Luka kaki atau luka hati??

1.1K 97 3
                                    

Usai sholat shubuh berjamaah aku diajak Radit berkeliling di sekitar villa. Udara dingin yang menusuk tulang membuatku enggan sebenarnya namun aku ingat, Radit belum berjalan-jalan di luar sejak tiba di sini. Dia disibukkan dengan aktivitas ruangan.

Hatiku berdesir ketika Radit meraih telapak tanganku dan menggandengnya menyusuri jalan aspal sambil menikmati udara pegunungan. Tak banyak yang kami bicarakan. Kami memilih lebih banyak diam kali ini. Aku juga tak ingin merusak momen romantis ini dengan pembicaraan yang berujung perdebatan tak penting.

Sesekali kami saling memalingkan muka, bukan karena marah. Tapi untuk menyembunyikan senyum. Karena entah kenapa rasanya bibir ini ingin tersenyum.

Ketika hari mulai terang, kami kembali ke villa dan mendapati sebagian besar karyawan dan keluarganya telah berkumpul di halaman yang luas. Semalam sempat kulirik rundown acara milik Radit. Jadwal sekarang adalah olahraga. Lalu dilanjutkan sarapan dan mandi. Setelah itu akan ada outbond. Nah, itu adalah bagian yang paling kusukai.

Outbond akan diselenggarakan di tanah lapang di sebelah bangunan villa. Kami dibagi menjadi beberapa tim. Tapi tentunya keluarganya ikut. Serena juga siap dengan setelan olahraga berwarna pink. Rambutnya yang panjang, ia kuncir kuda. Kalau saja dia tak membawa anaknya, pasti orang mengira dia masih gadis. Aku sempat melirik beberapa tatapan iri dari karyawati sekaligus tatapan kagum dari beberapa karyawan ataupun keluarganya. Dan tentu saja aku melirik ekspresi yang ditunjukkan Radit ketika melihatnya namun sama sekali tak terbaca.

Permainan akan dimulai. Awalnya Serena tak akan ikut karena membawa balita tanpa pengasuh namun boss perusahaan memaksanya ikut. Kesal juga sama si bapak itu. Tak lihat apa, dia bawa anak.

Untunglah anak Serena tidak rewelan jadi anteng saja sewaktu disuruh menunggu dan bermain di tepi lapangan. Malah aku yang tak tega melihatnya.

"Mbak Shafa ikut main?" Tanya Pak Boss padaku. Aku tersenyum mengangguk tapi wajahnya menunjukkan raut khawatir.

"Apa tidak bahaya Pak Radit?" Tanyanya lagi.

"Tidak apa-apa, Pak." Jawabku bingung.

"Lebih baik Mbak Shafa menonton saja soalnya kegiatan ini butuh kekuatan fisik. Mbak Shafa kan tidak boleh terlalu lelah." Ucapan Pak boss belum dapat kumengerti. "Usia kandungan Mbak Shafa kan belum lama. Jadi belum kuat. Oh iya, selamat ya. Apa yang kalian tunggu selama ini akhirnya terkabul juga."

Usai berkata demikian, Pak Boss berlalu. Meninggalkan aku dan Radit yang saling berpandangan. Usia kandungan? Kapan aku hamil? Ngapa-ngapain aja belum, masa hamil? Sialnya, ucapan Pak boss tadi didengar oleh beberapa karyawan yang berdiri di dekat kami. Mereka memberikan selamat kepada kami dan diikuti lainnya sehingga akhirnya semua orang mengetahui bahwa aku 'hamil?'.

"Mas? Siapa yang bikin rumor ini?" Tanyaku pada Radit saat orang-orang sudah menjauh.

"Tak tahulah. Ya sudah. Kamu lebih baik duduk saja."

"Tapi aku ngga apa-apa."

"Tak baik membuat kesan bahwa Pak boss ternyata salah dan membuat semua orang salah paham. Anggap saja itu tadi doa, semoga kamu beneran hamil." Ucap Radit dengan merendahkan suaranya.

"Gimana bisa hamil, kita kan ngga ngapa-ngapain?"

"Nah, itu PR kita. Kita sandiwara aja dulu. Nanti kita pikirkan caranya biar tak cuma rumor." Sekali lagi ucapan ngasal Radit buatku tersipu.

"Maksudnya?" Ups, aku keceplosan. Aku ingin menutup mulutku karena menanyakan pertanyaan naif itu.

"Usaha biar kamu hamil dong." Sahutnya sambil menaik turunkan sebelah alisnya. "Kamu mau bahas caranya kan? Jangan sekarang! Masih pagi di tempat umum. Banyak anak-anak lagi."

Mr. WorkaholicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang