ARA'S WEDDING STORY

855 43 0
                                    

Sudah hampir dua jam hujan mengguyur Bandara Ngurah Rai Bali, dan selama itu pula guntur menyambar tak henti. Pukul tujuh malam adalah jadwal seharusnya ia kembali ke Jakarta, mengantar sekitar 103 penumpang yang ingin segera pulang, namun dengan terpaksa harus tertunda sebab keadaan cuaca yang tak kunjung aman. Ah, kalau seperti ini terpaksa ia membatalkan janji. Janji yang sudah ia rancang dengan sang Mama yang sedari tadi bertanya, "sudah sampai mana?"

Entah bagaimana reaksi sang Mama disana, saat pesan pengharapan akan pengertian ia kirimkan, sedang ia tahu ini adalah hari yang amat ditunggu olehnya.

"Maaf ma, Nura mangkir lagi dari janji kita" ujarnya lesu sambil menatap langit yang tak kunjung cerah.

***

Masih dengan Tia yang menatap bingung kakanya, yang seketika diam seribu bahasa. Bahkan dua kuku jarinya belum terjamah "pacar" sedangkan si "pacar" sudah dibungkus rapih sang Kaka. Belum lagi ketika kakanya menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.

"Lah, lah... kan beloman ini kak" protes Tia akhirnya.

Ara pun membuka selimut sambil menatap sengit adiknya, entah mengapa obrolan terakhir tadi cukup menyenggol hatinya, hingga muncul rasa tak suka terselip dalam hati. Hei! Mengapa dia bègitu pencemburu?

"Besok kaka harus berangkat, takut telat. Jadi, kamu balik deh ke kamar, nih! Kan kurang dua, pasang sendiri ya?" Ujar Ara sambil menyerahkan "pacar" pada adiknya, lalu menarik selimut lagi hingga menutupi seluruh tubuhnya.

"Ish, nyebelin!" Protes Tia kemudian pergi meninggalkan kamar sang kaka diakhiri dengan menutup pintunya dengan keras.

"ADIK BODOH!" Teriak Ara tak suka.

Sedangkan Alfi yang sedang sibuk membolak balik Al-qur'an menatap bingung anak bungsunya keluar dari kamar kakanya dengan wajah kesal ditambah menutup pintu dengan kasar, bahkan tak lama dari sana ia dengar si Kaka berteriak keras hingga membuatnya mengelus dada. Kok ada wanita sebar-bar itu? Yang satu tenaganya kuat banget, yang satu mulutnya ngga terkontrol, hadeuh.

"Berantem lagi?" Tanya Mimi pada sang suami. Di tinggalnya bolu yang sebentar lagi matang, setelah mendengar pintu yang ditutup kasar.

"Ya biasalah bu, adeknya ngeselin kakanya ngga mau kalah ngeselin" ucap Alfi santai. Dibaliknya lagi lembar Al-quran dalam pangkuan, ditulisnya bagian penting dalam buku notes pemberian Ara di waktu ulang tahunnya.

Kejadian ribut antara Ara dengan Tia sudah menjadi makanannya sehari-hari untuknya, sehingga ia cukup maklum dan menganggapnya biasa. Wong anak kembar saja masih bisa ribut kan? Bagaimana saudara yang usianya beda tiga tahun?

"Samperin dulu deh Ayah, sama pastiin si kaka agar jangan dulu tidur. Soalnya mau ada tamu" pinta Mimi pada Alfi.

"Temenmu jadi kesini? Ayah kira ngga jadi," tanya Alfi sembari menatap sang istri.

"Jadi dong, ayo buru! Liatin anaknya, sama liatin ade. Besok dia ujian, nanti bukannya belajar malah pacaran lagi." Jelas Mimi yang seketika membuat Alfi tegang ditempat.

Ketakutan yang selama ini ia hindari terjadi juga, putri kecilnya mulai didekati laki-laki lain selain dirinya. Tak bisa ia tampik, rasa tak suka itu menyelinap dihatinya, sikap posesifnya menguar begitu saja kala mendengar kata pacar.

"ADE! KATA IBU ADE PUNYA PACAR?" Ujar Alfi sambil berjalan menaiki tangga, sedangkan Mimi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat posesifnya Alfi pada kedua putrinya.

"Dasar posesif" ucap Mimi lirih.

***

Sedang dilain tempat, sebuah ucapan syukur keluar dari mulutnya saat hujan yang semula deras mengguyur seluruh Bali, kini berangsur membaik tinggal menyisakan rintik-rintik hujan yang mungkin sebentar lagi akan berhenti.

"Rindu pacar rupanya," sindir seseorang dibelakang sana.

Nura pun berbalik, ditatapnya captain Ilman yang berjalan mendekat dengan senyum jail ketara disana. Nura hanya bisa tersenyum canggung, ketika seniornya dengan santai bilang kalau ia sedang mala rindu dengan pacar. Hei! Gebetan saja ia tak punya, apalagi pacar?

"Mungkin Captain yang rindu istri?" balas Nura yang seketika membuat Ilman tertawa malu.

"Segera deh Ra, jangan ditunda-tunda. Dan kamu akan merasakan rasanya menjadi saya" ujar Ilman sambil menatap lurus kedepan, seolah menerawang membayangkan apa yang dilakukan istrinya di Jakarta.

Dan lagi-lagi Nura belajar, ternyata resiko seorang penerbang tidak hanya harus sabar menghadapi cuaca, namun ada mala rindu yang kerap kali datang bersamaan.
Walau rasanya berbeda dengan rindu yang dirasakan capatain Ilman, namun Nura sadar itu. Sesekali ia mala rindu dengan Sang Mama di rumah, entah rindu ocehannya, rindu galaknya hingga rindu masakannya yang sama sekali tak sama dengan ketering khusus crew pesawat.

"Memangnya gimana Capt, rasanya rindu istri?" Tanya Nura polos. Sedangkan Ilman hanya bisa tertawa, sembari membayangkan bagaiman nikmatnya WFH dirumah bersama istri, menuruti pemerintah berdiam diri walau kenyataannya, Istilah WFH saja tak ada dalam pekerjaannya yang mengharuskan kesana kemari.

"Kalau pun saya jelasin ke kamu bagaimana rasanya mala rindu ke istri kamu juga ngga akan ngerti juga Ra. Makanya, cepet-cepet deh lamar gadis itu."

Lamar?
Kata itu cukup membuat Nura bersemu malu, mengingat belum ada gadis yang kini bersemayam dihatinya, belum ada pula wanita yang kini ia nanti, lalu siapa yang akan dia lamar?

Orang bilang disaat seorang laki-laki sudah berada dimasa jayanya akan banyak wanita yang menghampiri dengan sendirinya, dan Nura tidak menutupi hal itu. Sudah banyak wanita silih berganti nge-DM lalu bertanya, "Mas, sudah berkeluarga?" Atau pesan berbau modus masuk ke laman DM nya. Namun, kalau belum ada yang berhasil mencuri perhatiannya, bagaimana?

Bukan berarti Nura begitu sombong hingga ia memilih ngga berusaha, lalu bersikap seolah "Ah, nanti juga ada yang nyamperin", atau bersikap seolah "gue punya segalanya, pastilah banyak yang mau", sama sekali tidak. Bahkan akhir-akhir ini ia cukup gencar kok berusaha, meminta tolong ke senior bahkan sampai meminta tolong sang Mama mencarikan sendiri calon mantu yang cocok untuk dirinya dan Mama. Namun, itu semua tentu butuh proses, ada kalanya dipertemuan pertama nyambung saat masuk visi/misi menikah ternyata ngga sama, ada disaat mau bertemu saja ada banyak hal yang ternyata membuat rasa ngga cocok, dan masih banyak lagi.

Kalau di tanya, "lu, masih betah jombo?"
Ya, siapa pun pasti bilang mana betah? apalagi ketika mendengar rengekan si Mama yang sering kali nyindir melalui cerita-ceritanya tentang sahabatnya yang sudah dipanggil YoungMa, alias oma muda. Atau sindiran si Mama tentang umur, punya segalanya, tampang ada, tapi masih sendiri.
Dan itu cukup membuat Nura berpikir, iya juga. Apa kurangnya dia, sampai diusianya yang mau 29 tahun masih  saja sendiri, sedangkan teman-temannya sudah ada yang bawa anak dua bahkan tiga.

"Kalau kata saya mah, perjuangin dia itu penting tapi tidak sekarang karna kita harus balik ke Jakarta, yuk!" Ajak Capt. Ilman yang nampak lebih sumringah.

Apa sindrom mala rindu itu ada?
Kurasa ada, lihat saja dengan mudah sindrom itu mengubah seseorang yang semula murung menjadi sumringah. Lucu kan?

***

ARA'S WEDDING STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang