istri kedua

1.6K 130 1
                                    

Kalimat "ibu ingin punya cucu..." dari ibu selalu terngiang-ngiang di kepalaku. Meskipun aku berusaha cuek, tetap saja mengganggu. Kalimat itu juga yang membuat hubunganku dengan Radit sedikit berbeda. Kami sering terjebak dalam suasana canggung dan salah tingkah. Seperti halnya aku, dia pasti sudah mengantisipasi diri dari rasa canggung itu namun tak berhasil.

Karena ketika kami ngobrol asyik, tiba-tiba saja --kadang tanpa sengaja-- ada yang menyinggung soal buat cucu itu. Kemudian kami jadi salah tingkah. Padahal pasangan suami istri juga. Jangan geregetan ya karena kami tak punya passion. Masalahnya adalah belum ada niatan ke sana. Ingat, nikahku karena terpaksa. Dan sekarang sedang berusaha mengubah terpaksa itu menjadi sukarela. Di tengah kondisi Radit yang hampir tak punya waktu untukku.

"Emm,Fa. Kenapa kita tak coba menuruti permintaan ibu." Ucap Radit suatu malam di depan tivi. Kami sibuk dengan kerjaan masing-masing. Aku merekap nilai muridku dan dia sibuk dengan laptopnya. Kulirik sekilas, mungkin laporan penjualan bulan ini.

"Permintaan yang mana?" Tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari kertas-kertas di depanku. Dia mengalihkan pandangan, mendongak ke arahku yang tengkurap di atas sofa sementara dirinya selonjoran di lantai sambil bersandar di sofa. Jangan menjudge aku kurang sopan dulu yee, ini atas kehendaknya.

"Yang ibu minta buatin cucu."

"Astaghfirullah." Tanganku terpeleset. Tinta dari bolpoinku mencoret kolom yang tak semestinya kuisi, "Haduuh, kecoret!! Kamu sih."

"Lho, kok aku?"

"Iya, gara-gara kamu bilang itu tadi aku jadi ngga fokus."

"Aku terus yang disalahin." Dengusnya pendek.

"Lha trus siapa? Kalau kamu emang yang salah..." Kami terlibat pertengkaran tak penting. Tapi tenang, pertengkaran kami ini aman. Tak ada adu fisik atau KDRT. Juga tak ada yang marah beneran. Karena akhirnya kami tertawa bersama

"Gimana?" Tanya Radit lagi kembali ke fokus utama setelah tadi kuselingi pertengkaran. Yang benar, kualihkan pembicaraan.

"Gimana apanya?" Aku balik tanya, pura-pura lupa.

"Aku beneran cium kamu ini nanti." Aku membelalakkan mata seraya menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Aku berpikir sejenak.

"Beneran cium aku? Berarti kamu belum pernah cium aku dong? Kemarin itu kamu bohong kan??" tanyaku sumringah. Yang kutanya hanya menunjukkan ekspresi 'emang penting?'.

"Ngga usah mengalihkan pembicaraan deh." Radit sepertinya tak sabar dan mulai tahu kedokku. Aku manyun.

"Jangan menunjukkan ekspresi seperti itu atau aku mengambil bibirmu." Aku melotot. Kenapa dia makin hari makin berani. Itu kan agak vulgar bagiku.

"Hhh..." Aku mendesah malas,"Malas, ah."

"Malas kenapa?'

"Malas buatin ibu cucu." Jawabku frontal, "Coba bayangin, betapa lelahnya aku mengurus anak sendirian. Seperti single parent. Kecuali kalau kita punya anak, aku tinggal di rumah ibu."

Radit tak menyahut. Dia berpikir mungkin, merenung mungkin. Ya, renungkanlah.

Obrolan kami selesai. Aku membereskan pekerjaanku dan beranjak. Radit masih diam. Aku berhenti sejenak dan membalikkan badan.

"Jangan coba-coba masuk kamarku!" Ultimatumku kemudian kembali melanjutkan langkah. Kali aja dia nekat dan menyerangku saat aku terlelap.
.
.
.
.
.
Bukan tanpa alasan aku menolak punya anak saat ini. Bukan pula aku menyalahi takdir. Namun karena keadaan kami. Lebih tepatnya keadaanku. Seperti yang aku sampaikan pada Radit, aku tak siap untuk jadi single parent. Lho? Iya, dia kerja gila-gilaan. Sedangkan aku yang kewalahan ngurus rumah. Iya sih, dia kerja buat kami. Tapi mengasuh anak kan ngga cuma materiilnya aja. Psikologi nya juga harus diperhatikan. Dapat dipastikan aku akan ngalami babyblues. Stress atau depresi pada saat jadi ibu muda. Dan tanpa dukungan dari suami, entah apa yang terjadi.

Mr. WorkaholicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang