Kunjungan kami ke rumah orangtuaku adalah yang pertama kalinya sejak kami menikah. Sebenarnya rumah kami tak terlalu jauh. Masih satu kota namun karena kesibukan, lebih tepatnya kesibukan Radit, kami tak bisa berkunjung.
Ketika kami sampai rumah, ayah juga baru saja pulang. Rizal, adik laki-lakiku yang kelas 12 SMA juga baru pulang dari bimbel. Suasana sore ini jadi ramai.
Usai shalat maghrib, kami makan bersama sambil bercengkerama. Contoh yang tak baik sebenarnya. Masa makan sambil bicara. Kan ngga boleh. Maksudku saat ini kami makan, setelah selesai baru bicara.
"Tadi kamu ngga masuk? Kok aku ngga lihat di mushola."
"Saya ijin pulang lebih awal. Ngajak nyonya liburan."
"Shafa, kamu ngajak Radit pergi saat jam kerja?" Protes ayah.
"Siapa? Ngga. Kan tadi Mas Radit bilang sendiri, dia yang ngajak. Bukan Shafa yang ngajak." Sahutku tak mau kalah.
"Bohong tuh yah. Mas Radit bukan tipe orang bolosan. Mbak Shafa itu yang ngajak." Rizal ikut mengompori.
"Apaan sih anak kecil, ikutan. Belajar sana!"
"Tadi udah belajar di bimbel." Sahut Rizal tak mau kalah.
"Beneran belajar?? Bukannya kamu ikutan bimbel karena gebetanmu ada di sana??"
"Eeehh..." Pertengakaran kami mungkin akan berlanjut jika saja tidak dihentikan oleh ibu.
Itulah mengapa rumahku terasa ramai dan hangat. Pertengkaran kecil antara aku dan Rizal, atau perdebatan kami dengan ayah, semua memberikan suasana hangat di rumah. Berbeda dengan rumah Radit yang selalu sepi nyaris tak berpenghuni.
"Sudah jam 7, kita pulang sekarang? Besok kamu kan harus kerja." Tanyaku pada Radit yang masih nyaman saja duduk di sampingku.
"Kalian tidak menginap?" Tanya ibu kecewa.
"Padahal aku mau nantang menantuku main catur." Sambung ayah.
"Lain kali saja, yah. Mas Radit besok berangkat pagi-pagi." Jawabku. Radit tersenyum misterius.
"Ngga apa-apa. Kita nginap saja malam ini. Aku juga capek jika harus berkendara pulang."
"Beneran?" Radit mengangguk. Aku bersorak. Hampir saja aku memeluknya kalau tidak ingat siapa di hadapan kami. Dia benar-benar penuh kejutan hari ini.
Selesai sholat Isya, Radit menerima tantangan ayah untuk main catur. Emang dia bisa? Tak tahulah. Yang jelas dia tampak serius menekuri bidak-bidak catur di depannya. Rizal berada di tengah sebagai wasit. Sambil sesekali membantu Radit bermain. Tak tahu juga, Rizal itu cepat akrab dengan Radit. Suka banget sama dia. Soalnya punya hobi sama, bola.
Jadi mereka main catur tapi yang diobrolin bola. Sesekali ayah dan Radit membicarakan pekerjaan. Dan tentu saja Rizal menyela tak mau kalah. Aku menyajikan kopi sama camilan dicuekin sama mereka.
"Bagaimana keluarga kalian?" Tanya ayah saat Rizal sedang ke kamar mandi. Aku tak sengaja mendengar dari ruang keluarga nonton tivi sama ibu. Mereka main caturnya di ruang tamu.
"Alhamdulillah baik." Jawab Radit pelan. Menyamarkan suara dengan deheman. Ayah terkekeh mendengarnya.
"Tak perlu kau tutupi. Ayah sudah tahu dari awal bagaimana istrimu. Dia tidak merepotkanmu kan?" Radit ikut terkekeh. Ayah apa-apaan. Masa aku ngrepotin sih."Awalnya dia mencak-mencak saat kuberitahu akan kujodohkan. Padahal belum tahu seperti apa kamu."
Sekarang aku bahkan akan semakin mencak-mencak setelah tahu seperti apa dirinya. Gerutuku dalam hati.
"Dia istri yang baik Pak. Dia melakukan semua pekerjaan rumah meskipun tak mencintaiku. Saya merasa bersalah, tak seharusnya dia lelah mengurus pekerjaan rumah setelah menikah. Rasanya saya buat dia menderita."
Eh, pipiku bersemu. Iya, aku memang istri yang baik. Entah dia jujur atau hanya ingin memujiku di depan ayah tapi dia sudah buat hatiku mengembang. Lelah? Iya, aku lelah banget. Ah dia tahu juga kalau aku menderita. Tapi...
"Ah, tak apa. Shafa itu biasa kerjain itu. Kalau ngga ngapa-ngapain nanti dia jadi gembrot kena diabet." Ih,,naudzubillah. Ayah apa-apaan sih. Anaknya mau disejahterakan malah dilarang.
Radit terkekeh lagi. Mungkin demikian cara ayah mengajaknya ngobrol di sela-sela istirahat hingga tergiur untuk menyetujui perjodohan ini. Jangan-jangan Radit sukanya sama ayah bukan sama aku. Haah?
"Jangan panggil saya Pak, ya. Panggil ayah, seperti Shafa dan Rizal. Sekarang aku ini ayahmu. Kalau ada apa-apa, bilang saja sama aku. Kamu yang sabar ya menghadapi Shafa. Dia anaknya emang keras kepala."
"Tapi..." Ucap Radit tertahan, aku jadi pasang telinga lebih tajam, "Apa saya tidak mendhaliminya. Tinggal dan menikah bersama orang yang tidak dicintainya?"
Aku terdiam. Entah kenapa hatiku terasa ada sedikit sayatan mendengar dia bicara demikian. Sejauh itukah pemikirannya?
"Kalau begitu, buat dia jatuh cinta padamu. Bagaimanapun caranya." Sahut ayah enteng. Ayah melanjutkan kalimatnya lagi namun suara cempreng Rizal membuatku tak mendengarnya.
"Mbaaaakkk...aku pinjam handukmu yaaaa..." Duh, si adek kebiasaan. "Cuma buat ngelap muka."
"Rizal apa-apaan! Malam-malam teriak, ganggu tetangga." Omel ibu, syukirin lu.
Hmm...si Rizal. Bikin aku kehilangan momen. Apa coba yang dikatakan ayah. Jangan-jangan rahasia memeletku. Hihihihi...
.
.
.
."Kamu ngapain Mas, masuk sini?" Tanyaku pada Radit yang tiba-tiba masuk kamarku.
"Mau tidur lah." Jawabnya langsung menuju tempat tidur setelah menutup pintu.
"Kamu ngga tidur di luar? Atau bareng Rizal?"
"Buat apa?"
"Lha kan biasanya..."
"Ini kan di rumah orangtuamu. Kalau kita berpisah, mereka pikir kita sedang ada masalah."
"Tapi mereka tahu kan yang sebenarnya."
"Tapi malam pertama kita menikah aku juga tidur di sebelahmu." Perkataan Radit sukses membuat pipiku merona. Jangan kau bayangkan malam pertama ala-ala drama. Kita drama bisu. Nanti atau kapan-kapan aku ceritakan kalau ada waktu.
FYI, selama ini kami tidur pisah kamar. Pengantin baru sudah pisah ranjang. Hehehe... Tapi itu kesepakatan kami. Ingat, sampai kami saling mencintai. Dan entah kapan hal itu akan terjadi. Lalu kenapa waktu kami berseteru kemarin, Radit justru malah tidur di sofa? Aku juga tak tahu. Biar dramatis mungkin. Ealah.
"Aku lelah. Besok kita harus pulang pagi-pagi." Ucap Radit seraya merebahkan tubuhnya di sampingku.
"Ini batas kita. Jangan sampai dilanggar!" Aku menyilangkan guling di antara kami. Kemudian ikut berbaring membelakangi Radit. Jujur, aku gugup. Suasana pada malam pertama kembali terasa. Ingat, malam pertama kami tidak seperti drama. Apalagi film biru. No...no.... Tak usah membayangkan.
Kudengar hembusan napas teratur di belakang punggungku. Ia pasti sudah tidur. Ia lelah untuk pertama kalinya bukan untuk urusan pekerjaan. Dia memang harus istirahat. Besok dia harus membayar sisa hari ini dengan lembur. Perusahaan macam apa yang mempekerjakan pegawainya seperti robot ini?
Aku membalikkan badan. Kutatap wajahnya yang telah terlelap. Aku ingin mengucapkan terima kasih. Tapi sungkan untuk mengucapkan secara langsung. Kuperhatikan kelopak matanya. Tak bergerak, berarti dia sudah benar-benar tidur. Kukibaskan tanganku pelan ke depan wajahnya. Tak ada reaksi. Aku menghembuskan napas.
"Mas, makasih ya. Untuk hari ini. Maaf untuk waktumu yang terbuang karena aku." Bisikku dan hanya dibalas hembusan napas halus, " Sebenarnya apa yang membuatmu menerima perjodohan ini? Apa kamu terbujuk rayuan maut ayah? Sampai kapan hubungan kita akan seperti ini?"
"Sampai kamu mencintaiku dan menerimaku." Tiba-tiba Radit balas berbisik. Aku membelalakkan mata. Pelan-pelan matanya terbuka. Jadi ia hanya pura-pura tidur? Jadi dia dengar semuanya? Ahhhhh....TIDAAAK... Aku menyembunyikan wajah di balik selimut.
"Kamu ngapain?" Tanyanya seraya terkekeh.
"Ihhhhh...kamu pura-pura tidur?????" Radit tertawa. Aku malu sekali. Seperti ketahuan membuat pengakuan.
🌼🌼🌼🌼🌼
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Workaholic
Fiction généraleKetika hidupmu terikat oleh ikatan yang tak kamu inginkan. Mengubah benci menjadi cinta, ambisi menjadi pengertian "Buat dia mencintaimu," pesan ayah kepada Raditya, si robot pekerja. Lalu... Lalu silakan dibaca,.😊😊 Alur cerita ringan tanpa drama...