****
Angin malam menerpa gamis putihnya sedikit kencang hingga ia mampu terhuyung jika saja ia tak berpijak dengan benar. Mata tuanya mencari sendal pemberian putrinya dalam gelap, sedikit kesusahan memang mengingat lampu pelataran masjid yang seadanya, namun ini sudah biasa ia lakukan.
Sesekali ia tersenyum lalu menyapa siapa saja yang menyapanya, bahkan ia tak peduli sandal sebelahnya belum terpasang sempurna demi menyalami satu-satu orang yang mengajaknya bersalaman.
"Assalamu'alaikum om." Ujar seseorang dari balik tubuhnya.
Ia pun menengok lalu tersenyum ramah pada pemuda bersarung coklat dan berkoko putih.
"Eh, wa'alaikumsalam. Kamu wa" ujarnya sambil menepuk pelan bahu pemuda bernama Dewa itu.
Tanpa niat modus tedeng aling-aling, Dewa menunduk bermaksud membantu mencari sebelah sendal Alfi yang bergeser jauh dari sandal sebelahnya, lalu mendekatkan sandalnya pada sang pemilik.
"Terima kasih, Masya Allah" ujar Alfi sambil menepuk bahu Dewa halus.
"Bagaimana keadaan pak Firman, belum keliatan nih di masjid" tanya Alfi pada Dewa yang kini sibuk menatap jalan aspal.
Hatinya bergemuruh tak seperti biasanya, ingatan kejadian tadi siang cukup memporak porandakan hidupnya. Akankah ia mampu mendekati anak orang kaya sedangkan ia hanya mantan orang kaya.
"Alhamdulillah sudah membaik, tadinya mau ikut om tapi masih sempoyongan." Jawabnya sopan. Ia nampak berbeda memang, mata teduhnya tak berani menatap mata tajam Alfi seperti biasanya, nampak jelas kala ia berusaha memutus kontak mata sepihak.
"Hah, coba bisa ketemu ya. Mana besok udah ngga boleh solat berjamaah di masjid kan. Rindu saya sama papa mu itu." Ujar Alfi tulus.
"In Sya Allah di lain waktu om." Ujar Dewa.
Obrolan mereka pun terputus kala Dewa tak sengaja menangkap sosok Tia di ujung sana, tengah membuang sampah dengan sedikit menggerutu.
"Tia memang begitu kalau disuruh buang sampah sama ibunya, karna biasanya itu tugas Ara." Ujar Alfi yang seketika membuat Dewa malu, kepergok camer memerhatikan wanita pujaannya yang kini tengah menyingsingkan matanya mengarah ke arahnya.
Tak lama masih dengan tempat sampah di tangannya Tia berjalan mendekat membuat Dewa gugup seketika. Alfi yang melihat itu berusaha bersikap biasa, walau naluri ayahnya mengatakan bahwa pemuda yang kini berdiri disampinhnya menaruh perhatian pada putri kesayangannya. Namun ia berusaha tak egois, karna sekuat apa pun ia menjaga putri kecilnya, suatu hari akan ada pria yang menggantikannya menjaga mereka.
"Ayah, di rumah ada mas Raga tuh. Katanya mau ketemu ayah" Lapor Tia tanpa sedikit pun melirik Dewa yang kini mulai panas dingin.
"Oh, iya. Kalau gitu om duluan ya Dewa. Salam untuk papa Mu ya?" Ujar Alfi kemudian menepuk bahu Dewa pelan, lalu mengambil alih tempat sampah dari genggaman Tia dan berjalan bergandengan menuju rumah.
Dewa pun menghembuskan nafasnya lega kala Alfi dan Tia yang mulai menghilang dari pandangan. Dipegang dadanya yang berdegub tak karuan. Menyesal rasanya ngobrol soal hati dengan Ara tadi siang, sebab setelahnya ia jadi kikuk berhadapan dengan keluarga Tia, padahal sebelumnya ia mampu bersikap biasa dan berusaha mengesampingkan hatinya
"Haduh Tia, ngeliat kamu aja aku degdegan" ujar Dewa lirih, lalu berjalan lurus lalu belok dipertigaan depan.
****
"Assalamu'alaikum", ujar Alfi kala memasuki rumah.
Seorang pria yang sejula duduk tegang kini berdiri sambil tersenyum menyambut kedatangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA'S WEDDING STORY
SpiritualPertemuan tak terduga ku alami bersamanya, aku yang kala itu tengah terburu-buru menjatuhkan buku agendaku tepat didepan kakinya. Kau tak perlu berangan lebih dengan kejadianku kala itu, tidak ada adegan romantis dua anak manusia yang mengambil buk...