18/07/20
Hai gais, Ara dan Raga kembali..
Enjoy ya,
***
Malam ini adalah malam terakhir tujuh hari tahlilan ayah. Namun, dari hari kehari tetangga yang turut hadir sama sekali tak berkurang bahkan semakin bertambah. Aku bersyukur akan hal itu, sebab itu artinya ayah dikenang baik oleh banyak orang.
Aku jadi teringat dengan pesan ayah dulu, saat aku kerap kali mencari masalah dengan anak tetangga, ayah selalu bilang bahwa orang besar bukan dia yang memiliki tubuh besar, memiliki segalanya, atau menguasai segalanya, tetapi dialah orang yang akan selalu dikenang walau dia sudah tiada. Dulu sempat aku tak percaya, mana ada orang yang tidak bermodalkan apa-apa dapat lebih dikenang dibanding orang yang berharta banyak. Namun, sekarang aku percaya, sebab ayah bukanlah orang kaya, ayah hanyalah orang sederhana yang selalu membantu sebisanya.
"Sudah malam de, ngga masuk?" aku terperenjat sejenak. Ku elus dadaku pelan sambil melirik mas Raga yang kini memilih duduk disampingku. Haduh-haduh, kaget beneran loh aku nih.
"Kenapa liatnya begitu?" tanyanya bingung. Sedangkan aku masih menamapakkan ekspresi mematikan.
"Ngga bisa ya salam dulu atau apa gitu? Aku kaget beneran loh ini" Protesku. Walau ini bukan kesalahannya seratus persen namun tetap saja, jantungku hampir copot karna dia ngomong tanpa intermezo.
Dia pun tersenyum,
"Maaf...maaf ya, janji ngga lagi. Lagi pula kamu ngapain melamun sendirian disini, sawan baru tahu rasa kamu" ujarnya santai sambil menarikku ke dalam pelukannya. Ahai! Masih gue pantau shay.
Lama kami terdiam, dengan aku yang masih betah meresapi debar jantung yang kurasa semakin menggebu. Oh ya Allah gusti, bolehkan ku bilang ini jatuh cinta? Aku jatuh cinta pada suamiku sendiri, dan ini asyik sekali asli.
"Ade hari ini banyak diam, ada apa?" tanyanya tiba-tiba. ku dongakkan kepalaku untuk menatapnya, begitu juga dengannya yang kini menunduk menatapku. Kebayang dong, seberapa dekat wajah kami?
"Ngga papa, mau jadi cewe pendiam aja." Jawabku asal.
"Padahal mas suka cewe yang ceriwis loh," godanya. Aku pun menunduk, menutupi wajahku yang ku yakin sudah memerah.
"Mas, ade minta maaf untuk kejadian tadi siang. Pasti mas kaget ya?" ujarku akhirnya, sembari mengingat kejadian heboh yang membuat tetangga satu gang rumahku keluar.
Pagi-pagi sekali untuk pertama kalinya aku dan ibu pergi ke tukang sayur yang selalu mangkal di depan gang, setelah sekian lama kami lebih memilih di rumah dan menghabiskan berbagai macam makanan sisa tahlilan yang tak kunjung berkurang.
Awalnya masih berjalan mulus, kami disapa oleh beberapa ibu yang lebih dulu mengerubungi grobak sayur si mamang. Ibu juga sedikit bercerita bagaimana kronologi kejadian meninggalnya ayah ke beberapa ibu-ibu saat seorang ibu bertanya. Intinya pada saat itu masih aman terkendali.
Lama kami bercengkrama disana hingga datang seorang ibu yang dari dulu sudah menjadi musuh bubuyutan keluarga kami. Kami sih sama sekali tak menganggapnya musuh awalnya, namun karna kelakuakn keluarga ini membuat keluargaku jengkel akhirnya kami memutuskan mengibarkan bendera perang pada mereka.
Ku beri satu contoh kejadian yang terjadi saat aku masih SMA. Ku akui dulu aku sangat tomboi, mainnya sama laki dan orangnya ngga mau kalah, tapi itu wajar kan? Namanya juga sedang mencari jati diri, nakal sedikit mah wajar. Tapi, anaknya tante Nuning ini yang namanya Rama selalu mengejekku dan mengatakan kalau aku les**. Awal-awal masih ku pantau dia, tapi lama kelamaan rumor kotor itu mulai berimbas pada lingkungan pertemananku sampai ke lingkungan tetanggaku, sehingga banyak anak cewe yang takut bermain denganku padahal aku masih normal dan demen laki. Akirnya karna ngga terima ku ajak dia gelut di lapangan deket rumah, dengan sisten one man. Tapi karna pada dasarnya dia anak mamih, sistem ini tak jadi digunakan sebab tak lama tante Nuning datang sambil membawa tetangga satu gang untuk melihat kelakuan liarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA'S WEDDING STORY
SpiritualPertemuan tak terduga ku alami bersamanya, aku yang kala itu tengah terburu-buru menjatuhkan buku agendaku tepat didepan kakinya. Kau tak perlu berangan lebih dengan kejadianku kala itu, tidak ada adegan romantis dua anak manusia yang mengambil buk...