Malam itu sedikit sepi, hawa dingin menguasai. Tubuh jangkung pria itu bergetar sedikit saat menunggu seseorang keluar dari dalan rumah. Matanya sibuk melirik kedalam hingga seorang gadis muda datang menghampirinya, dengan sweater cokelat dan rambut yang dicepol asal.
Tangan ringkihnya bergerak membukakan pagar cokelat tinggi itu, suara lembutnya menyuruh pemuda tadi segera masuk. Langkahnya membawa mereka ke gazebo dihalaman depan rumah.
"Duduk, Gyu," masih dengan senyumnya yang selembut sutra, gadis itu berucap. Tangannya bergerak mengambil dua kaleng kola yang memang tersedia disana, "kamu mau ngomong apa?"
Mingyu mendadak amnesia, pikirannya kosong seakan gadis ini telah menarik seluruh isi pikirannya untuk keluar. Pernapasan Mingyu tak teratur, jantungnya memompa dua kali lebih cepat dari biasanya. Bibirnya kelu untuk berucap sepatah katapun.
Lamat-lamat Mingyu pandang gadis didepannya ini, iris cokelatnya menatap Mingyu sendu. Tatapannya membius pemuda itu. Hidungnya mancung dan bibirnya pink merekah, sungguh seindah itu ciptaan Tuhan yang satu ini.
"Min," panggil Mingyu pelan, hampir berbisik malah, "aku mau nanya," dengan segenap keberanian yang sudah dikumpulkannya mati-matian membuat pemuda itu dengan gagah menatap iris gadis ini lekat, "kamu ada hubungan apa sama Junhoe? Maaf aku nanya gini, aku cuma penasaran," Mingyu tak kuat menatap sepasang iris cokelat itu, malah kini tatapannya beralih pada dua kaleng kola yang hanya diam tak berbuat apa-apa.
"Aku sama Junhoe? Kamu kesini malem-malem mau nanyain itu?" tanya Mina sedikit heran, tapi ini benar-benar lucu. Pemuda didepannya yang hanya menggunakan celana batik serta jaket datang hanya untuk menanyakan pertanyaan yang jawabannya sudah jelas.
"Iya," cicit Mingyu, sungguh ia sudah menelan habis-habisan rasa malunya didepan Mina.
"Gyu, kamu tahu aku gak mungkin pacaran sama Junhoe. Dia temanku," jawab Mina kembali memaparkan senyumnya, membuat Mingyu kembali hilang akal karena senyum mematikan itu. Cantik sekali.
"Komen—"
"Itu di rumah Donghyuk dan kita lagi ngerjain tugas kelompok, ada Jiho juga kok," giliran gadis ini yang merutuki kebodohannya, untuk apa ia menjelaskan pada Mingyu bahwa dirinya dan Junhoe benar-benar tak ada apa-apa, memangnya Mingyu siapa?
"Oh gitu," sahut Mingyu sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sunyi mengonsumsi mereka, seakan masing-masing tenggelam kedalam pikiran. Mencoba menerka, menyelami, dan menebak keadaan serta pikiran masing-masing.
Kaleng kola dalam genggaman tangannya lebih enak dipandang dari pada pemuda tampan didepannya ini, Mina terlalu gugup saat ia tiba-tiba menjelaskan posisinya kepada Mingyu. Padahal mereka bukan apa-apa juga siapa-siapa.
"Mina," cicit Mingyu mengangkat kepalanya yang sedari tadi hanya tertunduk, matanya melirik kearah gadis dengan pipi tirus itu. Mingyu gemas ingin membelikan seluruh roti juga makanan yang ada di supermarket agar gadis ini tidak setirus itu.
"Iya?" jawab Mina ikut mengangkat kepalanya. Manik mata mereka bertemu sampai akhirnya mereka sibuk menyelami warna iris masing-masing. Cukup lama hingga Mingyu membuka bibirnya yang terkatup, lidahnya sibuk membasahi bibirnya yang mendadak kering.
"Kamu mau gak jadi pacar aku?"
---
Senin kembali tiba dengan cepatnya, entah perasaan Chan saja atau bagaimana. Tungkainya berjalan pelan menuju kelas, telinganya tersumbat sepasang airpods putih yang memutar melodi dari lagu-lagu milik Eminem. Kepalanya naik turun mengikuti ritme yang diciptakan oleh nada lagu, tangannya masuk kedalam saku celana, sementara matanya fokus memproyeksi orang-orang yang berlalu lalang.
Orang-orang sibuk, senin merupakan awal hari yang amat sibuk. Tapi Chan tidak suka prinsip itu. Bukankah senin adalah pembuka hari? Maka tidakkah seharusnya dijalani dengan lebih santai? Mengapa orang-orang terlalu suka mengejar dan berlomba-lomba untuk menjadi terdepan?
Chan tidak habis pikir, bagaimana orang-orang menilik kemampuan seorang hanya dari cover mereka semata. Mungkin saja mereka mempunyai potensi lebih dari yang terlihat, bukankah itu masuk akal? Bagi beberapa orang menjadi terbaik dari yang terbaik adalah tekanan, mereka menjadi tidak menikmati hidup. Chan lebih suka orang-orang santai tapi memiliki tujuannya, lebih suka orang-orang yang tidak hanya mengejar harta dan juga tahta, dan lebihnya lagi ia menyukai orang-orang yang menikmati hidup mereka.
langkahnya yang pelan berjalan ke kelas mendadak berhenti tepat di depan pintu kelas, tungkainya berdiri stagnan menatap kedalam kelas. Salah satu gadis yang masih tetap menarik perhatiannya tengah melaksanakan tugas piket paginya.
Gadis itu masih sama. Mungil, indah, serta luar biasa. Maniknya masih sama menenggelamkan, surainya terurai lurus dengan pita biru yang terjepit ditelinga kiri. Chan menikmati posisinya, menatap gadis pujaannya yang tak pernah meliriknya.
Solbin Salsabilla berbalik, mendapati Chan berdiri sambil memperhatikannya. Pualam yang awalnya sudah dingin, semakin terasa dingin. Kedua air conditioner yang terpasang didinding kelas menambah hawa sejuk diantara mereka. Beberapa siswa yang sudah didalam kelas tak menyadari waktu yang berhenti diantara Solbin dan Chan.
Manik mereka bertemu, sudah sangat lama tapi rasanya masih sama canggungnya. Solbin memutus kontak mata mereka pertama kali, membuat tungkai stagnan Chan bergerak menuju kearah kursinya. Otaknya dipaksa memutar kembali memori tentang gadis itu, disaat ia kalah telak oleh Hyunbin yang memacari Solbin di kelas satu. Kini pun terasa sama bagi Chan, saingannya bukan hanya satu tapi ada dua. Apakah Chan bisa membuat Solbin melirik sedikit perasaannya?
Netra Chan melirik kearah teman sebangkunya yang tersenyum lebar, membuat bulu kuduk Chan bergerak naik. Ini masih sangat pagi dan Mingyu sudah tersenyum seperti orang gila. Chan was-was, apakah ia harus membawa sang teman ke UKS?
"Gyu, lo sakit?" tanya Chan kemudian memeriksa kening Mingyu, "biasa aja."
"Chan?" panggil suara dibalik punggung tegap Bangchan Yudha Pratama. Pemuda itu memutar badannya, netranya membesar saat mendapati gadisnya disana.
"Iya, Bin? Kenapa?" tanya Chan balik mencoba biasa saja.
"Ini materi kelompok kita," tangan mungil itu memberikan flashdisk bergambar ice bear kepada Chan. Pelan sekali Chan ambil flashdisk tersebut.
"Oh iye, makasih ye," ujar Chan, Solbin segera berbalik. Baru tiga langkah meninggalkan meja Chan, Solbin memutar badannya. Membuat alis pemuda itu bertaut, seolah bertanya 'kenapa? Ada yang ketinggalan?'.
"Chan," panggil Solbin pelan, "gue bakal pertimbangin perasaan lo lagi, kalau gue masih punya tempat di hati lo," memberanikan diri, gadis iyu menatap netra Chan yang jauh lebih tinggi dari dirinya. Ia berujar pelan, hingga tak ada yang mampu mendengar hal tersebut kecuali Chan.
Solbin segera berbalik malu menuju kursinya, Chan mengulum senyum bahagianya. Ternyata ia masih mempunyai kesempatan dan ia berjanji tak akan melewatkannya.
"Chan naksir Solbin?" tanya Winwin yang tenryata mendengar percakapan itu, dengan volume suara yang cukup membuat anak kelas mereka mendengarnya.
Oh, damn you, Win! I swear i'll kill you, now!!!! -batin Chan yang meronta marah.
----
maaf guys, narasinya kebanyakan lagi :((
kalian lebih suka baca yg begini atau aku harus banyakin dialognya aja?btw, jangan lupa vote and comment yawwww 🌸🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Classmate 2.0 ✓
Humor"Gak ada yang namanya kelas buangan, kita bisa nunjukin kalau kita lebih mampu daripada mereka!" -97 line(s) ©winniedepuh, 2019