Di chapter ini kita masih memakai sudut pandang Radit ya,,
Special thanks buat yang kasih vote...Happy reading..
_________________________________________
Pertemuanku dengan Vano berakhir tanpa jabat tangan atau pelukan layaknya sahabat yang lama tak jumpa. Kami hanya saling melempar salam lalu pergi. Aku masih tak percaya persahabatan yang telah kami bina selama lebih dari setengah dekade telah retak karena seorang wanita.
Ketika aku sampai rumah, Shafa menyambutku seperti biasanya. Mungkin sikapnya masih jauh dari kata perhatian atau romantis tapi semakin hari aku semakin menikmati ekspresi malunya saat bertemu denganku. Meski halus, aku dapat menangkap wajahnya yang tersipu.
Shafa berperawakan kecil atau lebih tepatnya langsing. Kulitnya kuning langsat, tidak terlalu tinggi. Wajahnya tirus dan lebih tepat disebut manis daripada cantik. Orangnya sederhana, polos. Bahkan jarang pakai make up. Dia bermake up jika di rumah, itupun hanya tipis dengan warna soft. Membuatku bangga karena hanya aku yang melihat wajah ayunya.
"Darimana tadi Mas?" Tanyanya sembari duduk di sampingku. Aku menyelonjorkan kaki di sofa depan tivi.
"Ketemu teman." Jawabku singkat.
"Bukan Vano kan?" Aku menoleh padanya. Menangkap suatu gelagat aneh pada wajahnya. Aku menegakkan tubuh dan duduk menghadap padanya. Aku pernah mendengar dari Vano kalau dulu wanita di hadapanku ini tertarik padanya.
"Iya, dia. Kami sudah lama tak bertemu dan ini pertemuan pertama kami setelah sekian lama." Jawabku santai. "Fa, apa kamu kenal Vano?"
"Iya, kenal. Dia guru baru di sekolahku. Sepertinya sudah pernah kuceritakan."
"Maksudku sebelum dia ngajar di sekolahmu." Dia tampak terkejut namun hanya sekilas. "Aku ingin tahu tentang masa lalumu."
"Buat apa? Yang terpenting kan sekarang dan masa depan. Dan itu kamu." Jawabnya cepat. Kurasakan dadaku bergemuruh mendengarnya. Dia sendiri merona wajahnya.
"Aku hanya ingin tahu saja sehingga nantinya tidak ada kesalahpahaman. Apa benar kamu telah mengenal Vano sebelumnya?"
Dia diam sejenak. Kemudian menghirup napas panjang dan menghembuskannya pelan.
"Tidak." Jawabnya. Aku menaikkan alis tak percaya. Meskipun pahit, aku ingin dia jujur. Bukankah kejujuran itu merupakan salah satu indikasi kepercayaan.
"Aku memang mengetahuinya maksudku tentang namanya namun dia tak mengenalku. Emm... Kamu jangan marah ya. Sebenarnya memang benar dulu sewaktu SMA aku menyukai Vano." Katanya takut-takut. Aku memang pernah mendengarnya dari Vano tapi saat ini entah kenapa rasanya lain. Seolah ada yang menusuk hatiku. "Tapi itu dulu. Perasaanku padanya juga sebatas junior sama seniornya. Tak lebih, tak ada keinginan untuk pacaran atau semacamnya."
Mengetahui kenyataan bahwa istri kita pernah menyukai sahabat kita rasanya nyeri di dada. Kenapa harus sahabat kita? Kenapa harus wanita yang sama?
"Seandainya dulu aku tahu kalau kamu menyukaiku, mungkin aku tak menyukai Vano." Ucapnya lagi. Dia tampak takut dan khawatir. Dia mungkin takut aku murka. Aku tersenyum. Kurengkuh pundaknya dan kutarik agar merapat padaku. Aku sudah tak peduli dengan perjanjian kontak fisik yang dimintanya dahulu.
"Ya, mungkin seharusnya dulu aku berani mengatakannya padamu atau setidaknya menunjukkan perhatianku padamu..."
" Dan aku akan digantung ayah karena berani memikirkan hal lain selain sekolah." Potongnya sambil terkekeh. Ah benar, dia tak boleh pacaran.
"Lalu bagaimana sekarang?" Tanyaku lagi.
"Maksudmu?"
"Bagaimana sekarang? Setelah kamu bertemu Vano lagi dan ternyata dia sekarang single?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Workaholic
General FictionKetika hidupmu terikat oleh ikatan yang tak kamu inginkan. Mengubah benci menjadi cinta, ambisi menjadi pengertian "Buat dia mencintaimu," pesan ayah kepada Raditya, si robot pekerja. Lalu... Lalu silakan dibaca,.😊😊 Alur cerita ringan tanpa drama...