Senin pagi, setelah insiden kemarin, aku tetap melaksanakan rutinitas seperti biasa. Memasak, mencuci, beres-beres rumah. Namun kali ini Radit ikut membantu menyapu dan mengepel lantai serta cuci piring. Karena merasa bersalah kemarin mungkin. Atau mungkin karena aku mendiamkannya sejak bangun tidur tadi.
Ketika aku memilah-milah pakaian untuk dimasukkan mesin cuci,aku menemukan noda hitam pada bagian depan dan lengan baju yang ia gunakan kemarin. Aku merabanya. Oli. Berarti benar kemarin motornya mogok.
Aku, entah mengapa menjadi merasa bersalah. Merasa bersalah karena tidak percaya padanya, su'udzan padanya, tidak mau menerima maafnya. Ah, aku selalu saja begini. Jika marah, pada akhirnya aku sendiri yang merasa bersalah dan minta maaf duluan.
Selesai mencuci, kuhampiri Radit yang sudah bersiap-siap berangkat ke kantor. Ia sedang memakai sepatu di teras. Dengan malu-malu aku duduk di dekatnya. Namun masih belum berani menyapa duluan. Ya, bagaimanapun malu juga kan. Kemarin sudah muntap kaya gitu eh sekarang gantian ngaku salah.
"Ada apa?" Ihh, nyebelin ngga sih pertanyaannya itu. Kesannya aku yang butuh (*padahal iya). Minta maaf lagi,kek. Biar aku bisa buka percakapan. Gantian minta maaf gitu. Kalau begini, aku mau mulai dari mana coba?
"Kamu mau minta sesuatu?" Iya. Mau minta maaf. Tapi gimana ya caranya? Bagaimana kalau dia nanti malah meledekku? Duuh, belum apa-apa sudah su'udzan dulu.
Oke, apapun responnya aku harus terima.
"Emm, soal motor mogok kemarin. Aku minta maaf karena tidak percaya padamu." Ucapku tanpa berani memandang wajahnya.
"Kenapa minta maaf?"
"Karena kemarin kukira kamu bohong. Ternyata benar. Tadi aku melihat noda oli di bajumu."
Pelan tapi pasti seberkas senyum tersungging di sudut bibirnya. Namun ia berusaha untuk stay cool yang membuatnya semakin menyebalkan. Nah benar kan!!
"Jadi kita impas ya. Aku akan maafin kamu tapi kamu maafin aku juga." Ia mulai bernegosiasi.
"Ngga bisa gitu dong. Kesalahanku kan ngga sebanding dengan salahmu. Kamu sudah mengecewakanku dua kali. Kau sudah membuatku menunggu berjam-jam di rumah dan di mall tanpa kabar yang jelas. Kau sudah membuatku khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu denganmu. Aku melewatkan acara temanku demi kamu. Tapi kamu bohongi aku. Bagaimana aku bisa percaya begitu saja dengan semua alasanmu." Tanpa kuduga kata-kata itu meluncur deras dari mulutku. Aku meluapkan semua perasaanku. Padahal sudah kujaga baik-baik agar tidak terlontar. Air mataku juga ikut turun. Ah, pagi-pagi sudah mewek. Bikin badmood ngga sih. Apalagi ini hari Senin.
Tanpa kuduga, tangan kanan Radit terulur dan menghapus air mata yang mengalir di pipiku. Yakin deh, wajahku panas. Pagi-pagi gini udah buat adegan romantis si Pak Robot. Waduh, tembok Berlin yang susah payah kubangun sejak semalam pun bakalan roboh ini.
"Iya, aku tahu aku salah. Tapi benar semua yang terjadi dua hari ini bukan kesengajaanku. Bukan tabiatku untuk tak menepati janji. Semua di luar prediksiku." Kalimat Radit terdengar lembut. Senyum menggodanya pudar, berganti raut penyesalan. Kulihat itu meskipun aku tak bisa membedakan apakah itu akting atau bukan."Bagaimana kalau sebagai permintaan maafku, kita jalan-jalan akhir pekan ini? Kamu boleh milih kemana pun yang kamu mau."
"Sudah cukup Mas." Aku menyingkirkan tangannya dari wajahku. Hmm...menyingkirkan terdengar sedikit kasar. Tapi apa namanya? "Cukup sekali saja aku kecewa. Kamu tak usah berjanji untuk hal yang sulit kamu tepati."
Aku mengakhiri pembicaraan dengan menyalami dan mencium tangannya kemudian beranjak masuk rumah. Seperti emak-emak lebay dalam sinetron stripping, aku menangis di balik pintu. Hari Seninku buram karena pembicaraan pagi ini.
🍃
🍃
🍃
🍃
Rumah, bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk dituju. Itu yang kurasakan sekarang. Tempat yang membosankan apalagi nanti kalau Radit sudah pulang. Sama saja. Aku tetap sendirian. Tak seperti rumah orangtuaku. Yang selalu berwarna penuh kekeluargaan dan kehangatan. Rumah menjadi tempat yang dirindukan untuk pulang.Radit masih juga pulang larut. Tak ada yang menarik dari hidupku untuk kuceritakan padamu sebenarnya. Karena hampir setiap hari selalu hanya keluh kesahku. Mungkin kamu akan berpikir, 'kenapa manusia satu ini kerjaannya mengeluh saja?' atau 'kalau hidupnya tak menarik kenapa diceritakan?'
Biarlah. Kalau hanya kusimpan sendiri nanti bisa jadi jerawat. Dan semoga ada hikmah di balik kisahku ini.
Oke, kembali pada hidupku yang kurang menyenangkan di rumah. Radit pulang ketika aku menutup laptop. Sambil nunggu aku merekap nilai anak-anak, sambil nonton film juga tentunya..hihi...
"Kamu belum tidur?"
"Belum, belum bisa tidur." Jawabku seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya.
"Aku mau mandi dulu."
"Mau dibuatin cokelat? Atau teh?"
"Tak usah. Kamu tidur saja. Aku juga lelah sekali hari ini. Ingin segera tidur." Apa iya? Biasanya meski bilangnya gitu, akhirnya tidak juga tidur. Sibuk lagi dengan urusan kerjaan. Mbok ya kerjaan itu diselesaikan di kantor. Sampai rumah, gantian urusan rumah. Apa atasannya juga begitu? Jangan-jangan Radit terlalu giat kerja, atasannya enak-enakan tidur.
Aku menghela napas panjang. Dia bahkan sudah melupakan kejadian kemarin ataupun pagi tadi. Mungkin karena dia lelah dengan pekerjaannya dan aku lelah dengan situasi ini.
Aku membereskan peralatanku kemudian beranjak ke kamar. Belum sampai pintu kamar, aku berpapasan dengan Radit yang mau mandi. Sekilas tak ada yang menarik tapi mata jeliku tanpa sengaja menatap sebuah bercak noda di kemejanya. Kenapa bajunya selalu bernoda? Sebenarnya kerjaannya apa sih?
Tapi kali ini noda nya bukan hitam oli. Tapi merah! Ya, merah! Apakah darah atau saos?!
Aku menghentikan langkahnya demi mengamati sekaligus menginvestigasi. Yang punya kemeja bingung karena tak tahu. Noda merahnya mengotori kemeja bagian punggung.
"Ini merah apa mas? Darah?"Aku menghidu baunya juga mengusap telunjukku padanya. Bukan darah. Tidak berbau anyir seperti darah, juga bukan bau saos. Tapi baunya wangi. Yah,WANGI??!!
Kuamati lagi. Sedikit lengket di tangan. Ini? Tekstur,bau dan warnanya adalah noda lipstik?! Lipstik? Lipstik siapa yang menempel di baju Radit? Tak mungkin Radit pakai lipstik! Atau jangan-jangan Radit selalu pulang malam karena abis dari saweran? Ah ngaco kamu!
"Ini lipstik siapa Mas?" Tanyaku berusaha tenang. Aku sudah mulai curiga.
"Lipstik?" Dia balik tanya, bingung.
"Iya. Yang di punggungmu ini bekas lipstik. Dan ini di sampingnya ada bekas bedak wanita. Siapa wanita yang memelukmu dari belakang?"
"Masa sih?" Dia tak percaya dan langsung membuka bajunya di depanku."Aku ngga tahu. Bagaimana bisa ada lipstik di sini?"
"Lha trus lipstiknya tiba-tiba gitu nempel di sini?" Kali ini kalimatku mengandung emosi yang tertahan. Aku ingat ini sudah malam dan Radit baru pulang kerja. Jadi kutahan benar-benar agar tidak terjadi pertengkaran.
"Aku beneran tidak tahu, Fa. Gimana aku harus jelasin ke kamu kalau aku sendiri tak tahu ini dari mana. Mungkin tadi mengenai seorang karyawati saat berdesakan di lift."
"Sudahlah Mas." Sahutku tak ingin memperpanjang masalah. Aku masuk kamar dan mengunci pintu. Kuabaikan Radit di luar yang mengetuk pintu sambil memanggilku.
Kali ini aku merasa dikhianati. Bagaimana bisa seseorang membuat kesalahan selama tiga hari berturut-turut? Kekecewaanku kian bereksponen. Dan kecewaku kali ini lebih besar. Baru dua bulan kami menikah apakah harus sudah kandas karena orang ketiga?
🍁🍁🍁🍁🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Workaholic
General FictionKetika hidupmu terikat oleh ikatan yang tak kamu inginkan. Mengubah benci menjadi cinta, ambisi menjadi pengertian "Buat dia mencintaimu," pesan ayah kepada Raditya, si robot pekerja. Lalu... Lalu silakan dibaca,.😊😊 Alur cerita ringan tanpa drama...