannya terluka,
Tangannya dingin dan gemetarIngin ku rengkuh ia erat, meminta sebagian rasa sakit yang kini ia rasakan. Namun, sekali lagi aku hanya bisa diam, hanya genggaman tanganku yang dapat berbicara bagaimana aku sangat ingin melindunginya.
"Dengarkan saya, jam tujuh Ayah mau dimakamin. Kamu mau ikut?" Tanyaku pada Ara yang kembali melamun saat kami berada di kamarnya.
Kini matanya menatapku tak terbaca, ada genangan air yang siap meluncur disana namun ia halau dengan cepat melalui kedipan mata beberapa kali. Demi apa pun, aku tahu ia sedang menahan tangis, dia berusaha kuat demi adik dan ibunya yang kini sama terpukulnya.
"Aku boleh ikut?" Tanyanya lirih sembari menunduk. Ku tangkup kedua tangannya, sembari tersenyum mengizinkan.
"Kalau begitu nanti kamu ganti baju ya. Saya dibawah, kalau kamu butuh sesuatu" ujarku kemudian meninggalkannya seorang diri.
Andai kamu tahu sayang,
Tak kuat aku berada dalam radar sendumu.***
Tepat pukul tujuh pagi Ayah dimakamkan di pemakaman umum yang tak jauh dari rumah. Dengan dibantu oleh beberapa warga serta Dewa aku mengangat keranda Ayah hingga ke liangnya.
Kala itu aku tak melihat Ara sedikit pun, bahkan aku tak tahu dia jadi ikut atau tidak. Namun, baru saat aku keluar dari liang disitu ku lihat Ara yang kini menatapku tak terbaca, hidungnya masih tampak memerah tak ketinggalan kantung mata yang mulai tampak.
Secangkul demi secangkul tanah mulai menutupi tubuh ayah hingga membentuk gundukan, barulah para pelayat lainnya kulai menaburkan bunga termasuk Ibu, Tia dan Ara. Walau masih sesegukan namun kurasa kini Tia mulai menerima kepergian Ayah, ia nampak hebat sama seperti ibu juga kakanya, sedangkan aku tahu, Tia lah yang lebih dekat dengan Ayah, dan dia pula lah yang lebih histeris ketika kabar duka itu mencuat.
Setelah prosesi pemakaman usia saat itu pulalah satu demi satu pelayat mulai pulang, hingga hanya menyisakan aku dengan dia disini. Aku pun ikut berjongkok disampingnya, mencoba menyetarakan posisinya yang kini masih betah menunduk dan menangis dalam diam.
Sungguh, ingin rasanya aku merengkuhnya seperti tadi malam kala ia histeris melihat tubuh Ayah yang tak lagi hangat, mencoba meminta bagian rasa sakit yang kini ia rasakan. Dan sungguh, bukan aku tak ingin seperti itu, namun aku lebih memikirkan kenyamanannya yang masih menganggapku orang lain. Aku hanya ingin ia memuaskan hati sejenak dengan aku yang hanya bisa menemaninya disamping pusaran Ayah.
"Terima kasih," ujarnya tiba-tiba.
Aku yang kala itu tengah asik melihat semut menggiring anak-anaknya masuk ke tanah mendongak dan menatap ia yang kini menatapku sambil tersenyum tipis.
"Dan maaf," lanjutnya lagi, aku semakin bingung dengan apa yang ia katakan.
Sebab aku tak tahu apa yang telah kue beri hingga ia berterima kasih, dan aku tak tahu kesalahan apa yang ia perbuat hingga ia meminta maaf.Namun, tak ayal aku ikut melempar senyum padanya sembari berharap, senyuman itu mampu menularkan perasaan lebih baik untuknya.
"Sudah lebih baik?" Tanyaku, saat ku lihat ia mulai beranjak dari posisi jongkoknya.
"In Sya Allah, tapi kesemutan" ujarnya lucu sambil menepuk-nepuk halus kakinya yang mungkin terasa gremetan.
Aku pun ikut beranjak sambil tersenyum, "Sini saya bantu jalannya" ujarku inisiatif saat ku lihat ia berjalan namun sedikit limbung.
Akhirnya kami pun meninggalkan makam Ayah dengan tangannya dalam genggamanku, sungguh serasa kejadian malam itu terjadi lagi, saat untuk pertama kalinya ku genggam tangan seorang wanita yang kini berstatus istriku.
Istri?
Hah, unik sekali rasanya aku mengatakan itu***
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA'S WEDDING STORY
SpiritualPertemuan tak terduga ku alami bersamanya, aku yang kala itu tengah terburu-buru menjatuhkan buku agendaku tepat didepan kakinya. Kau tak perlu berangan lebih dengan kejadianku kala itu, tidak ada adegan romantis dua anak manusia yang mengambil buk...