22 April 2020***
Sudah hampir satu jam berlalu dokter yang menangani Alfi tak kunjung keluar dari ruangan, tak ada tanda-tanda kesudahan malah nampak semakin sibuk dan semrawut, membuat Mimi semakin ketakutan. Apa lagi ketika beberapa suster bolak-balik dengan wajah kusut sambil membawa alat yang membuat siapa pun akan berkesimpulan ada yang ngga beres disana.
Dalam dekapannya Mimi terus berkata "tenang sayang," pada Tia yang terus menangis ketakutan. Naluri ibunya bekerja, mencoba kuat dan bertahan demi putri kesayangan dalam dekapan. Jika saja ia boleh jujur, andai ia tak berpegangan di lengan baju Tia, mungkin ia sudah luruh ke lantai, meringkuk seperti waktu itu, ketika Alfi tiba-tiba jatuh dan difonis serangan jantung.
Dirinya tak siap untuk ditinggalkan, oleh lelaki yang begitu hebat memperjuangkan seorang gadis desa yang begajulan, laki-laki yang telah memberikannya dua putri cantik kebanggaan. Ia tak rela, dan sungguh tak akan rela hari ini menjadi hari bahagia putri sulungnya dan disaat itu pula hari kesakitannya.
"Maaf tante, kak Ara sejam yang lalu minta jemput, Dewa izin pergi ya tan" ujar Dewa tak enak hati. Ditatapnya Ragu Raga yang kini menatapnya di ujung ruang tunggu.
"Ara pulang? Ya Allah, gimana ini?" Ujar Mimi panik sambil menatap Rumi, sahabatnya. Hal yang ia takutkan akhirnya terjadi, bayangan wajah kecewa Ara mulai nampak dalam benak.
"Biar Raga saja yang jemput Bu, dan biar Raga yang jelasin semuanya sama Ara." Ujar Raga pada ibu mertuanya. Tubuhnya yang tinggi menjulang kini duduk bersimpuh dihadapan ibu serta adik iparnya.
"Yoo wes, mas Dewa disini saja ya. Biar mas Raga yang jemput" ujar Mimi lembut pada Dewa. Dewa pun tersenyum lega kemudian mengangguk setuju.
Setelah mendapat persetujuan Raga pun bangkit kemudian menepuk halus bahu Dewa tanda berpamitan. Dalam genggamannya sebuah handphone yang tengah menampakkan proses mendownload gambar, ya apa lagi kalau bukan mendownload foto istrinya.
Ckck, mau jemput istri saja harus download foto dulu saking ngga tahunya.
***
Dalam perjalanan menuju bandara, Raga terus menajamkan pendengaran sembil sesekali melirik handphone yang ia letakkan di jok samping, kalau-kalau ada kabar soal Alfi. Walaupun sedikit mengantuk, sebab tak tidur semalam suntuk ditambah kejadian pernikahan kilat, Raga terus mencoba fokus sambil menghalau rasa gugup yang hadir bersamaan.
Bagaimana tidak?
Ini kali pertamanya bertemu dengan si "dia" yang baru saja ia nikahi beberapa jam yang lalu, tanpa diawali perkenalan intens, bahkan melihat wajah istrinya saja baru tadi, itu juga lewat foto bahkan baru di download saat perjalanan menuju parkiran rumah sakit."Hadeuh, kok ya gugup?" Ujar Raga lirih.
Hingga satu jam lebih berlalu, kini Raga tiba di pintu keluar penerbangan domestik. Nampak banyak orang berseragam APD berseliweran memeriksa tiap pendatang yang baru saja mendarat, tak hanya itu ada banyak pria berseragam lengkap yang siap menghadang siapa pun yang ingin berpergian demi menertibkan program PSBB yang sudah diterapkan di Jakarta sejak kemarin.
Dan untuk kesekian kali Raga menghembuskan nafas gugupnya, ia nampak jelas seperti anak ABG yang sedang menunggu sang pujaan, wajahnya gelisah, kakinya sesekali bergerak tak tenang, celingak-celinguk sambil melirik handphone sesekali.
Hingga tak sadar, dari kejauhan nampak seorang wanita dalam balutan hijab terakota dengan rok senada muncul dari balik pintu kaca. Wajahnya yang tertutup masker membuat Raga sulit memastikan. Namun keyakinan telah bulat, ia yakin gadis itulah yang ia cari. Dan benar saja, saat tak sengaja gadis itu melepas maskernya karna pengap, buru-buru raga menyamakannya dengan foto yang ada di layar handphonenya. Dan kini rasa gugupnya semakin bertambah, dia lah wanita yang ia tunggu, wanita yang sama dengan wanita serampangan yang hampir dua minggu lalu ia temui.
Raga pun tersenyum, hatinya semakin bergemuruh kala langkahnya semakin dekat pada gadis itu. Hingga sebuah pesan singkat masuk, membuat langkah kakinya kembali terhenti. Nampak sebuah pesan singkat dari Dewa yang menyampaikan pesan duka.
Tepat pukul sembilan malam, Dewa mengabarkan Alfi telah berpulang. Pesan singkat yang seketika membuat seluruh persendiannya lemas. Lalu, bagaimana ia menyampaikannya? Sedang gadis itu sama sekali tak tahu keadaan yang sebenarnya.
***
"Ekhm" dehem Raga seketika membuat gadis itu terperenjat.
Matanya yang sipit seketika awas kala Raga berada dalam lingkar radarnya. Keinginan untuk pergi ia urungkan kala keram pada kaki mulai nyut-yutan. Ternyata duduk diam selama dua jam dengan jarak antar kursi berdekatan berhasil membuat kakinya pegal sekarang.
"Kamu Farasya?" Tanya Raga seketika membuat mata Ara semakin membulat.
"Ba.. bagaimana om bisa tau?" Tuhan, ingin rasanya Raga menepok jidatnya sekarang juga. Bagaimana bisa di pertemuan pertamanya dengan istri sendiri, ia sudah dibuat malu dengan panggilan om yang enteng keluar dari mulut kecilnya.
"Saya punya tugas menjemput kamu. Kita pulang sekarang?" Ujar Raga mulai tak kuat menahan gemas pada istrinya.
"Eh, saya tadi minta di jemput Dewa. Kenapa jadi om yang jemput saya?" Tanya Ara lucu. Wajahnya yang mungil nampak bingung ketika tiba-tiba Raga menarik koper kecilnya, lalu berjalan santai mendahuluinya.
"Ish, kenapa gini sih? Om ini siapa?" Tanya Ara bisik-bisik sambil menarik paksa kopernya kembali dari tangan Raga. Mata sipitnya mengintai sekitar ketika banyak orang mulai menjadikannya pusat perhatian, malu.
"Sekarang bukan waktunya debat, oke? Kita harus pulang cepat." Ujar Raga tegas, kemudian mengambil alih kembali koper kecil Ara, lalu berjalan mendahului.
Melihat itu akhirnya Ara pun pasrah, ia percayakan semuanya pada pria brewok yang kini berjalan mendahuluinya, lepas siapa dia dan mengapa dia yang menjemput, mungkin bukan waktunya ia menanyakan hal itu mengingat matanya yang mulai ngantuk, dan tubuhnya yang mulai remuk?
"Heish, pegel kali lah" keluh Ara lirih namun masih bisa di dengar jelas oleh Raga.
Raga pun memutar tubuhnya, tatapannya jatuh pada Ara yang kini berjongkok cenderung lesehan tepat di perbatasan lantai bandara dengan aspal bandara, sontak membuatnya geleng-geleng kepala.
"Kamu tunggu disini, saya ambil mobil dulu" putus Raga kemudian meninggalkan Ara yang semakin mengerutkan dahinya bingung.
Kurang lebih lima belas menit berlalu, sebuah mobil hitam merk mahal berhenti tepat dihadapan Ara, sontak membuat Ara menarik kakinya dari aspal takut terlindas mobil. Eish, kalau saja ia punya tenaga lebih sekarang, ta omelin koe!
"Yuk, naik" Ujar Raga sambil mengangsurkan tangan kanannya pada Ara. Sedangkan Ara hanya melirik dan bersikap acuh.
Akhirnya dengan tumpuan pilar, Ara mencoba berdiri sendiri mengesampingkan rasa kaki ingin patah, demi sampai rumah lebih cepat tanpa debat, walau pada dasarnya ia ingin sekali marah pada laki-laki yang mulai lancang membuatnya baper.
"Makasih" ujar Ara singkat pada Raga yang sudah membukakannya pintu.
Saat pintu telah tertutup, kini matanya mulai bereaksi jelalatan, menyusuri tiap inci mobil om-om yang kini sedang memutari mobilnya. Rasa bangga karna mampu merasakan empuknya kursi penumpang mobil mahaĺ nampak diwajahnya, namun lagi-lagi gengsi mengalahkan, buru-buru ia merubah ekspresi kala Raga mulai memasuki mobilnya.
"Pakai seatbeltnya. Apa perlu saya yang pakaikan?" Ujar Raga yang seketika membuat Ara reflek menarik sabuk pengamannya dengan wajah bersemu merah.
Astaga ya ampun, gusti!
Eish, siapa sih pria ini?
Apa temen ayah?
Atau jangan-jangan...
Teriak Ara dalam hati.***

KAMU SEDANG MEMBACA
ARA'S WEDDING STORY
SpiritualPertemuan tak terduga ku alami bersamanya, aku yang kala itu tengah terburu-buru menjatuhkan buku agendaku tepat didepan kakinya. Kau tak perlu berangan lebih dengan kejadianku kala itu, tidak ada adegan romantis dua anak manusia yang mengambil buk...