Devano Suryawisesa. Aku hafal. Sangat hafal nama itu. Dulu, dulu sekali dia menjadi salah satu yang mengisi kisi hatiku. Hanya sekedar mengisi tak ada ikatan atau hubungan apapun. Bahkan sekalipun kami tak saling kenal. Aku hanya tahu nama lengkapnya saat menjadi mentor kelompok kami waktu MOS. Aku mulai tertarik padanya saat tanpa sengaja kulihat dia memperhatikanku dari kejauhan.
Kukira dia punya perasaan padaku sehingga akupun tertarik untuk mengetahui tentangnya. Namun sekarang kupikir aku hanya ge er. Yang jadi masalah, sekarang aku malu. Bagaimana kalau dulu dia sadar aku memperhatikannya? Mencuri pandang padanya? Mau ditaruh dimana mukaku.
Sekarang kami akan bekerja di atap yang sama. Hanya beda ruangan tapi tetap saja setiap hari pasti bertemu. Semoga dia lupa padaku. Lupa wajahku dan tak mengenaliku. Aku juga tak akan memperkenalkan diri.
"Pucuk dicinta ulam pun tiba. Yang barusan kita omongin nongol di depan mata. Pasti ini bukan kebetulan." Ucap Bu Diah pelan di sampingku.
"Ini mungkin hukuman buatku."
"Kita pura-pura tak kenal dia aja."
"Setuju. Aku juga berpikir begitu." Sahutku. Kami kembali ke kelas masing-masing. Syukurlah ini sudah jam terakhir. Jadi kami tak punya kesempatan untuk bertegur sapa dengan Vano. Lalu besok? Aku akan menghindarinya semampuku.
Aku tak sabar untuk menceritakannya pada Radit. Sepulang sekolah, kuketik sebaris pesan untuknya.
"Mas, kamu ingat Vano? Dia kerja di sekolahku hari ini. Jadi guru olahraga."
Send. Tapi tak segera dibaca. Ah sudahlah. Dia pasti sedang sibuk. Yang penting sudah bilang. Sekitar waktu ashar pesanku baru dibaca.
"Vano siapa?" Balasnya cepat. Ih, penasaran juga dia. Tapi dia lupa apa pura-pura lupa. Masa teman sendiri tidak tahu.
"Vano teman SMA mas."
"Dia kok ngga bilang ya sama aku."
Hah? Berarti selama ini mereka masih saling komunikasi? Bagaimana jika mereka bertemu dan melibatkan aku? Tapi pas nikahan kami dulu dia kok ngga ada, katanya sahabat. Masa ngga diundang?
Tak kubalas chat nya. Karena aku takut akan mengganggu pekerjaannya. Nanti saja kalau dia pulang, aku akan cerita. Paling dia penasaran.
Benar saja, saat dia sampai rumah dia langsung membombardirku dengan berbagai pertanyaan. Seharusnya aku yang banyak tanya.
"Kamu mandi dulu sana lah Mas. Bau tahu." Omelku karena dia pulang-pulang bukannya segera mandi malah mengusikku.
"Ngga deh."sahutnya seraya menciumi badannya sendiri.
"Pokoknya mandi dulu. Sudah kusiapkan air hangat. Aku masak bakso, mau makan lagi ngga?"
"Mau, mau!" Serunya semangat. "Makan dulu ya... Mandinya nanti."
"Ngga! Mandi dulu. Aku panaskan dulu baksonya. Oke," aku bersikeras. Radit merengut. Dia mulai beranjak namun tanpa kuduga dia berbalik dan mencubit pipiku gemas. Kemudian langsung berlari sebelum aku mencak-mencak. Aku tersipu lagi. Oooohhhhh...
Aku segera beranjak ke dapur untuk menyiapkan makan malam untuk Radit. Apakah aku harus menceritakan tentang perasaan sepihakku pada Vano? Mungkin seharusnya tidak. Jika dia tahu, mungkin hal itu akan mengusiknya. Apalagi saat ini Vano mengajar di sekolahku. Tidak. Semua sudah berjalan semestinya. Tak perlu aku menoreh noda di atasnya. Toh, tak penting Radit tahu karena kenyataannya perasaanku dulu hanya sepihak. Seperti kata Diah.
"Sudah siap baksonya, Fa?" Tanya Radit tiba-tiba. Aku sampai tersentak. "Kamu melamun? Melamunin apa?"
"Engg...engga. Lagi mikir soal buat anak-anak." Maafin aku bohong. Aku menyajikan semangkok bakso yang masih mengepul di hadapannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Workaholic
Ficção GeralKetika hidupmu terikat oleh ikatan yang tak kamu inginkan. Mengubah benci menjadi cinta, ambisi menjadi pengertian "Buat dia mencintaimu," pesan ayah kepada Raditya, si robot pekerja. Lalu... Lalu silakan dibaca,.😊😊 Alur cerita ringan tanpa drama...