ARA'S WEDDING STORY

612 38 0
                                    

21 April 2020

***

Malam ini dirasa cukup baginya memahami dan mengetahui banyak hal tentang calon wanitanya, melalui mulut ringan pria paru baya yang kini berjalan bersisian dengannya. Dimulai dari kebiasaan tidur sore, hingga suka marah-marah ngga jelas hanya karna barang dikamarnya bergeser dari tempatnya. Hal-hal itu cukup menarik baginya, apa lagi saat tahu calon wanitanya ini adalah gadis yang tidak terlalu kecewe-cewean alias tomboy. Tomboy tapi rapih begitu kesimpulan Raga akan calon gadisnya.

"Tapi, ada satu hal yang perlu nak Raga tahu" ujar pria paruh baya itu sambil mendudukan dirinya di kursi tamu. Dilepasnya peci hitam yang ia gunakan pada nakas disampingnya. Dipejamkan mata kriputnya sejenak tuk menghalau rasa sesak yang sedari tadi ia rasakan.

"Apa itu om?" Tanya Raga penasaran. Ditatapnya pria itu dengan seksama, wajahnya yang tak lagi muda namun tetap terlihat segar di usianya yang sudah menginjak enam puluh tahun.

"Ara menyukai pria yang suka ke masjid, walau dasarnya anaknya serampangan dan suka berontak, Ara adalah anak om yang taat." Jawab pria paru baya itu sambil menatap tajam pria yang kini menatapnya mantap. Sungguh pria yang ia tunggu-tunggu dan dirasa tepat untuk ia serahkan putri kesayangannya.

"Tapi, Raga tidak se-soleh itu om. Kalau saja Raga boleh jujur, solat berjamaah bareng om tadi saja solat berjamaah pertama Raga setelah dua tahun ngga berpendidikan lagi." Balas Raga malu-malu.

Namun hal itu tak membuat pria paru baya itu mengurangi rasa keyakinannya pada pemuda yang kini duduk sambil menunduk itu, keberaniannya untuk jujur membuat ia semakin yakin pada pilihannya.

"Ndak masalah kalau kamu mau berusaha semakin baik bukan? Anggap saja ini pelajaran pertamamu kalau mau menjadi menantu om" Balas pria paruh baya itu santai.

Menantu?
Raga tersenyum kala mendengar kata itu, ia tak menyangka disambut baik oleh keluarga calon wanitanya. Pikirannya akan calon mertua yang rumit, banyak aturan dan kaku tak ia dapat disini. Bahkan sebaliknya, ia sangat bersyukur jika ia dijadikan menantu dikeluarga ini.

"Mohon bimbingannya om, In Sya Allah akan Raga praktikan apa yang om katakan" jawab Raga penuh keyakinan.

"Oalah sudah pulang toh? Ngga ucap salam nih ayah" ujar seorang wanita dari balik tirai pemisah, tiba-tiba. Senyumnya mengembang kala suami dan calon menantunya tiba. Tak lupa ia mencium tangan suaminya khidmat, dirasakannya hangat tubuh berbeda disana. Namun ia anggap itu hal biasa, sebab pria kecintaannya ini kerap kali berubah suhu tubuh hingga suhu paling ekstrim sekali pun, dan syukurnya baik-baik saja.

Kini tatapannya beralih pada pemuda yang kini menatap mereka kagum, dibalasnya dengan senyum keibuan yang hangat.

"Yuk makan nak Raga, cobain masakan tante." Ujar wanita itu lagi lembut.

"Mari nak Raga, kita makan malam dulu. Biar sampai rumah ganti baju terus tidur" timpa pria paruh baya itu.

"Raga jadi ngerepotin nih om," ujar Raga malu-malu. Niat hati ingin langsung pulang, namun ia urungkan kala mama calon wanitanya keluar dan menawarkan makan malam, ditambah papa calon wanitanya menimpali membuatnya semakin tak enak kalau lebih memilih pamit undur diri.

Lagi pula, bukankah rezeki tak boleh di tolak? Akhirnya Raga pun mengekor mengikuti calon mertuanya menuju ruang makan, diperhatikannya dengan seksama gaya rumah minimalis dan homey itu. Terpajang foto-foto masa kecil yang ia yakini itu Ara dan adiknya diatas meja juga dinding, tak lama dari sana seorang gadis berwajah mungil turun lalu menangkup kedua tangannya didepan dada padanya.

"Ini adiknya Ara, namanya Tia" ujar tante Mimi lebih dulu. Raga pun mengangguk lalu tersenyum sambil melakukan hal yang sama dengan Tia.

"Tia kuliah?" Tanya Raga basa-basi. Kala mereka sama sama sudah duduk di kursi makan.  Ditatapnya adik calon wanitanya yang imut, tengah menyendok nasi ke atas piringnya.

"Iya, jurusan kecantikan. Kalau mas Raga?" Balas Tia penasaran. Mata bulatnya menatap penuh pria yang akan dijodohkan dengan kakanya, sedangkan pria itu tengah sibuk menyendok nasi ke piringnya.

Hmm, lumayan
Ujar Tia dalam hati

"Kerja," jawab Raga singkat, jawaban amat singkat itu cukup membuat Tia menganga. Disaat ia jawab panjang, calon kaka iparnya malah jawab seemprit.

Namun bukan ranah Tia memang menyanyakan lebih lanjut soal apa pekerjaannya, dimana kerjanya dan bagaimana kerjanya karna baginya itu lebih cocok ditanya langsung oleh kakanya. At least, Tia menilai calon kaka iparnya ini cocok untuk kakanya yang bawel minta ampun.

Akhirnya tepat pukul setengah sepuluh malam Raga berniat dan bersiap pamit undur diri selepas sesi makan malam dan bonus cerita konyol masa kecil Ara dari sumber adiknya. Dan itu cukup menambah pengetahuannya akan wanita yang kini tengah dijodohkan dengannya.

"Kalau begitu Raga izin pamit ya om, tante dan Tia. In Sya Allah selepas Ara pulang, Raga akan kemari bertemu langsung dengannya." Ujar Raga berpamitan. Ditatapnya bergantian om, tante dan Tia  seolah meminta izin.

"Padahal Tia belum puas ceritanya. Tapi mas Raga tenang aja, stok cerita konyol kak Ara masih lengkap, kalau mau bilang Tia akan Tia ceritakan semuanya nanti" ujar Tia penuh kemenangan. Ia sangat puas dan paling puas kalau menceritakan kebusukan dan kekonyolan kakanya. Prinsipnya, membuat kaka nya malu adalah kepuasan yang hakiki.

"Siap, next time ceritain lagi ya? Kalau begitu Raga pamit" ujar Ragi sambil beranjak dari kursi makan, lalu berjalan mendekati Alfi dan Mimi yang duduk di sebrangnya.

Di cium tangan Alfi dan Mimi bergantian,
"Hati hati ya nak, sampaikan salam kami untuk mama papa mu" ujar tante Ami lembut.

Kemudian Raga beralih pada Alfi yang nampak meringis dalam diam, dan di luar dugaan Raga dipeluk erat oleh Alfi dan ditepuk punggungnya sayang. "Om titipkan kepercayaan om sama kamu" begitu kira-kira ucapan Alfi disela pelukannya.

Raga pun mengangguk kemudian mencium tangan pria paru baya itu khidmat hingga terasa hangat tubuhnya menempel di dahinya.

"Raga pamit, Assalamu'alaikum.." ujar Raga kemudian berlalu pergi dengan diikuti Mimi dan Tia, sedangkan Alfi masih duduk dan berusaha untuk berdiri.

Namun,
Langkah Raga terhenti kala suara orang jatuh dan teriakan Mimi dan Tia bersamaan.
Raga berbalik, dan dilihatnya dengan jelas Mimi yang tengah memangku suaminya sedangkan Tia mulai tampak khawatir dan berkaca-kaca.

Dengan cepat ia kembali lalu dibantu dengan Tia ia mengangkat tubuh Alfi dan  membawanya ke mobil yang terpakir didepan rumah.

Sedangkan Mimi hanya bisa menangis sambil mengunci pintu rumah dengan tangannya yang gemetar.
Kini Raga semakin paham, maksud kalimat yang Alfi katakan tadi,
Akankah ia sanggup?

***






ARA'S WEDDING STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang