ARA'S WEDDING STORY

714 38 0
                                    

Peristiwa semalam masih melekat erat di pikiranku, ada nama mas Raga, tante Rumi, om Pria yang membuatku semakin penasaran, siapa sih mereka? Bagaimana kenal sama ibu, bagaimana bisa sedekat itu? Dan penasaran juga dengan sosok mas Raga, seperti apa dia? Ganteng? Putih atau ngga? Ah, pokoknya pertanyaan-pertanyaan wajar untuk aku yang baru mau kenal serius sama cowo.

Dan pagi ini, berbekal istirahat hanya tiga jam karna tiba-tiba selepas tante Rumi pulang, Mala WA minta dikirimin data perusahaan dan minta dijelasin sejelas-jelasnya dari pukul setengah sepuluh malam sampai set satu pagi.
Emang bener-bener tuh orang, kadang usefull banget orangnya tapi kadang bikin gondok karna minta tolong diwaktu yang ngga semestinya.  Untung sayang, kalau ngga? Wah abis aku nyap-nyapin.

"Tumben kak ngga bobo dulu, baru tidur setengah satu kan? Biasanya nih kaka tuh habis packing bobo lagi, abis itu marah-marah karna telat" Sindir Tia minta disabet sapu lidi.

"Ngga usah jadi juri deh, emangnya kamu udah belajar buat hari ini? Bukannya semalem pacaran ya, kaka denger tuh kamu pacaran" ujarku asal yang seketika membuat ayah tersedak kopinya. Alamak, kualat kau Ara!

"Ade bener? Semalem ade bilang ngga pujya pacar tapi lagi pakai "pacar", tapi kata kaka ade abis pacaran, betul begitu?" Tanya Ayah dingin. Hayoloh, serem ini kalau Ayah udah begitu.

Ku lirik Tia yang kini menatapku sengit  wohoo, aku ngga takut!
"Ih kaka dipercaya, kan Ayah liat sendiri ade pake "pacar" bukan pacaran Ayah," ujar Tia membela diri. Sedangkan Ayah tamoak acuh sambil mengacungkan tangannya ke atas tanda Tia dilarang beragumen.

Sumpah, mau ngakak liat muka Tia yang pias. Siapa suruh nyindir orang tua, ye kan?

"Ayah ngga tahu apa yang ade lakuin semalam, tapi ayah mohon ade jangan pacaran dulu ya? Sekolah dulu, jadi MUA hebat seperti yang ade mau. Bisa pegang janji?" See? Bagaimana aku ngga makin jatuh cinta pada pria berkepala botak itu ya Tuhan! Marah pun ia ngga berani sama anak-anaknya Aku mohon deh ya Allah kalau masih ada laki-laki seperti ayahku ini tolong kirimin padaku segera tanpa ditunda-tunda, bisakah?

"Hua, masa Tia mau nangis!" Ujar Tia histeris. Aku yang semula tengah sibuk mengoles roti dengan nutella, seketika menegakkan kepala melihat Tia yang udah mewek dalam pelukan Ayah.

Dan aku masih terpaku ditempat, ketika Ayah dehgan sabar memeluk balik Tia sambil mengelus punggungnya sayang, Alamak! Aku pengen nangis juga ya Allah! Gimana nanti kalau aku menikah? Masih bisa kah aku memeluk Ayah macam Tia?

"Ikutan," ujarku parau lalu menubruk setengah tubuh Ayah yang tak terjamah Tia.

Sumpah demi apa pun, kelemahanku kalau kata ibu ngga ada. Hampir semua binatang aku berani, ngadepin atasan galak apalagi, belum lagi dinyinyirin temen kantor karna pernah deket sama gebetan doi aku pun ngga pernah nangis, tapi satu kelemahanku. Ketika Ayah mulai bilang, " suatu hari nanti kalau kaka udah menikah..." wah dijamin setelahnya mewek berjam-jam diketek Ayah.

Itulah kenapa kadang ibu bilang padaku kalau aku itu wonder women yang cengeng dan manja hanya sama Ayahnya. Hampir semua bisa ku lakukan sendiri, beres-beres rumah, masak kadang gulat sama Tia pun berakhir beres ditanganku, tapi ujung-ujungnya pasti akan berbalik pada Ayah ketika aku sudah di titik jatuh sejatuh-jatuhnya.

"Ah, kenapa sih? Kaka mau berangkat malah nangis-nangisan." Protesku sambil mengusap ingus dengan lengan 0kemeja yang ku kenakan. Hei, jorok sekali bukan?

"Ih kaka jorok, ganti baju!" Omel ibu setelah tahu aku mengelap ingus dengan kemeja.

Dengan nurut aku beranjak dari pelukan Ayah, berjalan lesu menuju kamar. Itu, yang namanya kata perjodohan, takut, ragu, berkeliling di kepala, membuatku pening seketika. Apalagi hari ini aku melihat Ayah sama Ibu yang terlihat makin tua, belum lagi Ayah yang masih nampak ngga rela aku dewasa, seketika membuatku ragu. Satu sisi aku ingin sekali menikah, hidup bahagia lalu punya anak lima, tapi ngga bisa ku tutupi aku masih ingin menjadi balitanya Ayah, yang kadang merengek minta ini itu, ya kadang ngadu karna Tia mulai bertingkah, ah pokoknya ingin selalu di rumah ini.

Dan ngga kebayang, suatu hari nanti aku pergi dari rumah ini, ikut diboyong suami. Ah, masihkan aku bisa disini lebih lama?

***

Lepas mengganti baju, kini aku kembali bergabung di meja makan masih dengan Tia yang nemplok manja dipelukan Ayah, yang membuatku iri seketika.

"Minggir bocah, Ayah mau sarapan itu" Ujarku sambil mengurai pelukan Ayah dengan Tia, anggaplah ini bentuk posesifku pada Ayah.

"Ish apaan sih? Ayah!" Ngadu Tia manja, membuatku memutar bola mata kesal.

"Ayo udah, biarin ade begini. Kaka sarapan, nanti telat lagi kaya kemarin" Haduh-haduh, lemah aku nih kalau begini. Udah mana tadi mewek ya kan? Sekarang diperhatiin begitu mana ada yang ngga mau mewek lagi?

"Kaka berapa lama di Kalimantan?" Tanya Ayah yang seketika membuatku bingung. Bukankah Ayah tahu dan mendengar langsung kalau aku di Kalimantan 3 hari, dan baru pulang Jumat. Bahkan tadi saat Ayah pulang dari masjid, Ayah nanya langsung ke kamar dengan pertanyaan yang sama.

"Tiga Ayah, kan ayah udah nanya tadi Subuh" Ku lihat ayah menggaruk kepalanya yang ku yakin tak gatal, nampak sekali kikuknya.

"Oh iya yah, ayo sekarang sarapan. Nanti telat" suruh Ayah yang masih membuatku bingung, sebab tak biasanya Ayah lupa akan hal-hal kecil seperti itu.

Berusaha lupa tak tak bisa itu yang kini kurasakan. Berusaha keras aku menganggap biasa keanehan Ayah hari ini, dia yang biasanya hanya memelukku kini memintaku untuk menciumnya full seluruh wajah. Ngga sampai disitu, dia yang biasanya melepasku keluar kota biasa-biasa saja tapi sekarang nampak tak rela, macam anaknya ingin pergi jauh.

Positif thinkingnya, mungkin Ayah khawatir melepasku pergi disaat orang-orang merumahkan diri demi terlindung dari covid-19 apalagi isu isolasi wilayah mulai santer terdengar, hingga ayah takut anaknya ngga bisa balik tepat pada waktunya. Tapi, tetap saja aneh iya ngga sih? Karna menurutku sikap Ayah sedikit berlebih,

"Ayah, udahlah. Aku berangkat ya?" Tanyaku masih dalam pelukan Ayah, entah sudah pelukan keberapa kali ini.

"Iya, jaga diri baik-baik. Jangan nakal, harus sopan. Inget?" Ku anggukan kepalaku dalam tangkupan tangan besar Ayah.

Tak lama, mobil jezz yang sama dengan tempo hari yang lalu muncul dan berhenti tepat didepan rumahku. Dan benar saja, Mas Dewa muncul dari kursi kemudi, lalu keluar mobil dan mencium tangan Ayah sopan. Loh?

"Apa kabar Dewa? Sehat?" Tanya Ayah makin membuatku bingung.

"Sehat Alhamdulillah om, izin anter mba Ara ke bandara om."

"Silahkan, jangan sampe lecet ya?" Canda Ayah yang disambut kekehan rengah mas Dewa.

Hmmm, makin penasaran sejak kapan Ayah dengan mas Dewa kenal? Mana akrab banget kan?

****

ARA'S WEDDING STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang