21 April 2020
***
Dengan kecepatan melebihi rata-rata Raga membawa mobilnya menuju rumah sakit yang berjarak 10 km dari rumah Alfi, diiringi suara tangis Mimi dan Tia yang terus memanggil nama Alfi yang tak kunjung sadar. Jika saja ia boleh jujur, tangannya gemetar memegang stir seiring rasa panik yang ditularkan Tia dan Mimi. Tapi ia juga tak mungkin ikut panik, bagaimana pun ia harus tetap tenang sebab nyawa yang ada di jok penumpangnya tidak hanya satu yang harus ia jaga tapi masih ada tiga termasuk dirinya agar sampai rumah sakit dengan cepat.
Kurang lebih 5 menit waktu yang ia tempuh untuk sampai disini, sekarang ia tengah kesetanan mencari dokter di ruang IGD sedangkan Tia lebih mengambil langkah konkrit menarik brangkar di sudut lobby untuk membawa ayahnya dari mobil ke IGD. Melihat itu Raga malu, cepat-cepat ia lari membantu Tia yang kesusahan, lalu mendorong bersama sama menuju mobil. Tak lama dari situ datang satpam gendut lalu tanpa tedeng aling-aling membantu Raga mengangkat tubuh Alfi sedangkan Tia berusaha menahan brangkar agar tak bergerak. Walau pun jam hampir menunjukkan pukul sebelas malam namun selepas kedatangan mereka suasana rumah sakit yang sepi berubah tegang, ditambah Raga yang sempat kebakaran jenggot mengobrak-abrik suasana sepi di IGD.
Masih dengan tangan gemetar dan peluh yang mulai membanjiri seluruh wajah, Raga mendorong brangkar hingga masuk ke dalam IGD. Nampak dokter-dokter jaga mulai keluar dari tempat persembunyiannya sedangkan Raga mulai berdecih dalam hati, karna kesal disaat krusial tersebut ngga ada satu pun dokter stand by di meja dan membantunya, apalagi suster-suster jaga, jangan harap hadir bahkan saat ia teriak di IGD sekali pun.
Tatapan Raga kini beralih pada Mimi dan Tia yang merosot ke lantai sambil berpelukan di pojok sana, membuat dadanya terasa nyeri. Walaupun perkenalan antara dirinya dengan keluarga ini baru terjadi, namun Raga mulai membaca keeratan hubungan diantaranya, bahkan bayangan apabila ia berada dalam posisi seperti itu dan tak ada satu pun laki-laki saat kejadian, berusaha mengontrol emosi sambil membawa seseorang yang tengah sekarat bukan hal yang mudah untuk dilakukan dua orang perempuan, dan itu cukup membuatnya bersyukur masih ada di saat kejadian, sebab tak terbayang bagaimana selanjutnya Alfi yang hanya ditangani oleh dua wanita yang kini menangis dalam diam.
Berulang kali ia melihat suster bolak-balik sambil membawa beberapa alat kedalam bilik Alfi, dan Raga yakin sekali bukan hal biasa yang kini dialami Alfi jika dilihat dari alat-alat yang dibawa masuk. Tak lama dari arah pintu nampak seorang pria paruh baya berjas dokter masuk dan menampakkan senyum menenangkan padaku, dengan dibantu satu orang suster ia memakai sarung tangan latex usai mencuci bersih tangannya, kemudian berjalan masuk kedalam bilik dimana Alfi berada.
Hingga kurang lebih satu jam berlalu dokter paruh baya itu pun keluar bersama dokter muda lainnya dengan wajah sedikit lega. Mimi dan Tia pun bangkit dari duduknya lalu mempertanyakan keadaan suami dan ayahnya. Raga pun ikut nimbrung, ia biarkan Mimi dan Tia menduduki dua kursi dihadapan dokter paru baya tersebut.
"Beruntung pak Alfi dibawa cepat bu, sebab dari pemeriksaan kami pak Alfi mengalami serangan jantung. Dan kami akan terus mengobservasi lebih lanjut dengan keadaannya, besok pukul 7 kita lakukan pemeriksaan dalam ditakutkan komplikasi lain. Namun, untuk saat ini keadaan pak Alfi mulai stabil dan mudah-mudahan akan terus membaik ya" ujar dokter itu kemudian tersenyum menenangkan.
Baru setelah mendengar kabar baik itu Mimi dengan Tia bernafas lega, kemudian saling memeluk untuk saling menguatkan. Sedangkan Raga memilih keluar dan berinisiatif menyelesaikan administrasi agar Alfi dapat langsung di pindahkan ke ruang ICU menurut saran dokter paru baya itu.
Tepat pukul dua belas malam Alfi sudah dipindahkan ke ruang ICU dengan ditemani Mimi sedangkan Raga dan Tia menunggu di ruang tunggu.
"Makasih mas, Tia ngga tau kalau ngga ada mas Raga" ujar Tia lirih disela-sela keheningan ruang tunggu.
Raga yang baru saja ingin memejamkan mata kembali melek dan menatap Tia penuh, "Sama-sama Tia. Oh, kamu ngga kabarin kaka kamu?" Tanyanya.
"Tia ngga berani mas, Kak Ara sudah cukup terbebani akhir-akhir ini dan Tia ngga mau menambah beban pikirannya" ujar Tia yang semakin membuatnya iba.
"Tapi kak Ara perlu tahu Ti," timpal Raga yang diangguki Tia setuju.
Akhirnya Tia pun memilih menghubungi Ara tanpa kepikiran bagaimana cara menyampaikannya.
"Assalamu'alaikum, kak Ara dimana?" Tanya Tia lirih.
"Wa'alaikumsalam. Kenapa? Ada apa?" Barulah Tia gelagepan kala kakanya tahu ketidak biasaannya menelphone hanya untuk menanyakan kabar atau menanyakan sedang apa.
Diliriknya Raga yang kini menatapnya bingung pula, "Tia mau minta transfer uang boleh? Tia mau bayar kuliah," pinta Tia asal.
"Bayar kuliah? Berapa?" Tanya Ara diujung sana.
"Err... dua juta, boleh?" Ujar Tia sambil menggigit bibir bawahnya.
"Yaudah, nanti kaka kirim ya. Awas saja kalau buat belanja online, kaka ngga iklas ya!" Tia pun tersenyum, kaka bawelnya masih ada dan ngga akan sanggup ia membuat kakanya kepikiran di daerah orang.
"Iya," ujar Tia singkat. Diputusnya saluran telphone saat tak lagi sanggup menahan tangis saat berbicara dengan kakanya.
"Tia ngga bisa mas, ngga tega rasanya harus menambah pikiran kak Ara." Jujur Tia pada Raga.
Raga pun mengangguk paham, sambil tersenyum menenangkan. "Kita cari cara lain ya?" Ujar Raga menyarankan.
Tak lama, dua orang dewasa datang dengan tergopoh-gopoh memghampiri mereka, mereka Pria dan Rumi. Raga pun bangkit dari duduknya lalu menyalami mama dan papanya begitu juga dengan Tia.
"Yang sabar ya sayang, gimana keadaannya mas?" Tanya Rumi pada Raga sambil memeluk hangat Tia yang kembali menangis.
"Sekarang sudah stabil ma, besok mau diperiksa bagian dalam tubuhnya takut ada komplikasi. Dan kemungkinan akan dilakukan oprasi kalau terjadi kebocoran" jelas Raga.
Astaghfirullah
Ujar Rumi dan Pria bersamaan."Ibu kamu dimana nak?" Tanya Rumi pada Tia. Dilepasnya sejenak dekapan, lalu ditatapnya sayang Tia yang masih nampak syok.
"Ada di dalem tante, nemenin ayah" jawab Tia dengan suara serak. Dielusnya sayang kepala Tia lalu dipeluknya lagi gadis 19 tahun itu.
"Mama sama Papa mau ke dalem? Pakai ID raga aja." Ujar Raga sambil menyerahkan ID pendamping pasien pada sang Mama.
"Tante masuk dulu ya," pamit Rumi kemudian berjalan masuk ke dalam.
Dari kaca penghubung yang terlihat dari ruang tunggu, Rumi tampak memeluk erat sahabatnya mencoba untuk menguatkan. Bahkan Mimi yang mulai tenang kembali menangis dalam pelukan Rumi, sambil menatap sedih tubuh sang suami yang sudah terpasang banyak alat.
Tia yang melihat itu hanya bisa diam, baginya kejadian jatuhnya sang Ayah begitu cepat terjadi, bahkan ia seolah tak diberi kesempatan untuk bepikir saat kejadian tadi. Dalam hatinya terus berbicara, memohon dan meminta kesembuhan untuk laki-laki yahg ia cinta.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/217276095-288-k579637.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA'S WEDDING STORY
SpiritualPertemuan tak terduga ku alami bersamanya, aku yang kala itu tengah terburu-buru menjatuhkan buku agendaku tepat didepan kakinya. Kau tak perlu berangan lebih dengan kejadianku kala itu, tidak ada adegan romantis dua anak manusia yang mengambil buk...