sudut pandang radit

1.1K 97 1
                                    

Khusus chapter ini kita memakai sudut pandang Radit. Kadang penasaran juga kan sebenarnya perasaan Radit itu gimana terhadap Shafa. Atau beberapa hal yang terjadi pada Radit yang tidak diketahui oleh Shafa..
Jangan lupa vote&komen yaaa🤗🤗
________________________________________

Melihat senyum Shafa adalah kebahagiaan tersendiri bagiku. Apalagi melihat pipinya yang memerah. Aku selalu gemas ingin mencubitnya. Belum lagi ekspresi malu-malu yang mengelak perasaannya. Semua melebur membuatnya semakin menggemaskan bagiku. Dia bilang tak mencintaiku? Mungkin itu dulu? Sekarang? Ia hanya tak ingin menurunkan gengsinya dengan mengakui perasaannya padaku. Aku kepedean? Tidak lah. Aku bisa membaca semua itu dari setiap gerik lakunya.

Menjadi suaminya adalah hal yang paling kusyukuri. Seperti yang pernah kuceritakan padanya dulu, aku telah tertarik padanya sejak MOS SMA dulu namun sayangnya dia tak mengenaliku. Sungguh aku penasaran dengan apa yang ada di pikiran wanita itu. Mengapa mudah sekali melupakan sesuatu.

Shafa adalah wanita yang tak tersentuh. Bahkan lebih dari setengah tahun kami menikah, dia tak pernah melepas jilbabnya di hadapanku apalagi memakai pakaian pendek. Kadang aku penasaran, apa dia tak punya pakaian pendek?

"Fa, aku ingin melihat rambutmu."

"Haah?!" Dia berbalik menatapku horor. Dia selalu berpikir aku manusia mesum jika sudah seperti ini. Tapi aku suaminya. Wajar kan? Sebenarnya niatku hanya ingin menggodanya. Ada sekitar semenit kami saling diam. Kukira dia akan berbaring kembali dan mengabaikanku namun yang dia lakukan tak terduga.

Dia melepas jilbab bergonya di hadapanku. Rambutnya tergerai sebahu. Hitam berkilau dan tebal. Dia menyisirnya malu-malu. Dia cantik dan anggun berjilbab, tak berjilbab pun dia mempesona.

"Fa, aku tak yakin bisa menahan diriku lagi." Gumamku, raut wajahnya berubah. Antara malu dan takut namun dia diam saja. Kuulurkan tanganku menyentuh rambutnya. Dia masih bergeming namun tubuhnya menegang dan sedikit gemetar.

Wajahnya semakin tersipu kala aku membelai rambutnya yang lembut. Entah keberanian darimana yang kudapat hingga tak mampu menahan diriku. Kukecup puncak kepalanya dan kutahu dia gugup luar biasa. Bahkan dia menahan napas. Dia sama sekali tak menggerakkan tubuhnya. Aku ingin sekali tertawa melihat ekspresinya namun aku takut merusak momen yang susah payah kubangun. Ya, kapan lagi akan seperti ini. Belum tentu besok dia mau. Jangan-jangan khawatir aku menerobos masuk kamar, dia akan memalang pintunya.

Kuraih tangannya yang dingin berkeringat. Kukecup punggung tangannya dengan lembut. Tangannya semakin bergetar. Kutatap matanya, dia berusaha mengalihkan pandangan. Namun kupaksa dia untuk menatapku. Untuk meyakinkannya bahwa aku sungguh-sungguh.

"Ma...mas, kamu akan bertanggungjawab kan dengan apa yang kamu lakukan?" Tanyanya sedikit terbata. Aku tak bisa menahan diriku untuk tidak tertawa. Wanitaku ini memang lugu dan polos.

"Apalagi yang kamu ingin aku pertanggungjawabkan? Aku ini suamimu. Suami sahmu secara agama dan negara. Tentu saja aku akan bertanggung jawab." Sahutku lembut. Ada setitik keraguan pada sorot matanya.

"Kita beneran udah halal ya? Masa cuma ucap akad nikah gitu doang udah bisa ngapa-ngapain. Ngga zina?"

"Lha, memangnya kamu mau ritual yang kaya gimana?"

Dia garuk-garuk kepala sambil nyengir. Ada-ada saja pemikirannya itu.

"Kalau kau tak siap sekarang, nanti juga kamu akan siap. Tapi ada saat nya waktu yang kuberikan habis."

"Kalau begitu besok lagi aja ya. Sekarang kan Mas harus istirahat. Apa ngga capek habis perjalanan jauh?" Tawarnya, selalu saja memanfaatkan celah.

Mr. WorkaholicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang