Jumat pagi, aku sudah sibuk bantu suami packing-packing barang bawaan untuk dinas luar kotanya. Tak banyak sebenarnya yang ia bawa karena Radit itu orangnya simpel. Dia tak mau bawa barang banyak. Pokoknya satu ransel cukup. Tapi yang namanya wanita, selalu saja khawatir akan kebutuhan yang tak bisa terpenuhi. Jadi ada saja yang mau diselipkan sampai Radit benar-benar melarang saat aku akan membekalinya seplastik snack. Dia kan suka ngemil. Hehehe, baru tahu kan kalo si workaholic ini suka ngemil.
"Aku perginya ke luar kota ini tapi bukan berarti ke pedalaman. Di sana juga ada toko atau minimarket. Kalaupun ngga ada, warung juga ada." Cegah Radit. Kusimpan kembali beragam snack ke dalam lemari dapur.
Aku mengantarkannya ke depan rumah. Melepas kepergiannya setelah mencium punggung tangannya. Rasanya agak aneh. Ditinggal seharian bekerja mah biasa tapi kalau ditinggal sendirian beberapa hari beda lagi. Rumah jadi sepi. Padahal biasanya juga gitu kan Fa. Terlalu mendramatisir aku.
Sudahlah, aku juga harus bersiap-siap. Ada jadwal senam pagi kalau hari Jumat.
Baru saja aku masuk rumah, aku melihat benda pipih tergeletak di atas meja makan. Benda itu bukan punyaku. Itu punya Radit. Bagaimana bisa dia meninggalkan gawainya. Nanti bagaimana menghubunginya.
Aku segera bersiap-siap. Tapi kali ini aku mau ke kantor Radit dulu untuk menyusulkan gawai. Lalu lanjut ke sekolah.
Sambil nunggu angkot kuketik sebaris izin datang terlambat pada kepala sekolah. Semoga waktuku keburu sehingga aku tidak terlambat. Izinku tadi hanya berjaga-jaga saja.
Sepuluh menit aku nunggu angkot dan lima puluh menit perjalananku untuk sampai ke kantor Radit. Begitu angkot berhenti, aku langsung melesat menuju resepsionis. Takutnya Radit sudah berangkat. Namun aku sedikit lega karena mbaknya resepsionis mengatakan bahwa Radit masih ada di kantor. Coba kalau sudah berangkat, mau hubungi siapa aku.
Sambil menunggu Radit datang menghampiriku, aku duduk dan melayangkan pandangan ke seluruh lobi. Banyak karyawan yang berdatangan. Sebagian berjalan santai sebagian tergesa-gesa. Kulirik jam bulat besar yang tergantung di dinding tepat depan pintu. Jadi kalau ada karyawan datang maka view yang pertama kali dilihat adalah jam itu. Hemm, sindiran yang cerdas dari bos. Jam itu menunjuk jam setengah 8.
Di antara beberapa karyawan karyawati yang baru datang, kulihat sesosok wanita yang tak asing bagiku. Aku melihatnya sejak dia berjalan dari luar melewati pintu kaca. Gaya berpakaiannya, make upnya, gaya rambutnya, aku kenal itu. Tapi untuk apa dia di sini? Dia kerja di sini?
"Serena...?" Desisku saat dia lewat di depanku. Sungguh sebenarnya aku ingin menutup mulutku karena telah berani menyebut nama itu. Wanita itu yang sebelumnya mengabaikan keberadaanku, kini berhenti. Tepat di depanku dengan pandangan 'lo siapa? Kenal sama gue?' yang membuatku menyesal ribuan kali telah menyapanya.
Kuatur napasku dan diriku yang sok kenal ini. Serena tak pernah sekalipun menyakitiku. Baik ucapan maupun perbuatannya namun entah kenapa aku merasa kurang suka dengannya. Apakah aku seorang haters? Atau iri dengan kecantikannya? Ya Allah, jangan sampai aku punya hati sebusuk itu.
"Iya? Kamu Shafa, istrinya Pak Radit kan?" Tanyanya. Dia mengenalku ternyata.
"Iya." Jawabku singkat. Dia tersenyum. Sungguh cantik, seandainya dia berjilbab pasti berkali lipat cantiknya. Bagaimana Vano bisa bercerai dengannya? Orang cantik gini disia-siain.
"Kita teman seangkatan ya? Kamu dulu kelasnya apa sih? Kok kaya belum pernah lihat." Sungguh, apakah pantas itu diucapkan sebagai sarana perkenalan?
"Aku IPA 3. Kamu kerja di sini?"
"Iya. Aku sekretarisnya Pak Radit."
Glekk.
"Sudah lama?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Workaholic
General FictionKetika hidupmu terikat oleh ikatan yang tak kamu inginkan. Mengubah benci menjadi cinta, ambisi menjadi pengertian "Buat dia mencintaimu," pesan ayah kepada Raditya, si robot pekerja. Lalu... Lalu silakan dibaca,.😊😊 Alur cerita ringan tanpa drama...