ARA'S WEDDING STORY

680 46 1
                                    

23 Juni 2020

Tak ada satu pun yang menginginkan menikah setelah duka, termasuk aku...

***

Pagi ini rumah benar-benar terasa sangat sepi, apalagi setelah semua keluarga pulang subuh tadi dan hanya menyisakan Aku, Ibu, Ara dan Mas Raga yang masih setia dalam kamar.

"Loh bu, Ara kira ibu masih di kamar" ujarku saat melihat ibu sibuk mengobrak-abrik dapur.

Ibu berbalik sambil tersenyum lebar walau wajahnya yang sayu masih nampak disana. "Pegel kalau bobo mulu. Lagi pula, Ayah ngga suka kalau kita leyeh-leyeh ba'da Subuh kan?" Ujar Ibu nampak sedih. Matanya mengisyaratkan memori bersama Ayah, yang selalu ada cara membuat kami keluar kamar lepas Subuh.

Entah itu dengan cara memeluk kami yang mulai bersiap narik selimut hingga kami kabur terbirit-birit saat ayah mulai mengeluarkan jurus nyium atau sekedar menyalakan musik lagu ambyar dengan volume yang ngga kira-kira membuat kami berteriak heboh tak suka.

Ku peluk tubuhnya yang mulai kurus, menyalurkan sedikit kekuatan yang ku miliki.  Kurasakan tanganku yang melingkar di lehernya di tepuk halus, ku urai pelukanku lalu ku tatap ibu yang kini menatapku sayang.

"Ibu sudah ngga papa kak, semalam Ayah datang. Dia bilang Ayah sudah tenang, dan jangan bersedih lagi. Itu cukup membuat ibu senang dan tenang sekarang. Walau tadi sempet mewek, sekarang udah ngga kok. Kaya kaka bilang semalam, harus coba ikhlas. Kita ikhlas bareng-bareng ya?" Aku mengangguk lalu tersenyum.

"Mas Raga ngga jadi pulang ya? Ngga jadi kerja kak?" Tanpa suara aku menggeleng sambil mengekori ibu yang kini mulai sibuk memasukkan beberapa kotak kue ke dalam kulkas.

"Ih, ngapain ngekor sih? Sempit nih jalannya" protes ibu yang membuatku tersenyum semakin lebar. Setidaknya dengan begini aku sedikit lebih tenang, karna ibu sudah mulai protes atau ngomel seperti dulu.

"Semalam mas Raga telpon atasannya, minta izin beberapa hari. Awalnya ngga di Acc tapi setelah tahu alasannya baru deh dibolehin." Jelasku sambil menuang air mendidih ke dalam teko teh yang sudah ibu siapkan.

Kusiapkan empat cangkir lalu ku isi dengan gula sachet rendah kalori ke masing-masing cangkir.

"Kak, nanti tolong ibu untuk ke toko sembako biasa ya? Beli barang-barang yang sudah ibu catet di meja kerja ayah. Nanti malam kan ada pengajian disini," ujar Ibu padaku. Aku pun mengangguk paham, sambil mengacungkan jempol tanda Ok.

"Pagi bu, maaf kesiangan" ujar, siapa lagi kalau bukan Mas Raga. Horor sekali kalau ada suara cowo disini saat ayah sudah ngga ada.

"Ngga papa mas, ibu ngerti kok. Yaudah, ibu tinggal dulu ya? Ibu mau mandi, dimakan sarapannya mas" ujar ibu lalu pamit undur diri. Tatapanku pun mengikutinya hingga punggung rapuhnya menghilang dibalik pintu kamar.

"Ini mas, kalau kurang manis biar Ara tambahin" ujarku sambil menyodorkan gelas cangkir pada mas Raga yang masih menatapku penuh selidik. Mungkin dia menyadari perubahan raut wajahku, selepas ibu menghilang.

"Ibu masih sedih dek?" Aku mengerutkan dahi. Apa yang dia bilang tadi? 'Dek'? Alamak, kok geli gitu sih perutku dengernya? Bahkan cenderung merinding disko say!

"Mas panggil apa?" Tanyaku sok bego. Ya Allah maafin deh, tapi entah kenapa aku merasa gelenyar seneng dipanggil itu. Setelah 25 tahun di panggil kaka, akhirnya ada pula yang memanggilku Adek. Dan itu suamiku sendiri! Ahay, kok jadi malu-malu gini sih?

ARA'S WEDDING STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang