Setelah insiden di php, kini insiden lipstik. Suamiku terlibat skandal perselingkuhan. Ya Allah,,aku ngga pernah mimpi punya kisah ngenes seperti ini. Baru dua bulan. Dua bulan kami menikah. Jangankan ber hanimun ria, mengetahui privasi masing-masing saja belum. Kami belum apa-apa. Bayanganku tentang pasangan serasi ala drama korea lenyap sebelum berkembang. Apakah akan kandas saat ini juga?
Semalam suntuk aku tak bisa tidur. Kadang menangis, marah, merasa dikhianati. Dan kembali aku menyalahkan ayah karena telah menumbalkanku pada orang ini. Astaghfirullah, sadar ndukkkk...
Radit tak henti mondar-mandir di depan kamar. Tak bisa masuk karena kukunci dari dalam. Dia bergumam sendiri. Meracau mungkin lebih tepatnya. Darimana noda lipstik itu berasal. Dia terdengar frustasi. Sesekali dia ngomong denganku, tak mungkin tak kudengar. Mengatakan maaf dan tak tahu menahu soal noda merah itu. Masa iya, lipstik temannya melayang begitu saja dan nempel di baju. Jelas-jelas itu sengaja ditempelin di situ bibirnya.
Pagi hari aku bangun dengan wajah kusut karena kurang tidur dan kebanyakan nangis. Radit sudah tak ada di depan kamar. Dia meringkuk kedinginan di sofa depan tivi.
Aku memang marah dan benci dengan makhluk ini, tapi jiwa sosialku tak tega melihatnya seperti ini. Kuambilkan selimut dari kamar untuk menutupi tubuhnya. Ah, kenapa ia harus tersiksa di rumahnya sendiri? Kok aku kesannya jadi bawang merah yang jahat sama bawang putih. Ealah, malah ngayal.
"Fa," tiba-tiba tangan Radit menahan tanganku. Dia kemudian membuka mata dan duduk di depanku. "Bisa kita bicara?"
Aku bergeming. Rasa sakit itu masih menjalar mirip racun yang menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah.
"Fa, duduk sebentar."
"Kita sholat dulu. Setelah itu kita bicarakan kelanjutan hubungan kita." Kulepas genggaman tangannya dan pergi berwudhu. Semoga dinginnya air wudhu dapat mendinginkan hati dan otakku.
"Kamu tak usah masak. Aku belikan sarapan aja ya, kamu mau apa? Bubur ayam, nasi uduk atau lainnya?" Tanyanya sebelum berangkat ke masjid.
"Terserah saja." Jawabku singkat. Radit mungkin sedang berusaha berdamai denganku.
Usai sholat, aku bersiap untuk mencuci pakaian. Hatiku kembali terasa berdesir melihat nanar bekas lipstik dan bedak di atas kemeja yang tengah kupegang. Ada perasaan campur aduk di dalam sana.
Tiba-tiba sebuah tangan meraih kemeja itu sehingga lepas dari genggamanku. Tangan itu milik Radit. Tanpa berucap, ia memasukkan kemeja tadi ke dalam mesin cuci bercampur dengan pakaian lain. Kemudian ia berbalik menatapku.
"Percayalah, aku mungkin kurang perhatian padamu. Aku ingkar janjiku tapi aku bukanlah orang yang suka selingkuh. Dari dulu aku tak pernah dekat dengan perempuan selain dirimu. Noda itu benar, pasti karena waktu di lift kemarin seorang karyawati tak sengaja menubrukku. Saat pulang, lift nya agak penuh. Kumohon kamu jangan cemburu dulu."
Cemburu? Aku membelalakan mata. Engga lah. Ngapain juga cemburu. Katanya kan cemburu itu tanda cinta, lah ini aku kan belum cinta sama Radit. Hatiku mengelak keras.
"Aku tidak cemburu. Aku hanya merasa dibohongi saja." Sahutku. Dengan susah payah kusembunyikan ekspresi wajahku yang entah kenapa menjadi sedikit tersipu saat dia bilang cemburu. Padahal kan engga. Ada apa dengan mukaku? Kenapa ia tak mau menuruti tuannya?!
"Kalau begitu, kamu percaya aku?"
"Setelah yang terjadi kamu masih memintaku untuk percaya, Mas?"
"Oke, kamu bisa ijin hari ini?"
"Buat apa?"
"Aku ingin mengajakmu ke kantor dan melihat semuanya."
"Kenapa harus aku yang mengorbankan waktuku? Apa yang akan aku lihat disana? Bagaimana jika wanita itu bukan karyawati di kantormu?"
Radit gelagapan. Dari segi manapun dia bukan orang yang berpengalaman menghadapi wanita. Apalagi wanita yang sedang emosi. Bisa-bisa dia ikut frustasi. Segala macam pekerjaan mampu ia selesaikan, namun wanita dan segala perkaranya adalah dunia asing baginya. Sehingga solusi yang ia berikan tidak menyelesaikan masalah. Malah memperumit masalah.
"Lalu apa kamu bisa menghadapi murid-muridmu dengan kondisi seperti ini?" Tanyanya pelan.
Harus kuakui, kali ini ia benar. Emosiku yang sedang labil pasti akan berpengaruh buruk pada KBM ku nanti. Kurasa aku perlu ijin hari ini. Di kelasku ada guru pendamping yang dapat menggantikanku mengajar.
"Biar aku yang ijin sama kepala sekolahmu." Ucap Radit seraya meninggalkanku. Ah, kenapa hatiku terasa sakit sekali.
Tunggu dulu! Kalau aku ngga masuk sekolah dan hanya di rumah saja, bukankah aku malah tambah galau? Tambah ingat sama kejadian-kejadian kemarin.
"Makanya ikut aku ke kantor." Jawab Radit saat aku mengajukan keberatan untuk ijin.
Ke kantornya nungguin dia kerja tanpa ngapa-ngapain, bukankah itu lebih membosankan. Belum lagi tatapan aneh dari karyawan lain. Pasti mereka berpikir aku istri yang overprotektif. Aku menggeleng cepat.
"Nanti aku ijin setengah hari." Aku memandangnya ragu. Apa iya beneran ijin? Kemarin saja sudah dua kali aku di php.
"Lihat saja nanti." Ucap Radit seolah mengerti apa yang kusangsikan.
"Awas saja nanti kalau cuekin aku dan bikin aku kaya obat nyamuk. Aku akan benar-benar marah." Ancamku.
"Berarti sekarang kamu ngga benar marah dong?" Aku mengerutkan dahi. Bisa-bisanya dia mengajakku bercanda di saat seperti ini.
Aku juga. Sebel deh sama diri sendiri. Dipelet apa coba aku sama si Radit. Udah dikecewakan begitu masih aja percaya sama dia. Masih mau aja nuruti kata-katanya. Mungkin ini bagian dari naluriku, istri yang berbakti pada suami.
🌿🌿🌿🌿
![](https://img.wattpad.com/cover/215768759-288-k73574.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Workaholic
General FictionKetika hidupmu terikat oleh ikatan yang tak kamu inginkan. Mengubah benci menjadi cinta, ambisi menjadi pengertian "Buat dia mencintaimu," pesan ayah kepada Raditya, si robot pekerja. Lalu... Lalu silakan dibaca,.😊😊 Alur cerita ringan tanpa drama...