~18~

38.6K 2.8K 58
                                    

Dua minggu berlalu. Erin mulai terbiasa tinggal bersama Darrel, ya walaupun lelaki itu sepertinya masih belum terbiasa dengan kehadirannya.

Usia kandungan Erin pun sudah kurang lebih satu bulan. Perutnya memang belum membuncit, namun Erin sangat suka mengelus perutnya sendiri. Ingin rasanya meminta Darrel untuk mengelusnya, tapi tidak mungkin, Darrel tidak mungkin mau.

Malam itu, Erin tengah duduk diatas kasur sembari membaca novel lewat handphone miliknya, dan Darrel entah kemana lelaki itu pergi, sudah dari tadi sore ia pergi, sampai sekarang belum pulang. Merasa sangat bosan, Erin pun memutuskan untuk pergi bersantai-santai di ruang tengah. Saat ia membuka pintu kamar, tiba-tiba Darrel ada dihadapan pintu, sepertinya hendak masuk kedalam kamar.

Erin menatap Darrel sembari mengerutkan keningnya.

"Lo mau kemana?," tanya Darrel.

"Mau nonton TV di ruang tengah," sahut Erin.

"Nonton di kamar aja," ucap Darrel.

Erin mengerutkan keningnya, "Kenapa?," tanyanya.

"Di ruang tengah ada Vanilla, jadi lo di kamar aja," ucap Darrel dengan santainya.

Erin terdiam sejenak mencerna ucapan Darrel, lalu ia kembali bersuara, "Terus kenapa? Satu Sekolah kan udah tau kalau gue sama lo udah nikah, gak mungkin kan dia gak tau," ucap Erin.

"Iya dia tau. Tapi gue mau—"

"Apa? Mau pacaran sama dia?," potong Erin cepat.

Darrel menghembuskan nafasnya kasar.

"Pacaran aja sana ditempat lain." Erin memutar bola matanya malas.

"Ini Apartement gue kalau lo lupa, kenapa jadi lo yang ngatur-ngatur gue?." Darrel menatap Erin sembari menaikkan sebelah alisnya.

Erin mengumpat kesal, dan ia pun memilih untuk kembali duduk diatas kasur dan melanjutkan kegiatan membacanya. Sedangkan Darrel langsung menutup pintu dan menghampiri Vanilla yang menunggunya di ruang tengah.

"Lama banget," ucap Vanilla begitu melihat Darrel datang dan duduk disebelahnya.

"Ada problem sedikit tadi," sahut Darrel .

Vanilla mengangguk paham, "Problem dengan istri lo?," tanyanya.

"Jadi gimana Van? Lo mau kan besok malem gue jemput?." Darrel malah mengalihkan pembicaraan.

"Memangnya mau kemana?." Vanilla bertanya balik.

Darrel menaikkan sebelah alisnya, "Maunya kemana?."

"Terserah, tapi Rel... istri lo gak marah?," tanya Vanilla.

Darrel menghela nafasnya pelan lalu ia tersenyum tipis, "Gak bakal marah dia mah, tenang aja," sahut Darrel mencoba meyakinkan Vanilla.

"Iya deh terserah."

Sementara itu, Erin merasa sangat bosan berada didalam kamar. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar kamar, tak perduli dengan Darrel yang sedang bersama Vanilla.

Erin hendak menuju dapur untuk mengambil minum, dan tentunya ia melewati ruang tengah. Erin menghentikan langkahnya saat melihat Darrel dan Vanilla yang tampak asyik bercanda sesekali mereka tertawa. Baik Darrel maupun Vanilla tak ada yang menyadari kehadiran Erin.

Entah kenapa hati Erin terasa sangat perih melihat Darrel yang tampak bahagia bersama Vanilla. Belum lagi Darrel sesekali mengusap lembut pipi Vanilla, atau mengacak rambut Vanilla yang membuat Vanilla kesal.

"Non Erin ngapain disini?." Entah darimana munculnya, tiba-tiba Bi Inem sudah berdiri disebelah Erin dan hal itu membuat Erin sedikit terkejut.

Darrel dan Vanilla pun langsung menatap kearah Erin yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Eng—enggak Bi, saya mau ke dapur, mau ambil minum," ucap Erin berusaha menyembunyikan kegugupannya, ia pun langsung bergegas menuju ke dapur.

Sampai di dapur, ia memejamkan kedua matanya, menarik nafasnya dalam-dalam setelah itu menghembuskannya perlahan. Kenapa ia sakit hati melihat Darrel bersama wanita lain? Apakah ia cemburu? Tidak! Mana mungkin! Erin tidak menyukai Darrel, tidak sama sekali!

Erin pun meminum segelas air untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Setelah itu Erin langsung kembali ke kamar, tanpa menatap Darrel dan Vanilla.

Erin langsung berbaring diatas kasur, memeluk guling, dan memakai selimut sampai ke pundak, ia tidur menyamping, karena posisi itu sangat nyaman baginya.

Tanpa ia sadari, sebulir air mata menetes dari matanya. Erin langsung mengusap air matanya itu dengan tangannya. Entah mengapa, tiba-tiba ia mengingat Ayah dan Bundanya, ya, ia merindukan Ayah dan Bundanya.

Ceklekkk...

Suara pintu kamar terbuka, Erin langsung memejamkan kedua matanya, berpura-pura tidur.

"Gue tau lo belum tidur," ucap Darrel yang tiba-tiba duduk disebelah Erin.

Erin langsung membuka kedua matanya, menatap Darrel malas, "Gue lagi mencoba untuk tidur, jadi jangan diganggu," sahut Erin dengan nada sedikit ketus.

Darrel memincingkan kedua matanya, memperhatikan kedua mata Erin yang tampak sedikit sembab.

"Lo nangis?," tanyanya.

"Eng—enggak kok," sahut Erin dengan gugup.

"Bohong, mata lo sembab."

Erin langsung mengalihkan pandangannya, tak ingin menatap Darrel.

"Kenapa?," tanya Darrel.

"Gak papa," sahut Erin cuek.

"Kenapa?," ulang Darrel.

Erin menghela nafasnya perlahan, "Kangen Bunda sama Ayah," ucapnya pelan, namun Darrel bisa mendengarnya dengan jelas.

"Bunda lo kemana memangnya?." Akhirnya Darrel melontarkan pertanyaan tersebut.

"Bunda ninggalin gue pas gue masih kelas 7 SMP, Bunda depresi gara-gara Ayah kecelakaan, tanpa pikir panjang, dia kabur, ninggalin gue." Erin bercerita dengan singkat, namun Darrel bisa memahaminya.

Erin yang tadinya berbaring mengubah posisinya menjadi duduk, berhadapan dengan Darrel, "Lo enak ya Rel, punya keluarga lengkap."

"Tapi keluarga gue udah gak nyatu."

Erin menaikkan sebelah alisnya, "Maksudnya?."

"Mama sama Papa gue udah cerai saat gue kelas 9 SMP, dan gue memilih untuk tinggal sendiri, di Apartement ini," ucap Darrel yang membuat Erin sedikit terkejut.

"Jadi? Mama Papa lo cerai? Kemarin kok—"

"Gue yang minta mereka berdua supaya mau ketemu sama gue dan lo. Mama udah menikah lagi, dan Papa gue sibuk dengan pekerjaannya, sering keluar negeri," jelas Darrel.

Erin mengangguk paham, "Sabar ya, i know what you feel."

"Jadi, semenjak Bunda lo ninggalin lo, lo tinggal sama siapa?," tanya Darrel.

"Gue ngekost, rumah yang dulu gue tinggalin itu cuman nyewa, jadi gue pindah ke kostan. Gue juga cari kerjaan buat bayar kostan dan menuhin kebutuhan gue, alhamdulillah cukup aja sih, dicukup-cukupin," ucap Erin sembari tersenyum tipis.

Darrel menatap wanita yang duduk dihadapannya itu, senyuman tipis yang selalu terpancar dibibir mungilnya, seolah ia tak menyimpan kesedihan. Ia jadi merasa bersalah sudah merusak masa depan Erin.

"Maaf." Tiba-tiba kata itu keluar dari mulut Darrel.

Kening Erin mengkerut, ia bingung, "Maaf kenapa?," tanyanya.

"Maaf karena gue—"

"Sudah, gak papa, gue udah maafin." Erin memotong ucapan Darrel, lalu ia tersenyum hangat kearah lelaki yang duduk dihadapannya itu.

"Lo kenapa baik banget sih Rin?," heran Darrel.

"Buat apa gue jahat? Gak ada alasan untuk gue berbuat jahat, kan?." Erin menaikkan sebelah alisnya.

Darrel tersenyum tipis kearah Erin.

MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang