Demi terselamatkan dari doa buruknya ibu, kurelakan beranjak dari kasur dan memilih nurut untuk turun kebawah, menemui temennya ibu yang datang untuk silaturahim. Padahal, kalau saja aku boleh jujur aku segan berada diantara para orang tua, bukan karna pemikiran antara orang tua dengan generasi Z berbeda sehingga sering muncul emosi, bukan juga karna pembicaraan yang membosankan, bahkan kalau aku bilang berbicara dengan orang tua itu penuh adrenalin dan kita juga akan lebih banyak tahu, entah cara bersikap yang baik, entah mengatur emosi kala kalah berargumen dan masih banyak lagi. Tapi, yang membuatku segan berada di lingkaran orang tua adalah karna satu alasan yang ku yakini, Asli pasti akan dipertanyakan, yaitu "Ara sudah punya pacar?"
Bagiku pertanyaan itu cukup sensitif untuk ku dengar, layaknya pertanyaan "sudah kerja dimana?"bagi mereka yang lagi berusaha mencari kerja, tentu pertanyaan itu cukup menyenggol hati, seolah mereka mengatakan kalau kita ngga ada usahanya, padahal tidak tau saja mereka kita jungkir balik demi bisa menjawab pertanyaan itu.
Lagian kenapa sih ketika kita masih kuliah pasti ada pertanyaan "kapan lulusnya?", lalu ketika kita sudah lulus pasti ditanya, "Kerja dimana sekarang?", lalu ketika kita sudah bekerja pasti ditanya, "udah punya pacar?", dan ketika sudah punya pacar pasti akan ditanya, "kapan sebar undangan?", dan tidakkah mereka sadar kalau pertanyaan-pertanyaan semacam itu amat cukup mengusik orang yang ditanya?
"Kaka, kok diem? Sini!"
Aku pun tersenyum malu ketika kepergok ibu, melamun. Berusaha bersikap biasa, aku berjalan mendekat.
"Hallo tante, Farasya" ujarku memperkenalkan diri kemudian mencium tangan tante Rumi dilanjut mencium tangan om Pria suaminya tante Rumi.
"Ini yang namanya Farasya?" Tanya tante Rumi tepat ketika aku sibuk menarik kursi untuk ku duduki.
"Iya tante," jawabku sopan.
Sepanjang kunjungan tante Rumi dengan om Pria disini, aku hanya bisa diem dan sesekali mengangguk tanpa suara, berusaha fokus dan mendengar dengan seksama pembicaraan orang tua yang tak jelas arahnya, padahal kalau boleh jujur aku sudah sangat mengantuk, akibat hanya tidur dua jam sore tadi.
Hingga sampailah pada pembicaraan yang kurasa makin serius dan mulai menyerempet ke hal...
"Besok Ara dirumah?" Tanya tante Rumi tiba-tiba, membuatku yang mulai setengah sadar gelagepan.
"Dalem tan?" Pintaku untuk di ulang pertanyaannya.
"Ngantuk ya?"ku dengar kekehan tipis tante Rumi dan om Pria bersamaan, membuatku malu semalu-malunya.
"Iya, tadi kenapa tan? Besok Ara dirumah atau ngga?" Tanyaku memastikan.
"He'em" balas tante Rumi sembari mengangguk halus.
"Besok Ara berangkat ke Kalimantan, dan baru pulang hari Jumat" jelasku, ku lihat wajah ibu yang nampak sendu setelah mendengar aku harus ke luar kota lagi, sedangkan Ayah lempeng selempeng-lempengnya.
"Yah, sayang banget. Padahal janjinya Raga mau ke sini besok menebus janjinya yang harusnya hari ini dateng." Jawab tante Rumi enteng.
Raga?
Hei! Tahu namanya saja baru hari ini, siapa dia? Apa jangan-jangan.."Oke begini," ujar ibu mengintrupsi. Kami pun menatap ibu penasaran tanpa terkecuali, sambil menunggu kalimat selanjutnya sedangkan ibu nampak bingung mengolah kata-kata.
"Kaka, seperti yang ibu bilang siang tadi. Kan ibu tanya, kaka bersedia ngga ta'aruf? Nah, tante Rumi dan om Pria ini adalah orang tua Mas Raga, yang insyaAllah akan dikenalin sama kaka. Dan, kenapa mas Raganya ngga kesini, bukan karna mas Raganya ngga mau tapi karna mas raganya lagi di luar kota." Jelas ibu yang seketika membuatku terdiam.
Jadi,
Beneran?
Terus, bagaimana dengan yang dibilang sama Tia? Apa mas Raga ini yang disukain Tia dan akan dijodohin sama aku?
Halah, kok rumit gini toh yo..yo.."Gimana Ara, Mau kenalan sama anak tante?" Tanya tante Rumi nampak bersemangat.
Ku lirik ayah yang nampak pasrah melihat anaknya di jodoh-jodohin, sedangkan ibu nampak tenang sambil menggoyang-goyangkan alis seolah tengah menggodaku.
Hei! Mengapa jawabannya lebih sulit dari pertanyaannya sih?"Kalau Ara," ujar ku terputus, lalu kulirik lagi Ayah seolah memohon pertolongan. Namun ayah hanya tersenyum lalu mengangguk ragu. Halah halah, baru ku tahu apa dilema itu, duh gusti! Ngga enak sumpah!
Satu sisi, aku bingung menghadapi ini karna ini yang pertama bagiku, satu sisi ada rasa ketertarikan mencoba hal baru yang berharapnya sih the first and the last sekaligus ingin tahu siapa sih mas Raga itu? Tapi di lain sisi aku ragu, bagaimana jika beliau ini adalah orang yang sama di ceritain Tia? Masa iya harus ada adegan rela -merelakan?
Apa aku tolak aja? Tapi takut kualat, gimana coba kalau aku tolak malah nanti aku susah dapet jodoh? Walah, ngga siap aku jadi perawan tua."Kak, kok bengong?" Ujar ibu sambil menyikutku halus.
"Eh, anu... kalau Ara sih, gimana Ayah aja. Karna, prinsip Ara kalau mas Raga bener-bener mau kenal Ara, monggo silahkan ketemu sama Ayah, biar Ayah yang menilai" jawabku ragu. Sedangkan Ayah menatapiu kaget, hoho maafkan aku Ayah, tapi itu sudah menjadi prinsip ku.
"Kenapa haru ayah yang menilai Ara? Kan yang ngejalanim Ara," Iya juga ya? Kenapa ya?
"Eee, karna Ara percaya Ayah. Lagi pula, ngga ada orang tua yang tega memberi pendapat buruk untuk anaknya kan tante? Jadi, Ara sangat percaya apa kata ayah. Ketika Ayah bilang ngga, berarti ayah sudah menilai ada yang kurang baik kalau dia bersama Ara, begitu juga sebaliknya. Bolehkan Ara begitu?" Tahyaku pada semuahya.
Kulihat tante arumin tersenyum sambil mengangguk. "Boleh sayang, lagi pula tante dulu juga seperti itu. Dengan begitu kita bisa tahu seberapa serius dia ke kita. Iya ngga?" Ujar tante Rumi yang membuatku sedikit lega sekaligus senang, akhirnya dipertemukan dengan calon mertua yang satu pemikiran. Ihi, malu masa bilang calon mertua.
"Oke, kalau gitu nanti biar tante yang ngomong sama mas Raga, ya pap?" Tanya tante Rumi pada om Pria.
"Oh, iya. Nanti kita ngomong sama mas Raganya, atau Ara sendiri yang mau ngomong?" Goda om Pria yang membuat ku tersipu malu.
Sekarang aku dapat menilai tante Rumi dan om Pria, menurutku mereka orang yang baik dan pengertian, dan itu cukup membuatku tenang dan sedikit menggoyahkan pemikiranku tentang mertua galak, moga tidak diawal saja ya?
"Hehe, ngga dulu deh om. Ara masih malu," ujarku tak sadar.
Astaga, baru ku sadar aku semenggelikan itu, bilangnya oemalu padahal malu-maluin. Lihat saja ibu yang kini menatapku geli, karna ibu tahu kalau ini bukan sepenuhnya aku yang aslinya amat sangat malu-maluin.
Akhirnya pembicaraan yang membuatku tak ngantuk lagi selesai, tepat pukul sembilan malam om Pria dan tante Rumi pulang, dengan sepeda motor metic yang terpakir depan rumah. Ku kira mereka menggunakan mobil, dan baru ku tahu ternyata rumah tante Rumi dan om Pria beda tiga blok dari rumahku.
Aih, apa lagu pacar lima langkah bakal terealisasikan dihidupku?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA'S WEDDING STORY
SpiritualPertemuan tak terduga ku alami bersamanya, aku yang kala itu tengah terburu-buru menjatuhkan buku agendaku tepat didepan kakinya. Kau tak perlu berangan lebih dengan kejadianku kala itu, tidak ada adegan romantis dua anak manusia yang mengambil buk...