Mug berisi cokelat panas kusiapkan di atas meja makan saat Raditya mandi. Dia baru pulang dari kantor tepat pukul 9 malam. Jujur aku belum ikhlas memaksakan tubuhku untuk menunggunya pulang di depan tivi agar tak mengantuk. Ya biarpun aku pulang lebih awal, bukan berarti aku hanya berleha-leha di rumah. Aku juga capek dengan pekerjaanku. Sampai di rumah mengurus rumah, setelah beres, aku mengerjakan pekerjaan sekolah yang belum sempat diselesaikan di sekolah. Seperti rpph, penilaian, materi ajar dan lainnya. Jadi jangan kau kira ibu rumah tangga itu tak capek. Capek. Asli. Jadi begitu selesai pekerjaan, pengennya langsung merebahkan tubuh di kasur yang empuk.
Ini rutinitas baruku. Kunikmati? Tentu saja, meskipun agak terpaksa sebenarnya. Itung-itung ibadah. Hiburku selalu pada sebagian hati yang protes. (Ibadah kok ga ikhlas...sengit bagian hatiku yang lain).
Beberapa kali Raditya memintaku untuk tak menunggunya. Tapi rasanya kurang etis saja bagiku. Ini kan rumahnya. Masak yang punya rumah belum datang, aku sudah tidur nyenyak di kamar. Walaupun kadang saat menunggunya aku terkantuk-kantuk di depan tivi. Aku masih mengerjakan pekerjaan dari sekolah, begitu alasanku.
"Shafa, kamu sudah makan?" Tanya Radit yang baru keluar dari kamar mandi. Dia masih berkalung handuk untuk mengeringkan rambutnya yang basah.
"Sudah," jawabku singkat. Pertanyaannya itu retoris. Ini jam 9 malam, biarpun aku berusaha menjadi istri sholehah tapi tetap saja aku tak mau membiarkan perutku keroncongan demi menunggunya pulang. Dia sendiri juga pasti sudah makan di kantor. Jadi buat apa menunggu.
"Itu ada coklat panas di atas meja makan." Tunjukku pada mug yang berada dekat dengan tempatnya berdiri.
"Oh,ya. Makasih." Sahutnya canggung. Kami kembali diam. Aku menguap lebar. Siap-siap beranjak tidur namun tak jadi karena Radit duduk di dekatku.
"Sudah ngantuk?" Tanyanya seraya menyeruput coklat panasnya. Penting ya kujawab. Basa-basi banget.
"Iya,tadi ngajarnya full." Jawabku. Jujur...sebenarnya aku berharap dia akan bertanya lebih sehingga suasananya tidak canggung seperti ini. Tapi dia malah diam.
"Gimana kerjaannya? Lancar?" Aku gantian berbasa-basi. Biar percakapannya tidak monoton. Oke, aku belum bisa mencintainya tapi bukan berarti aku nyaman dengan kondisi canggung dan saling diam. Aku juga ingin ada interaksi di antara kami.
"Alhamdulillah. Tak ada masalah, seperti biasa." Jawabnya, kembali menyeruput coklat panasnya. "Kamu mau?"
Dia menyodorkan mug di depanku. Aku tersenyum menggeleng.
"Kubuatkan untukmu. Biar bisa tidur nyenyak." Sahutku seraya tersenyum. Ini termasuk kesempatan langka. Biasanya, jangankan untuk ngobrol basa-basi, cuma sekedar say hello pun tak sempat. Radit terlalu sibuk. Jadi sampai rumah dia masih berkutat dengan hape dan laptop juga dengan berkas-berkas berlembar-lembar.
"Tumben, biasanya sampai rumah masih sibuk?"
"Pekerjaanku hari ini tidak terlalu banyak. Sudah selesai tadi. Yang belum, deadline nya masih lama jadi agak santai ngerjainnya." Jawabnya, kembali menyeruput coklatnya. Tanpa sengaja aku melihat tangannya yang memegang mug dengan kuat. Dia juga berdehem beberapa kali." Emm...Fa. Hari Minggu kamu ada acara?"
"Minggu ini? Emmm..." Aku mengingat jadwalku, "Tak ada. Kenapa?"
"Ayo nonton!?" Ajaknya membuatku melongo. Tumben banget. Maksudku tumben banget dia ada waktu. FYI, dia itu super duper sibuk. Hampir tak punya waktu libur. Minggu tetep kerja. Dan kalau ini dia ada waktu, hebat banget.
"Ada waktu?" Tanyaku spontan.
"Ada. Aku libur. Kita kan belum pernah kemana-mana sejak menikah. Kamu pasti bosan tinggal di rumah terus."
"Emm...oke." aku memalingkan wajah untuk tersenyum. Eits, ini bukan karena aku mengharapkannya lho...tapi karena aku memang butuh refreshing. Oke?!
"Mas, kenapa sih kamu mau dijodohin sama aku?" Tanyaku lagi. Radit sedikit gelagapan.
"Kamu sudah menanyakannya berkali-kali."
"Tapi jawabanmu tidak meyakinkan. Aku mau dengar alasan sebenarnya. Kita kan ngga pernah ketemu sebelumnya. Kenapa mau aja dijodohin oleh ayahku? Ayah maksa kamu ya? Atau dia ngancam kamu juga?"
"Ngancam juga?" Tanyanya heran,"Tidak tuh."
"Beliau terkena gejala stroke saat aku menolakmu mentah-mentah. Beliau ngga mau maafin aku, ngga mau berobat jika aku tak menerimamu." Radit membelalakkan mata, sepertinya ayah tak cerita soal ini padanya."Kami bahkan sempat perang dingin. Akhirnya aku luluh dengan perjanjian..."
"Perjanjian...?"
"Iya. Perjanjian, kalau aku tak bahagia menikah denganmu maka beliau harus mensejahterakan hidupku." Jawabku membuat Radit terkekeh.
"Beliau tak pernah cerita soal itu." Radit meletakkan mug di atas meja kemudian mengacak-acak rambutnya dengan handuk. Sekilas aku melihatnya. Ya Allah, sebenarnya dia itu masuk kategori tampan versiku. Garis wajahnya tegas, hidungnya mbangir ala hidung orang Palestina, sorot matanya tajam seperti elang. Rahasia nih ya, aku suka banget dengan wajah-wajah Palestina, apalagi yang sudah hafidz. Sempat punya keinginan jadi relawan trus nikah dengan orang sana. Biar anaknya jadi keren...hihihi...
Back to Raditya Kusuma.
Perawakannya tinggi sedang. Badannya tegap, potongan rambutnya rapi. Tapi saat diacak-acak seperti ini, menurutku keren. Ups,, aku tidak memujinya kawan. Fokus...fokus Shafa.
"Aku kenal ayah itu secara tak sengaja. Kami telah mengenal lebih dari setahun sejak aku pindah ke perusahaan pusat. Lama-kelamaan kami akrab. Aku seperti menemukan sosok ayah kembali. Kamu tahu kan, bapakku telah menikah lagi dan hanya peduli dengan keluarga barunya. Banyak hal yang dapat kuceritakan pada ayah di sela waktu istirahat yang singkat. Aku sering berpikir, alangkah nyamannya punya ayah seperti dia. Andai aku bisa jadi bagian keluarganya."
Diam-diam aku bangga pada ayah. Ya, ayah memang sosok yang ramah dan menyenangkan. Tapi kadang kalau punya keinginan harus diikuti. Diktator level 1. Seperti pernikahan ini.
"Lalu..." Belum sempat meneruskan ucapannya, handphone Radit berbunyi. Dia segera mengambil hape yang diletakkan di atas meja makan. Sekedar info, dia itu tidak bisa jauh dari hapenya.
Dia mengobrol sebentar dengan orang di balik telepon kemudian kembali mengambil cokelat panasnya yang kini tinggal suam-suam kuku.
"Maaf, ada email yang harus kuperiksa saat ini juga. Ini sudah malam, kamu tidur saja. Tak usah menungguku." Ucapnya seraya meninggalkanku. Katanya sudah beres kerjaannya.
Aku mendengus kesal. Bukan karena merasa dicampakkan, tapi karena penasaran. Jawabannya atas pertanyaanku tadi belum selesai. Ah, mungkin hari Minggu saat kami nonton, kami bisa ngobrol banyak. Nonton? Apakah ini kencan pertamaku? Mendadak pipiku terasa panas. Apakah nanti akan berjalan lancar? Tak sabar menunggu hari Minggu padahal ini hari Senin.
🌸🌸🌸🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Workaholic
General FictionKetika hidupmu terikat oleh ikatan yang tak kamu inginkan. Mengubah benci menjadi cinta, ambisi menjadi pengertian "Buat dia mencintaimu," pesan ayah kepada Raditya, si robot pekerja. Lalu... Lalu silakan dibaca,.😊😊 Alur cerita ringan tanpa drama...